Love on the Eiffel Tower



Penulis: Umi Fadilah




Seorang pemuda berdiri tegak di terminal bus. Menggendong ransel hitam yang terlihat penuh di pundaknya. Tampak dari arah Barat sebuah bus menghampiri, Chandra bergegas masuk bus, tak ingin kembali berdiri setelah lama menahan kaki yang pegal selama menunggu kedatangan bus arah Jakarta.

“Senyumnya masih terngiang jelas.” Chandra menggumam di tempat duduknya dengan mengangkat kaki kanannya dan meletakkan pada kaki kirinya sambil tersenyum.

“Bangun Mas, sudah sampai di Jakarta,” ucap kenek bus sembari menepuk-nepuk pundak Chandra yang sulit dibangunkan. Rupanya Chandra tertidur selama perjalanan.

“Oh iya Pak, maaf.” Chandra turun dari bus dan langsung mencari kendaraan yang dapat membawanya sampai di depan rumah.

“Ojek, Mas?” suara tukang ojek. Sepertinya Chandra sangat beruntung hari ini. Chandra memberikan alamat rumahnya kepada tukang ojek itu.

“Assalamu’alaikum, Chandra pulang bu,” Chandra mengetuk pintu hingga akhirnya dia masuk karena tak ada respon dari dalam rumah.

“Lho Mas Chandra sudah pulang?” seorang asisten rumah tangga menghampiri Chandra yang terlihat sangat kelelahan.

“Sudah Bi, di mana mamah?” Chandra bertanya seolah ia tidak tahu bahwa ibunya selalu sibuk di kantor.

“Belum pulang Mas, masih di kantor,” kata bibi.

“Sudah kuduga,” jawab Chandra yang sudah menduga sebelum bertanya.

“Mas Chandra mau bibi buatin apa? Nanti biar bibi masakin.”

“Tidak perlu Bi, Chandra mau istirahat saja di kamar,” Chandra hanya ingin berbaring di kamarnya tanpa ingin melakukan kegiatan apa pun.

“Ya sudah, bibi ke dapur dulu ya Mas, nanti kalo perlu apa-apa tinggal panggil bibi saja,” kata bibi.

“Iya Bi.”

Yeah! Meski terlihat urak-urakan, Chandra adalah anak yang sopan. Ia tidak pernah menggunakan lo-gue saat berbicara dengan orang yang lebih tua, juga dengan wanita walaupun tak semua wanita. Mungkin hanya beberapa saja.

Chandra melangkahkan kakinya menuju kamar yang sangat ia rindukan selama berada di Yogyakarta.

“Hmm bau kamar gue masih sama kayak biasanya.” Chandra menjatuhkan tubuhnya pada kasur kesayangannya itu.

“Siapa si dia sebenernya? Kenapa gue nggak tanya namanya, ya? Seenggaknya gue minta nomor WhatsApp dia,” Chandra menggumam dengan menepuk dahinya seakan ada penyelasan dalam diri.

“Ah, daripada nyesel gini mending gue mandi dan nongkrong bareng temen-temen,” ucap Chandra.

Chandra bergegas mandi dan melempar baju kotornya ke pojok sudut kamar mandi. Ini adalah kebiasaan pemuda malas yang sulit dihilangkan dalam dirinya.

Chandra turun dengan berpakaian layaknya anak muda pada umumnya.

“Bi! Chandra keluar dulu ya, mau ngumpul sama temen,” seru Chandra sambil membuat lipatan kecil pada lengan bajunya.

“Iya, Mas. Hati-hati!” jawab bibi.

Chandra keluar dengan mengendarai mobil merah miliknya. Hadiah dari Robert, ayah Chandra saat tahun.

“Wihh Chandra nih?”

Chandra adalah ketua geng beberapa pemuda ini. Mereka menyambut Chandra dan menyeret tangan Chandra untuk duduk bersama mereka. Kegiatan yang mereka lakukan hanyalah bermain gitar dan menyanyi, cukup untuk membuang rasa bosan.

Hari sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Chandra beranjak dari tempat duduknya, mengambil jaketnya dan pulang.

“Ehh gue cabut dulu Bro. Besok gue balik lagi,” kata Chandra dengan melangkah menjauh dari teman-temannya.

“Iya, Bro. Hati-hati!”

Chandra sampai di rumah dan mengetuk pintu rumahnya.

“Assalamu’alaikum, Chandra pulang.”

Seharian ini, Chandra sama sekali tidak bertemu dengan Robert dan Kinan, orang tua Chandra. Mereka sudah tidur, mungkin kelelahan setelah seharian bekerja. Chandra pun pergi ke kamar dengan perut kosong, memejamkan matanya dan kemudian tertidur.

Dalam mimpi, dia bertemu gadis manis yang dijumpainya saat berkeliling Yogyakarta. Kali ini wajahnya tampak lebih jelas dengan hijabnya yang menjuntai panjang. Chandra menatap gadis itu, tetapi ada cahaya yang menghalangi pandangannya. Rupanya hari sudah siang dan cahaya mentari telah menembus dinding kaca kamar Chandra.

Tok tok tok! Seseorang berdiri di balik pintu kamar Chandra.

“Mas Chandra sudah bangun?” Bi Inah mencoba membangunkan pemuda malas itu.

“Sudah Bi,” jawab Chandra dengan wajah yang masih kusut.

Bi Inah memberi tahu bahwa orang tuanya sudah menunggu Candra di meja makan untuk sarapan bersama. Chandra mulai beranjak dari tempat tidur, melangkah menuju kamar mandi dan mencuci mukanya.

Satu tangga sebelum sampai di lantai satu, Kinan menoleh ke arah Chandra.

“Kamu udah bangun, Kai?” Kinan bertanya sembari melapisi roti dengan selai cokelat.

“Hm,” Chandra menjawab dengan pelan bahkan hampir tak terdengar. Ia selalu bersikap dan berbicara kaku kepada orang tuannya, menyembunyikan rasa rindu akan kasih sayang dari keduanya.

Sepanjang sarapan, mereka hanya membahas hal-hal ringan. Seperti menanyakan hal apa yang akan dilakukan putranya hari ini, misalnya. Chandra berkata bahwa dia akan pergi ke rumah Samsul, teman dekatnya. Robert memberi pesan agar Chandra tidak pulang malam. Chandra hanya mengangguk tanpa berniat untuk memperpanjang percakapan. Entahlah, seperti ada hal yang kurang menyenangkan.

Setelah sarapan, rumah mewah dengan tiga lantai ini seakan bangunan tidak berpenghuni. Robert dan Kinan pergi ke kantor, sedangkan Chandra yang merupakan anak tunggal pergi ke rumah Samsul. Chandra memang tidak punya kegiatan setelah kuliahnya selesai. Dia masih enggan untuk terjun ke dunia usaha.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam. Oh, Chandra. Tumben main ke sini, pasti mau ngomongin sesuatu, ya? Eh, duduk dulu.” Samsul seakan sudah dapat menebak tujuan kedatangan Chandra ke rumahnya. Chandra hanya bisa mengatakan hal ini kepada Samsul yang dia anggap sebagai teman paling berbeda dari teman lainnya.

“Gini Sam, gue kan baru pulang dari Yogyakarta. Nah, pas gue di sana, gue tuh nggak sengaja papasan sama cewek. Dia berhijab, cantik, adem gitu dilihatnya. Dia satu-satunya cewek yang bisa bikin gue kagum.”

Chandra mulai menceritakan kejadian yang ia alami di Yogyakarta. Samsul menyimak dengan antusias. Pasalnya jarang sekali seorang Chandra membicarakan perihal perempuan. Terlebih saat ini Chandra terlihat sangat terpesona dengan perempuan tersebut.

“Nah, itu dia, gue nggak sempet minta nomornya, soalnya dia jalannya nunduk gitu dan cepet banget.” Chandra menjawab dengan nada greget dan mulai terlihat kembali penyesalan dalam dirinya. Bukan hanya Chandra, Samsul pun terlihat kecewa karena Chandra tidak berkesempatan untuk meminta nomor perempuan itu

Samsul beranjak dari duduknya dan melangkah menuju dapur. Dia meminta seseorang untuk membuatkan dua gelas minum untuk dirinya dan Chandra.

“Yah, sayang banget ya. Tapi kalo kalian berjodoh pasti ketemu lagi kok gue yakin.” Samsul menyambung percakapannya dengan Chandra.

Tiba-tiba seorang gadis muncul dengan membawakan minum yang Samsul minta tadi. Chandra menoleh dan sontak terkejut, melihat gadis yang pernah dia jumpai saat di Yogyakarta beberapa hari yang lalu. Dia terus memperhatikan gadis itu sampai benar-benar tidak terlihat dari pandangannya.

“Woy! Kenapa lo?” tanya Samsul mengejutkan Chandra.

Chandra mencondongkan badannya dan berbisik kepada Samsul, “Eh, itu siapa, Sam?”

“Oh dia, dia keponakan gue, Naila. Dia baru dateng dari Yogyakarta,” tutur Samsul.

Jadi namanya Naila, batin Chandra.

“Kenapa? Lo naksir?” tanya Samsul.

“Enggak, cuma pengen tahu aja,” ucap Chandra sambil melirik ke arah dapur. Chandra masih belum mengatakan bahwa gadis yang sedang diperbincangkan adalah Naila.

Mereka kembali berbincang, tetapi bukan lagi tentang gadis manis itu. Kali ini mereka membahas tentang waktunya yang terbuang sia-sia setelah lulus kuliah. Samsul mencoba mengajak Chandra untuk berbisnis, Chandra masih enggan. Chandra bisa saja meneruskan perusahaan ayahnya yang tidak dapat dihitung seberapa banyak perusahaan yang ayah Chandra miliki, tetapi Chandra sama sekali tidak tertarik.

Hari sudah mulai senja, Chandra berpamitan pulang. Dalam perjalanan pulang, Chandra sedikit lega karena ternyata gadis itu adalah keponakan Samsul, temannya.

Sesampainya di rumah, ia terus berpikir bagaimana caranya mendapatkan nomor Naila tanpa dicurigai oleh Samsul. Menurutnya, bahwa satu-satunya cara adalah ta’aruf dengan gadis itu. Chandra berpikir, mungkin setelah menikah Chandra akan mencoba untuk berbisnis dan dia akan mencoba mandiri tanpa bergantung dengan orang tuanya. Keputusan Chandra ini sangat terburu-buru. Chandra memberanikan diri untuk menceritakan yang sebenarnya kepada Samsul. Samsul pun memberikan nomor Naila kepada Chandra. Chandra mencoba untuk menghubunginya melalui nomor yang Samsul berikan.

Panggilan ditolak. Pemandangan yang Chandra dapatkan saat mencoba menghubungi Naila.

Paginya Chandra kembali ke rumah Samsul dan mengatakan kejadian semalam.

“Nai, ke sini sebentar.”

“Ada apa, Sam?”

“Temen gue mau kenalan sama lo nih, katanya. Lo inget nggak waktu di Yogyakarta, dia yang nggak sengaja berpapasan sama lo, Nai. Namanya Chandra. Chandra tuh kagum sama lo, dia pengen kenal lebih deket sama lo.” Samsul mengenalkan Chandra kepada Naila, mencoba mengatakan apa yang ingin Chandra katakan.

“Maaf Sam, saya sudah dijodohkan oleh ayah.” Gadis itu beranjak dari tempat duduknya dan perlahan melangkah, menjauh dari Chandra dan Samsul.

“Sabar Bro, pasti lo nanti bakal ketemu sama jodoh terbaik lo kok, tenang aja,” ucap Samsul dengan menepuk bahu Chandra. Alih-alih menenangkan Chandra yang dirundung kecewa.

Chandra pulang dengan rasa yang tidak karuan. Sesampainya di rumah, dia menatap aneh ke arah ruang keluarga. Terlihat Robert dan Kinan tengah menonton televisi.

“Mamah sama papah kok tumben jam segini udah pulang?” Chandra menghampiri keduanya.

“Iya, mamah sama papah pulang cepet hari ini. Sini duduk Kai,” jawab Kinan.

Chandra menghampiri Robert dan Kinan, tak ingin melewatkan kesempatan langka ini.

“Kai, kamu kan udah lama lulus kuliah, nggak ngapa-ngapain juga di rumah.”

Apa maksud perkataan mamah? Batin Chandra. Chandra mulai merasa aneh dengan keadaan yang ada.

“Mamah sama papah berniat menjodohkan kamu dengan gadis pilihan papah,” Robert terus terang mengatakan kepada Chandra.

“Apa? Dijodohin?” Chandra terkejut dengan membuka dua matanya lebar-lebar.

“Iya, namanya Fatimah. Dia gadis yang baik. Papah Fatimah dan papahmu sudah lama merencanakan perjodohan ini. Papah Fatimah adalah teman dekat papah kamu waktu kita masih tinggal di Yogyakarta,” kata Kinan.

“Maaf mah, Chandra belum siap untuk menikah.” Chandra menolak saat itu juga tanpa ada pertimbangan terlebih dahulu.

“Lalu apa langkah kamu selanjutnya? Apa kamu nggak bosen begini terus?” tanya Robert.

“Chandra berniat pergi ke Prancis pah, Chandra mau ikut paman. Siapa tahu Chandra bisa membuka usaha seperti paman di sana,” ucap Chandra. Ia berpikir dengan kepergiannya ke Prancis, ia dapat menenangkan diri dari rasa kecewanya dan perlahan melupakan Naila.

“Ya sudah kalau itu keputusan kamu, papah sama mamah selalu mendukung, jika itu yang terbaik. Papah yakin kamu sudah dewasa dan dapat menjaga diri. Papah akan coba bicara dengan Ramlan, papah yakin Ramlan akan mengerti,” Robert dan Kinan setuju, setelah sebelumnya menolak perkataan dari anak semata wayangnya itu.

Sebenarnya niat Chandra untuk pergi ke Prancis sudah ia pikirkan sebelum pergi ke Yogyakarta, tetapi sempat ia pertimbangkan lagi setelah bertemu dengan Naila. Kini keputusannya sudah bulat, Chandra akan berangkat besok sore.

Satu tahun di Prancis, Chandra tampak sangat jauh berbeda. Menjadi lebih dewasa, rajin, dan mulai berpikir tentang masa depan. Namun ada yang belum berubah, yaitu status jomblonya. Chandra masih belum menemukan wanita yang dapat memikat hatinya, seperti saat ia terpikat dengan Naila.

Malam ini adalah malam tahun baru. Chandra berniat untuk keluar, menyaksikan keindahan Menara Eiffel. Ia keluar tepat pukul sembilan malam. Gemerlap warna-warni Menara Eiffel sudah tampak jelas di depan mata.

“Andaikan aku berdiri bersama Naila,” Gumam Chandra. Satu tahun di Prancis sama sekali belum mampu menghapus ingatan Chandra tentang Naila.

Hari semakin larut, Chandra berniat kembali ke kosannya.

“I’m sorry, I didn’t mean it,” Chandra tak sengaja menabrak seseorang yang berdiri tepat di belakangnya.

“Yes, it is okay.”

“Loh, kamu Naila, ‘kan?”

“Iya, saya Naila. Kamu teman Samsul, ’kan?”

Entah apa yang membawa Naila ke Prancis, tetapi Chandra yakin Naila sedang pergi berlibur bersama suaminya.

“Kok kamu bisa ada di sini? Eh, ada yang sakit nggak? Duduk dulu.” Chandra tidak percaya bahwa yang di hadapannya saat ini adalah Naila.

“Enggak kok, tenang aja. Saya di sini sedang berlibur. Kamu sendiri?”

“Aku? Mm aku sudah satu tahun di sini. Ya, mencoba berbisnis kecil-kecilan,” Chandra tampak salah tingkah, tetapi berusaha menjaga sikapnya agar tetap terlihat cool di depan Naila.

“Oh, jadi kamu udah satu tahun di Prancis? Pantes aja, kamu keliatan beda banget. Keliatan lebih rapi sama dewasa,” kata Naila sembari menatap Menara Eiffel.

“Jadi menurut kamu sekarang aku keliatan lebih keren?” tanya Chandra sambil mengangkat kedua alisnya, menggoda.

“Tidak, biasa aja,” kata Naila sambil tersenyum tipis.

“Tapi kok kamu sendiri? Di mana suami kamu?” Chandra bertanya sedikit ketus dan terlihat murung.

“Saya nggak jadi nikah. Perjodohan itu dibatalin. Mungkin emang belum berjodoh.”

“Hah? Kok bisa?” Chandra menoleh ke arah Naila, tanpa mendapat tatapan dari Naila. Naila yang menunduk dengan perlahan berulang kali menghembuskan nafasnya.

“Dia belum siap menikah. Tapi saya bersyukur, karena Allah menjauhkan saya dari dia. Saya yakin, dia belum mampu mengemban tanggung jawab yang besar kalo pernikahan itu harus terpaksa dilangsungkan,” terang Naila sambil tersenyum hambar dengan menatap lurus ke depan.

Senyum Chandra merekah seketika.

“Yang sabar ya Nai. Kalau boleh tahu, siapa namanya? Siapa tahu aku kenal.” Lagi-lagi Chandra menoleh, menatap Naila. Kali ini Chandra menatapnya lekat-lekat.

“Kai, nama panggilan dari ibunya. Itu pun saya tidak sengaja mendengar saat ibu Kai berbincang dengannya di telepon kala itu. Saya tidak tahu nama panjangnya. Kami belum sempat berkenalan.”

Kai? batin Chandra. Chandra terdiam sejenak, merasa ada hal yang aneh.

“Kalau nama bapak kamu siapa?” pertanyaan yang terdengar aneh, Chandra menyadarinya. Namun, dia benar-benar ingin mengetahui.

“Ramlan Wijaya. Kenapa? Kok kamu tanya nama bapak saya?”

Deg!

“Nggak papa sih, cuma pengen tahu aja. Kaisar Chandra, kita belum sempat kenalan, ‘kan?” Chandra mengenalkan dirinya tanpa mengulurkan tangan. Dia tahu bahwa Naila tidak akan mau berjabat tangan dengan seseorang yang bukan muhrimnya.

“Naila Nur Fatimah, itu namaku.”

Chandra tersenyum, semakin yakin dengan apa yang ada di pikirannya saat ini.

“Kok kita bisa kebetulan ketemu di sini ya?” tanya Chandra.

“Entahlah, kalo saya sengaja ke sini, karena besok saya mau pulang ke Jakarta. Jadi saya mau memastikan perkataan orang-orang di Indonesia, katanya Menara Eiffel itu indah dan ternyata benar,” Naila menjawab dengan tersenyum.

Sial, Chandra lupa meminta nomor Naila, lagi. Tiga hari setelah pertemuannya dengan Naila, Chandra memutuskan untuk kembali ke Jakarta.

Setibanya di Jakarta, Chandra mengatakan apa maksud kepulangannya itu kepada ibu dan ayahnya. Chandra bergegas berangkat ke Yogyakarta, kali ini dia tidak sendiri.

“Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikumussalam. Wah ada tamu, silakan duduk.”

“Jadi begini, Ram. Terus terang saja, maksud kedatangan kami ke sini yaitu ingin melamar Fatimah untuk anak kami.”

“Maasyaa Allah, ini niat yang baik. Sebentar saya panggilkan Fatimah.”

Naila terkejut dengan keberadaan Chandra di rumahnya.

“Sebelumnya kami memohon maaf atas kejadian di hari lalu. Anak kami membuat Fatimah kecewa, Kai belum siap menikah karena dia sadar, bahwa dia belum mempunyai persiapan apa pun. Dia masih pengangguran, tapi alhamdulillah dia sekarang sudah belajar berbisnis di Prancis,” kata Robert.

“Yang lalu biarlah berlalu, sekarang buka lembaran baru. Kalau saya terserah Fatimah saja. Saya tidak mau menekan Fatimah akan hidup dengan siapa, karena nantinya dia yang akan menjalaninya,” jawab Ramlan dengan santai, tidak mempermasalahkan kejadian di hari lalu.

“Bagaimana nak Fatimah? Apakah kamu bersedia menikah dengan anak kami, Kaisar Chandra?” tanya Kinan.

Naila kini tahu, bahwa lelaki yang menolak perjodohan dengannya kala itu adalah Chandra, yang tak sengaja menabraknya di depan Menara Eiffel. Namun itu tak membuat Naila marah, Naila yakin bahwa semua adalah takdir dari Allah untuknya.

“Bismillah, saya bersedia bu.”

Chandra menatap ke arah Naila dan tersenyum, sedangkan Naila tetap menunduk sama seperti biasanya. Rasa kecewa itu adalah bagian dari alur yang membawa Chandra kepada cinta sejatinya.

Setelah menikah, Chandra dan Naila memutuskan untuk menetap di Yogyakarta, tinggal di rumah dua lantai, dibeli dengan tabungan hasil kerja keras Chandra selama di Prancis. Sesekali mereka pergi ke Paris, mengingat kembali keajaiban cinta yang mempertemukan mereka di depan Menara Eiffel.(UF)

Posting Komentar untuk "Love on the Eiffel Tower"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress