Sepotong Harap di Ujung Waktu - Cerpen Oleh Nawan Handono

"Lima puluh tahun setelah hari ini, saya ingin ditakdirkan untuk tetap mencintaimu."

***

Seorang lelaki di usia senja memandang wajah wanita yang tanpa terasa telah dia cintai selama lebih dari lima puluh tahun. Rambut panjang yang memutih menjadikan wajahnya yang kuning langsat kian bersinar. Garis-garis dalam di sudut bibir yang membentuk lengkungan huruf c di kedua sisi adalah bukti nyata tentang ratusan ribu atau mungkin jutaan tawa yang mereka bagi bersama, kebahagiaan yang jumlahnya jelas lebih banyak hadir dibanding air mata.

Meski usianya sudah tujuh puluh dua tahun Hatta masih ingat jelas perjumpaan pertamanya dengan Rasmi.

"Dibanding mawar saya lebih menyukai anggrek. Anggrek tidak berduri, dia tidak perlu melukai orang lain untuk melindungi dirinya. Aromanya memang tidak sewangi mawar namun sebenarnya dia memiliki aroma manis yang khas, hanya yang benar-benar menghargai kehadirannya yang bisa beruntung merasakan ketenangan aroma anggrek. Perawatan anggrek yang tidak mudah agar bunganya subur semarak adalah simbol hubungan manusia yang harus selalu dirawat dengan kasih sayang agar terus langgeng."

Seperti namanya, Rasmi benar-benar bersinar.

Hatta yang hari itu hendak membelikan sang ibu bunga mawar sebagai hadiah ulang tahun tak sengaja mencuri dengar obrolan Rasmi dengan calon pembeli.

"Saya Hatta," lelaki dua puluh tahun itu mengulurkan tangan.

Rasmi cukup dibuat kaget dengan kehadiran Hatta yang tiba-tiba,"Rasmi." Gadis itu menangkupkan kedua tangan untuk membalas perkenalan Hatta. Ini adalah kali pertama Rasmi menerima perkenalan dari seorang pria.

"Maaf jika saya tadi menguping. Saya terkesan dengan gagasanmu mengenai anggrek. Kalau boleh saya tahu darimana pemikiran sedalam itu bisa Rasmi dapatkan?"

"Saya suka membaca buku, buku menjadi kendaraan yang nyaman untuk pikiran saya bisa mengembara."

Mata Rasmi berbinar menjelaskan kecintaannya terhadap buku.

"Maaf Non Rasmi, Nyonya menunggu di ruang makan." Karsinah, pelayan keluarga Rasmi tergopoh menghampiri.

Punggung Rasmi segera tenggelam ke dalam pintu setelah pamit pada Hatta.

"Permisi, Mbok. Nona tadi itu siapakah?" Hatta tak dapat membendung rasa penasaran.

"Tadi Non Rasmi, Den. Putri pemilik toko bunga di kota ini. Aden mau pesan bunga?"

"Saya mau anggrek yang paling cantik." Ujar Hatta dengan mata menatap lurus ke arah pintu yang telah menelan tubuh Rasmi.

****

“Tuan tadi pesan anggrek, Non. Sudahlah ganteng pesannya anggrek pula. Pasti orangnya penyayang.”

Tiba-tiba Rasmi ingin kembali berjumpa dengan Hatta. Diam-diam ia menantikan pertemuan dengan lelaki yang sepertinya berhati lembut itu. Entah apa ini? Hatinya gelisah tapi ia juga merasakan letupan rasa senang atas pertemuan singkat tadi.

****

Mendapat buah tangan anggrek bulan berwarna ungu dari putra kebanggaan yang baru pulang studi di luar negeri membuat hati sang ibu bahagia. Beliau meminta pengurus kebunnya menyiapkan pot terbaik agar anggrek dari Hatta terlihat semakin cantik ketika ditaruh di ruang keluarga.

"Apa rencanamu setelah ini, Nak?"

"Bulan depan saya akan berangkat ke Jawa Tengah, Bu. Ada tawaran proyek pembangunan di sana. Sekitar dua tahun Hatta akan berada di Jawa. Hatta mohon doa restu dari Ibu."

Lelaki berperawakan tegap dan wajah rupawan itu menghampiri sang ibu di kursinya, berlutut kemudian mencium jemari ibunya dengan takzim.

"Doa restu ibu selalu bersamamu, Nak." Ibunya membelai lembut pipi Hatta.

Rasanya baru kemarin, anak lelakinya ia beri obat merah di lutut karena tersandung batu saat berlari, tak terasa bocah lima tahun itu kini sudah menjelma menjadi laki-laki dewasa yang memiliki tujuan hidup.

****

Hampir dua tahun Hatta menjalankan proyeknya di Jawa. Selama itu pula tidak sehari berlalu tanpa ia memikirkan perjumpaan pertamanya dengan Rasmi. Bukannya semakin memudar, sosok Rasmi justru hadir semakin jelas dan lekat di ingatan Hatta. Tak sedikit tawaran perjodohan untuk Hatta yang datang dari lingkungan pekerjaannya. Namun, tekad Hatta sudah bulat. Dengan uang hasil kerja kerasnya selama ini dia akan meminang Rasmi setibanya di Jakarta begitu proyeknya usai. Tak perlu seribu pertemuan untuk meyakinkan Hatta jika ia ingin menghabiskan seribu tahun hidupnya bersama Rasmi.

Di tempatnya, Rasmi tengah mempersiapkan diri untuk menyambut keluarga lelaki yang akan meminangnya dua minggu lagi. Bukan rahasia umum jika perjodohan adalah hal mutlak yang tak bisa dihindari oleh perempuan mana pun pada masa itu. Meski Rasmi tidak pernah bertemu dengan lelaki itu bahkan orang tuanya merahasiakan nama lelaki tersebut dengan alasan agar Rasmi fokus mempersiapkan diri tanpa perlu mencari tahu. Rasmi tak pernah berusaha menolak, dia percaya orang tuanya akan memilih calon yang terbaik.

Hatta pulang lebih cepat dari jadwal. Dia meminta ibunya meminangkan seorang gadis yang telah lama ia cintai. Tak disangka meski seorang laki-laki, Hatta juga tak luput dari perjodohan. Namun beruntung bagi Hatta, sang ibu memberinya pilihan. Jika memang wanita tersebut belum ada yang meminang serta Hatta bisa berbahagia bersamanya maka ibunya bersedia menanggung malu membatalkan perjodohan Hatta.

Hatta masih ingat perjalanan menuju tempat Rasmi. Perlu dua tahun untuk perjumpaan kedua, waktu yang teramat lama bagi hati yang menanti sebuah pertemuan.

Rasmi semakin bersinar. Wajah ayunya tengah tersenyum sumringah menata anggrek berwarna putih. Jantung Hatta berdenyut berpacu dengan buncahan perasaan di hati.

"Rasmi, masih ingat saya?"

Wanita yang Hatta sapa mendongakkan kepalanya. Ia terdiam untuk sesaat kemudian menatap tak percaya.

"Mas Hatta?"

Suara yang selama dua tahun ini hanya mampu dia dengar melalui hembusan angin di khayalannya kini benar-benar menjelma nyata bersama sosok yang selama ini dia rindukan.

"Rasmi masih mengenali saya?"

Rasmi mengangguk, "Wanita mana yang bisa lupa pada seorang lelaki yang terasa begitu tulus menanyakan perihal kesukaan gadis yang baru pertama dijumpai?"

Ya, Rasmi tidak pernah lupa. Hari-hari setelah perjumpaan pertama mereka, diam-diam Rasmi menantikan kedatangan Hatta. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, Hatta tak pernah datang kembali. Ketika sang ayah memberitahukan kabar perjodohan Rasmi, saat itu Rasmi memutuskan bahwa dirinya harus hidup di dunia nyata bukan angan semu belaka. Rasmi mulai mempersiapkan dirinya untuk sungguh-sungguh belajar menjadi seorang istri serta ibu yang baik dibantu oleh ibunya serta guru-guru yang orang tuanya sewa. Rasmi bertekad menjadi sosok terbaik bagi calon suami yang belum pernah ia jumpai.

"Mas Hatta tidak pernah kembali seusai membeli anggrek bulan berwarna ungu."

"Bagaimana kamu tahu saya membeli anggrek itu?"

"Mbok Karsinah memberitahu saya."

Hatta memandang Rasmi yang menundukkan wajahnya.

"Ka-mu menunggu sa-ya?" Hatta tergagap.

Rasmi mengangguk. "Tapi sekarang tidak lagi. Sebentar lagi saya akan dipinang dan saya sudah menyetujui."

"Saya ingin meminangmu, Rasmi. Maafkan saya membuatmu menunggu dalam ketidaktahuan. Dua tahun saya menjalankan tugas di Jawa Tengah. Selama itu pula tidak sehari pun terlewat tanpa saya memikirkan perjumpaan kita kembali. Sejak pertama bertemu saya sungguh telah berniat meminangmu untuk menjadi istri, menjadi ibu dari anak-anak kita."

Dada Rasmi bergemuruh mendengar pernyataan Hatta. Dia bahagia namun segera sadar takdirnya bukanlah Hatta.

"Saya tidak ingin membuat orang tua saya malu. Saya sudah mempersiapkan diri saya untuk diperistri lelaki tersebut. Saya mohon Mas Hatta untuk tidak lagi datang kemari. Anggaplah perjumpaan kita dulu hanya sebatas pertemuan dua orang asing yang takdirnya memang tidak untuk bersatu. Sebagaimana saya yang memilih maju, saya harap Mas Hatta tak lagi mengingat saya. Saya harap Mas Hatta menghormati keputusan saya." Rasmi bangkit dari duduknya, "Saya pamit."

Tepat ketika Rasmi mengambil langkah ke lima, Hatta yang masih mencerna kenyataan di hadapannya segera berujar, "Tunggu!"

Langkah Rasmi terhenti.

"Untuk terakhir kali, bolehkah saya tahu impian Rasmi mengenai kehidupan masa depan?"

Rasmi berbalik mendapati mata Hatta yang memohon dengan sayu. Perlahan Rasmi menyeka air matanya sendiri,

"Saya selalu memimpikan tinggal di dalam rumah yang luasnya cukup. Rumah itu harus memiliki jendela yang besar agar sinar matahari dapat masuk, catnya berwarna krem agar terasa teduh. Di dalamnya ada rak-rak buku yang memajang koleksi saya dan suami yang kelak bisa kami wariskan kepada anak-cucu. Di ruang utama saya ingin ada tempat khusus untuk anggrek bulan putih ... “

"Anggrek bulan putih?" Hatta bertanya.

"Konon anggrek berwarna putih dapat membawa keharmonisan pada rumah tangga. Anggaplah ini sebagai pengharapan seorang istri yang ingin rumah tangganya harmonis. Saya juga ingin di samping rumah ada balai-balai dengan kursi besar yang nyaman untuk kami menghabiskan waktu membaca buku sambil menikmati teh di sore hari. Saya memimpikan tiga orang anak. Laki-laki atau perempuan tidak masalah, yang penting mereka sehat dan bahagia serta mempunyai pilihan untuk menentukan hidupnya. Selama ini saya memimpikan ada saya di sana ... " suara Rasmi tercekat, ia menatap Hatta.

"Saya selalu memimpikan ada saya di sana bersama Mas Hatta. Tapi mimpi itu sudah lama saya tutup." Tepat saat itu Rasmi berlari meninggalkan Hatta yang kehabisan kata, Ia bahkan tak mampu mencegah kepergian Rasmi.

****

"Kamu sudah yakin, Nak?" Ibu menghampiri Hatta yang tampak termenung ketika hendak memasang dasi.

"Jodoh adalah rahasia besar Tuhan, Hatta. Bisa jadi hari ini kita tidak memiliki perasaan apapun, namun satu detik kemudian jika Tuhan berkehendak bukan tidak mungkin Tuhan akan mengisi hati kita dengan kasih sayang tak terbatas sekalipun jika orang itu asing bagi kita."

Tangan ibu rupanya masih terampil memasang dasi meski sepuluh tahun sudah berlalu sejak Bapak berpulang. Ibu menutup kerah baju Hatta, menggosok lembut pundak Hatta, kemudian mengusap rambut putranya, "Semoga kamu menemukan kebahagiaan seperti yang ibu dan bapak miliki. Semoga keberuntunganmu lebih baik dari kami."

Hatta menggenggam tangan sang ibu, menciumnya kemudian menyembunyikan kegundahan hati dalam dekapan ibunya.

Di dalam mobil ibu meminta sang sopir untuk menepi di toko bunga, hati Hatta bergemuruh, dia hendak meminta sopir untuk tetap melaju namun ibunya memberi perintah,

"Belikanlah bunga untuk gadis yang akan kamu pinang, Nak. Dengan memberi bunga semoga kalian tidak merasa asing."

Hatta menurut, meski dia sudah berjanji untuk tidak datang ke tempat Rasmi namun permintaan ibunya tak bisa ia tolak. Diam-diam ia berharap bisa melihat lagi wajah teduh Rasmi. Keteduhan yang ia butuhkan untuk menenangkan hatinya. Sampai bunga pilihannya diangkut ke mobil Rasmi tidak menampakkan diri sama sekali.

"Terima kasih sudah datang, Bu Sri. Silakan duduk, sebentar lagi Widia dibawa kemari."

Widia adalah nama yang belakangan sering di dengar Hatta dari ibunya. Perempuan yang sebentar lagi akan menjadi istrinya. Meski belum sepenuhnya menerima keputusan ini, Hatta tetap menampilkan raut wajahnya yang tenang.

Pak Rahman menjabat senang tangan Hatta sembari mempersilakannya duduk.

Tidak lama seorang wanita dalam balutan kebaya melangkah dengan anggun. Kepalanya tertunduk dengan seorang wanita yang tak lain ibu wanita tersebut berjalan di samping menggamit tangannya.

Hatta dan ibunya berdiri ketika Widia sampai di hadapan mereka.

"Nak Hatta, ini anak kami Widia Rasmi."

Hatta dan Rasmi terperangah. Oh Tuhan, seperti inikah takdir bekerja? Ketika dua anak manusia sudah saling menerima garis hidupnya, diam-diam Tuhan menyiapkan bingkisan indah yang berisi kebahagiaan tak bertepi.

Sepasang anak manusia itu dibuat takjub dengan takdir yang menghampiri mereka. Ketika mata mereka saling bertemu, air mata tak mampu terbendung. Mereka menangis terharu.

Orang tua mereka dibuat bertanya-tanya dengan pemandangan tersebut. Ketika Hatta memberi penjelasan kemudian mereka pun ikut larut dalam keharuan.

"Bahkan tanpa tahu jika kamu yang akan kupinang, hatiku memilih anggrek putih untuk kubawa kemari."

Ibu Hatta benar mengenai ucapannya, jodoh adalah rahasia besar Tuhan.

****

Di hari pernikahan mereka ketika semua tamu telah pulang dan hanya menyisakan sepasang pengantin yang berbahagia di dalam rumah, Hatta meraih tangan Rasmi dan berucap,

"Lima puluh tahun setelah hari ini, saya ingin ditakdirkan untuk tetap mencintaimu, Rasmi."

Keduanya pun merayakan cinta yang sudah dianugerahkan oleh Tuhan untuk mereka.

Hari-hari setelahnya adalah cerita-cerita bahagia mewujudkan impian mereka.

Dengan tanah warisan dari mendiang bapak, dibangunnya rumah untuk Rasmi. Jendelanya besar-besar, dengan dinding bercat krem. Hatta membangunkan perpustakaan kecil di dalamnya. Di sudut ruang keluarga Hatta menyiapkan tempat untuk Rasmi merawat anggrek putih kesayangannya. Mereka sering menghabiskan waktu di balai-balai samping rumah dengan membaca buku kemudian mendiskusikan gagasan-gagasan dari buku yang usai dibaca sembari menikmati seduhan teh.

Di rumah itu pula keduanya menyambut kelahiran anak pertama mereka yang dinamai Bagas. Bayi laki-laki yang sehat dan tampan. Rumah mereka pun menjadi semarak dengan kehadiran Bagas.

Tiga tahun setelah kelahiran Bagas, Hatta dan Rasmi dihadapkan pada sebuah kenyataan yang memilukan. Di kehamilan kedua Rasmi mengalami perdarahan hebat pasca melahirkan. Hal ini membuat Hatta harus mengambil keputusan terberat untuk keselamatan Rasmi. Rasmi harus merelakan rahimnya diangkat. Impiannya untuk memiliki tiga anak bersama Hatta harus ia kubur dalam-dalam.

Tidak semua hal di dunia bisa jadi milik kita. Jika kita berbahagia dengan apa yang kita miliki, Tuhan pasti akan menambah kebahagiaan untuk kita. Dengan berpegang pada keyakinan itulah Rasmi dan Hatta mampu melalui duka yang hadir. Melihat Bagas dan Gendhis tumbuh sehat dan cerdas terasa seperti pelunasan janji dari Tuhan atas kabut gelap yang sempat hadir.

Hatta dan Rasmi terus membersamai dalam kasih sayang. Cinta yang mereka pupuk terus tumbuh, mengakar kuat menembus tahun-tahun yang panjang.

Ketika Bagas dan Gendhis bergiliran menjemput kebahagiaan mereka, membangun kisah cinta sendiri, Hatta dan Rasmi melepas mereka dengan hati yang penuh syukur dan bahagia. Harapan Rasmi tentang anak-anaknya dan Hatta yang bisa menjalani pilihan hidupnya telah terwujud.

Keduanya tak pernah merasa kesepian. Mereka menikmati setiap kebersamaan. Tertawa bersama, saling menghapus air mata ketika berbagi kerinduan tentang waktu yang cepat berlalu, menua bersama.

Keindahan cinta yang Hatta dan Rasmi bagikan untuk satu sama lain terasa kian langka di dunia ini. Tidak sedikit manusia menjadi egois, ketika memperoleh kasih sayang mereka malah sibuk meminta lebih tanpa memberinya kembali dengan usaha yang lebih baik. Kebanyakan manusia ingin kehadirannya dihargai tetapi lupa untuk menemani, mensyukuri perhatian yang diterima. Sementara Hatta dan Rasmi, keduanya sama-sama mencintai dan menghargai kehadiran satu sama lain. Entah karena bunga anggrek putih di ruang keluarga yang selalu dirawat oleh Rasmi, yang membuat pernikahan mereka harmonis hingga usia senja, atau usaha yang diam-diam terus mereka lakukan serta doa-doa yang mereka panjatkan agar Tuhan berkenan memberikan kebahagiaan pada pernikahan mereka. Hatta dan Rasmi tak pernah tau jawabannya.

Lima puluh tahun berlalu dan Tuhan masih berkenan menyatukan mereka.

****

Hatta di usia senja memandang Rasmi yang tenang dalam tidurnya. Tanpa terasa telah lebih dari lima puluh tahun ia mencintai Rasmi. Rambut panjang yang memutih hanya membuat Rasmi semakin bersinar. Garis-garis dalam di kedua sudut bibir yang membentuk lengkungan huruf c adalah bukti tentang jumlah tawa tak terbilang yang telah mereka bagi bersama. Rasanya kebahagiaan lebih banyak hadir dalam pernikahan mereka.

"Rasmi, saya titip ucapan terima kasih pada Tuhan karena sudah teramat baik mengijinkan saya mencintai serta membersamaimu lebih dari lima puluh tahun. Tunggulah saya dengan tenang. Kamu ingat, kan? Dahulu sebelum bersama untuk waktu yang lama kita sama-sama dibuat menunggu dalam kerinduan yang panjang. Seperti dulu, suatu hari saya akan kembali menemukanmu agar kita kembali bersama. Saya mencintaimu bersama setiap kebahagiaan yang telah kamu hadirkan."

Hatta mengecup kening Rasmi untuk terakhir kali. Membacakannya doa panjang agar menjadi teman Rasmi di keabadian. Anggrek putih kesayangan Rasmi juga menjadi teman di atas pusaranya.

Bagi Hatta lima puluh tahun bersama Rasmi adalah waktu yang sebentar. Setiap detik yang ia lalui tanpa Rasmi adalah penantian panjang. Rasmi telah pergi. Namun, kasih sayangnya terus menyinari, memberi kehangatan pada hatinya. Hatta tau, Rasminya tak pernah berhenti bersinar.

Selesai. (Tegal - @nawanhandono)

Posting Komentar untuk "Sepotong Harap di Ujung Waktu - Cerpen Oleh Nawan Handono"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress