CERPEN - SATU JAM SAJA - Oleh Rizka Hinayah



Namaku Raina aku seorang anak yang memiliki kekurangan, aku terlahir sebagai anak polidaktili, saat aku lahir ibuku juga kekurangan darah. Saat melahirkanku perjuangannya begitu keras aku terlahir sebagai kategori bayi prematur. Selain itu karena iburahimnya sangat lemah hingga harus di oprasi pada saat itulah orang tuaku menjual semua hartanya, namun sayang aku lahir kedunia bayarannya harus nyawa ibu.

 18 tahun lebih aku hidup tanpa ibu, aku hanya di asuh oleh seorang ayah yang juga seorang Disabilitas. Ayah tak mampu berjalan setiap harinya hanya di bantu kursi roda kehidupan yang amat sangat miskin, dan keterbatasan materi membuatku sangat menderita

Bagaimana tidak semuanya serba kekurangan.

18 tahun setengah berlalu...

Hari dimana pengumuman naik ke kelas 2Sma

“Inilah yang di tunggu tunggu, pengumuman juara1 Umum yang akan di bacakan langsung oleh bapak kepala sekolah,” ujar waka kesiswaan dengan semangat.

Waka kesiswaan memberikan micnya ke kepala sekolah agar membacakan siapa juara umum di Sma Mahardika11.

Dengan jantung yang sedari tadi sudah dag dig dug, dan berdenyut tak menentu aku tak sabaran siapa yang

Akan menjadi juara1 umum, di karenakan pada masa kenaikan kelas 11 akulah yang juara1 umum tersebut.

“Baiklah saya tau kalian pasti sudah dag dig dug menunggu siapa yang akan menjadi juara1 umum di sekolah kita pada kali ini,” ujarnya membuatku tambah penasaran.

“Langsung saja juara 1umum jatuh kepada...”

 

Menjeda ucapannya sekitar beberapa menit, aku menarik nafas dalam membuangnya dengan kasar. Semangkin kesini semangkin membuatku penasaran.

“Juara1 umum jatuh kepada... Alianda Rania Maharani Floura,” ujarnya sangat meriah.

Suara yang kuat dan melengking di telinga membuatku terharu bahagia, aku maju kedepan dengn bangga, dan sedih lagi lagi aku maju sebagai juara umum dengan bahagianya namaku terdengar jelas oleh ratusan siswa lainnya.

“Rania selamat nak lagi lagi kamu berprestasi,” menjabat tangan ku.

“Terimakasih bu,” senyumku paling bahagia.

Semua orang mengucapkan selamat kepadaku.

“Yah nih hasil ujian akhirku,” menyodorkan dengan wajah terpaksa.

“Alhamdulillah nak,” ia tampak kaget bahagia melihat hasil Raina.

“Nakkk...”

“Hmm,” gumamku  buang muka.

“Kamu memang anak ayah paling luar biasa,” laki laki itu mendorong kursi rodanya mendekat dengan ku ia ingin memeluk.

“Ihhh apaansih ga usah peluk peluk,” bentak ku.

“Astaqfirullah nak kamu ini,” mengelus dada.

“Apaansihh,” ujarku sangat geram kepadanya.

“Andaikan ibu masih ada pasti ibu bangga dengan ku, ibu pasti senang, kenapasi aku yang nanggung semuanya, kenapasih aku yang harus terlahir punya ayah ga berguna sama sekali? Sumpah deh ayah itu cuma beban kalau ayah ga di kursi roda ga

jadi ayah yang menyandang Disabilitas. Kek aku itu punya sosok laki laki tapi ga berguna sama sekali percuma,” lanjutku aku pergi meningglkan nya.

Pada saat itu aku benar benar tak menghiraukan perasaannya karena apa yang ku bilang tadi sesuai sama kenyataan jadi sah sah saja.

 ***

“Raina... ini sudah siang loh nak,” membanguuni degan lembut.

“Eeemm.”

“Bangun, udahh pagiloh ini.”

“Ya ampuun aku masih ngantuk,” tapi akhirnya aku memutuskan untuk bangkit juga.

“Audah ngantuk banget, minggir aku mau mandi” gertak ku menggeserkan posisi kursi roda.

Lelaki itu hanya geleng kepala, ia tak berkata sepatah katapun.

***

Dengan langkah jalan yang teratur wanita itu datang membuka tudung saji yang terbuat dari rotan.

“Yahh... ayaaahh,” teriaknya dengan suara yang kuat, sehingga memenuhi ruangan.

“I, ia sebentar nak,” lelaki tua yang duduk di kursi roda itu segera saja langsung menghampiriputrinya.

“Ada apa?”

”Ada apa, ada apa ga liat noh mana lauk aku lapar yah masak aku harus makan kerak nasik lagi ogah,” dercanya marah marah.

 

Astaqfirullah nak, ayah cuma punya itu. Ayah ga punya uang,” jelas laki laki itu dengan menahan tangisnya.

“Udah deh emang ayah ga guna sumpah kalau kyak gini mending aku tinggalin ayah aja sendiri,” Raina pergi kekamar nya.

Raina, ia sengaja membantingkan pintu kamarnya sangat kuat sehingga membuat ayahnya terkejut.

“Astaqfirullah,” mengelus dada.

Lelaki itu berusaha menyabarkan dirinya.

“Kalau begini aku bisa bisa bakalan terus terusan melarat apa lagi hidup susah sama orang tua beban yng bisanya cuma nyusahin kapansi ayah itu ga usah buat aku susah ribet amat hidupnya kalau gitu mendingan ayah aja dulu yang meninggal kenapa harus ibu,” geram.

“ahh udah deh mending aku keluar aja buat ngilangi suntuk,” Raina bangkit dari tempat tidurnya.

“Rania mau  kemana nak?”

“Ga urusan ayah sera akulah mau pergi kemana emang masalah buat ayah ga kan! Yaudah ga usah nanya nanya,” ujar Raina membentak.

“Raina kamu itu satu satunya harta ayah, kamu itu berarti buat ayah. Ayah ga salahkan kalau nanyak.”

“Udah dehhna ayah itu ga berguna ga usah sok deh percuma,’’ Aku langsung pergi meninggalkan ia dirumah.

“Sumpah itu orangtua susah amat ribet semua mau tau heran udah ga pernah ngasih uang jajan soksoan mau nasehat kebanyaan cakap,” dercaku.

Kebanyaan orang mengatakan bahwasanya anak perempuan itu cinta pertamanya adalah ayah, tetapi itu tidak berlaku padaku justu orang yang ku benci pertama adalah ayahku, ia tak seperti lelaki lain ia sangat payah, bahkan hidupnya hanya embebaniku selama 20tahun.

01 April tepat ultaku bahkan sepeserpun laki laki itu tak memberiku kado. Selama 20tahun aku tinggal di rumah gubuk bersama ayah kini, aku sudah tumbuh dewasa aku juga suda tamat sekolah kini aku melanjutkan

 

 

 

sebagai pelukis, karya karya lukisan ku sudah banyak terjual hingga keluar kota rencana uang lukisan itu akan ku gunakan untuk pindah ke kota dan meninggalkan ayah apalagi ia sekarang hanya seorang laki laki tua yang lemah tak berguna, ayah sekarang sudah sakit sakitan uangku hampir habis gegara sering membawanya kerumah sakit.

Uhhuukk, uhhuuk. Suar batuk yang kuat.

“Yahh bisa diam ga aku lagi melukis ribut amat keluar sana,” ujarku sambil melukis.

“Maa, maaf nak ayah rasa ayah butuh obat,” sura sesak sesakan.

“Yaudah belilah sana ga lihat apa aku lagi melukis.”

Uhuuk... uhukk... suara batukan ayah terus terusan saja menggangguku.

“Bisa diam gasihh,” bentkku mulai emosi mendengar suaranya yang terus terusan batuk batuk.

“Nakkk tol... to... tolong,” suara ayah terdengar putus putus.

“Apaan lagi sih berik amat,” aku memutuskan bangkit dan meninggalkan lukisanku itu.

“Apaan?” berkacak pinggang di depaan pintu.

Uhuuk... huuk, ayah memuntahkan darah dari mulutnya.

“Ayahhh,” Teriakku mulai panik aku segera saja menghampirinya.

“Ayah, yah ayah bertahan ya,” ujarku menenangkan.

Saat itu rasa panik akan ayah mulai menyelimuti jiwaku, aku mencoba mengambilkan pil penenang dari dokter.

“Ayah yah sini minum pilnya dulu.”

“S- sudahlah Raina ayah rasa ayah tak akan lama lagi,” memegang pipi Raina.

“Yah ayah ga boleh gitu, pokoknya ayah harus kut,” saat itulah aku menangisi seseorang yang selama ini selu ku lawan.

“Ra- rai na kamu udah dewasaya, selama ini ayah belum bisa bahagian kamu selama ini ayah hanya menjadi beban buat kamu, sekarang ayah yang tak berguna ini akan pergi buat selamanya,” menangis.

“Ga ga, ayah harus kuat, ayah ga boleh ninggalin aku,” air mataku menetes, tangis ini semangkin menjadi jadi.

“Ayah sudah tidak tahan, kamu harus hidup dengan baik kamu juga harus tumbuh menjadi anak yang hebat, kamu pintar kamu pasti masuk kemanapu ayah jamin itu. Raina kamu jangan malu sama kekurangan kamu ya kamu anak istimewa kok,” tersenyum menguatkan Raina.

“Yah bagaimana mungkin aku baik baik saja tampa ayah,” Memgang erat tangannya.

Namun ayah hanya tersenyum perlahan melempitkan tangan nya ke perut, saat itu jugalah matanya tertutup menghembuskan nafas terakhir.

“Ayaaaahhhhh tidakkkkkk yaahhhh,” Teriakku semenjadi mungkin aku mulai merasakan kehilangan terhebat, sebelumnya aku tak pernah merasakan ini. Aku merasa anak yang berengsek anak yang bisanya hanya melawan anak kurang ajar yang tidak tau diri.

“Yah Raina menyesal, yah Raina mau ayah kembali Yah Raina belum siap kehilangan sosok ayah, Raina menyesal yah.”

Aku memeluk mayat lelaki itu dengan erat, tak henti henti aku menciumi dan menangis di peluknnya.

“Yahh, Raina mau ngobrol dengan ayah 1Jam saja yah,” mengharap kalau ayahku hidup kembali. (Medan - Rizka Hinayah)

 


1 komentar untuk "CERPEN - SATU JAM SAJA - Oleh Rizka Hinayah"

Lepisiah 27 Januari 2023 pukul 23.43 Hapus Komentar
Sedih ceritanya dan penuh hikmah
www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress