Rahasia Hati - Cerpen Oleh : Renti Sucia



Katanya cinta itu buta. Kurasa ungkapan itu benar, karena aku merasakannya sendiri setelah sekian tahun lamanya mencintai orang yang salah. Ya, salah. Dia bukan orang yang seharusnya kucintai. Tapi, dengan segenap rasa aku terus mencintainya tanpa lelah.

 Kak Pras .... Batin ini memanggil, ketika kulihat wajah rupawannya tersenyum ke arahku.

Dia berjalan sambil membawa dua gaun pengantin di tangannya. Satu berwarna putih polos, sedikit terbuka di bagian dada, tapi terlihat anggun meski tampak sederhana. Satu lagi berwarna krem. Gaun ini terkesan mewah. Banyak mutiara berkilauan. Sangat indah. Mataku berbinar saat melihatnya. Tapi, ada sesuatu yang membuatku tidak nyaman, yaitu perilaku kedua pramuniaga yang ada di belakang kak Pras.

Kulirik mereka yang diam-diam mencuri pandang pada kak Pras setelah sebelumnya menyerahkan kedua gaun tadi. Ck! Aku paling benci kalau ada perempuan yang memandangi kak Pras. Tapi, ya ... wajar, sih. Kak Pras memang tampan dan memikat. Kurasa dua pramuniaga itu memang mengaguminya. Ya sudahlah, kubiarkan saja, sebab tak mau merusak suasana hati kak Pras andai aku membuat keributan di sini.

"Gimana, Nay? Menurut kamu, mana yang lebih bagus?" tanya kak Pras dengan wajah yang berseri-seri. Membuat aku kembali fokus menatapnya.

Kak Pras mengangkat kedua alisnya, menanti jawabanku. Aku menyentuh gaun kedua, lalu kuraba perlahan.

"Ini bagus, Kak. Tapi, yang sederhana lebih cantik menurutku," ucapku kemudian.

Kak Pras langsung tersenyum, aku pun ikut tersenyum. Ah ... damai rasanya kala melihat senyum yang merekah itu. Senyum yang selalu membuat jantungku berpacu, dan membuat pipiku merona.

"Ya sudah, kamu coba yang ini, ya?" suruhnya sembari menyodorkan gaun yang kumaksud.

Aku malu-malu menerimanya. Tapi, kuraih juga dan kubawa ke kamar pas untuk dicoba. Bayangan wajah Kak Pras tidak henti mengitari pikiranku. Aku begitu mencintainya, dari dulu hingga sekarang. Perasaan ini kian membesar dan sangat sulit untuk dikendalikan.

Hingga kini, masih kuingat masa itu, hari ketika kak Pras menggenggam tangan ini dan menarikku untuk berlari. Kejadian sembilan tahun lalu, waktu ketika aku telah jatuh hati padanya. Saat itu aku masih remaja, usiaku baru lima belas tahun, masih berseragam putih biru kelas tiga. Mungkin, itu adalah masa pubertasku, pertama kali merasakan debaran yang setiap harinya membara ketika melihat kak Pras.

"Pergi! Husssh!" teriakku mengusir seekor anjing geladak besar berwarna cokelat sedang menggonggong padaku.

Mata hewan itu menyorot tajam seakan ingin menerkam. Aku panik dan gemetar ketakutan. Meski begitu, aku tetap berusaha mengusirnya dan mengibas-ngibaskan ranting panjang ke arah anjing itu sambil terisak. Tapi, di tengah ketakutanku, tiba-tiba kak Pras datang dan memukul anjing besar itu dengan sebuah batu.

Mataku mengerjap kaget. Tubuhku masih gemetar ketika kulihat hewan itu tersungkur sesaat. Belum juga napas kuatur, kak Pras menarikku, menggenggam erat tangan.

"Ayo, Nay! Pergi!" serunya seraya melirik anjing yang masih terlihat mengaung kesakitan.

Kami berlari bersama. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan anjing itu, tapi hewan liar tersebut tidak mengejar. Kulihat tangan kak Pras begitu erat menggenggam tanganku. Seragam putih abu-abunya tampak terapung naik turun. Napasnya terdengar biasa saja, padahal aku sendiri sudah kepayahan merasa agak sesak. Entah mengapa, ada desir halus mulai memburu hati? Membuat jantung yang sudah terpacu bertambah kencang saja.

"Kak! Stop! Aku capek!" teriakku.

Kak Pras pun berhenti. Tangannya belum juga ia lepas, membuat aku sedikit ... ah, aku tidak tahu perasaan macam apa, ini? Dag dig dug tidak karuan. Kak Pras malah tertawa
melihatku ngos-ngosan, lalu melepaskan genggamannya. Aku berjongkok sambil masih mengatur napas.

"Kamu, ini. Makanya, jangan keluyuran habis pulang sekolah!" ujar kak Pras.

Semua masih terekam jelas di pikiranku. Hanya sebuah hal kecil, tapi hal itu membuat hatiku bergetar. Waktu itu, aku tidak tahu bahwa yang kurasakan adalah sebuah perasaan suka, dan setelah aku beranjak lebih dewasa, ketika aku berusia delapan belas. Aku tahu, aku sadar. Ternyata selama itu aku telah menyimpan rasa cinta terhadapnya.

Kini aku menatap cermin melihat pantulan diri sendiri, menggunakkan gaun pengantin yang dipinta kak Pras untuk dicoba. Aku tertegun. Sejenak aku mencoba menenangkan diri, menghela napas berat dan keluar dari kamar pas. Kulihat kak Pras tersenyum melihatku memakainya.

"Nay, ukurannya pas. Bentar, kakak foto dulu, mau kakak kirim fotonya," ucapnya seraya memotretku dengan ponsel.

Aku terpaksa tersenyum ketika blitz kamera menyala. Tak lama, kak Pras mengirimkan foto tersebut pada seseorang, lalu terdengar notifikasi pada ponsel kak Pras. Ia mengulum senyum waktu melihat layar ponsel, dan kak Pras menoleh padaku.

"Nay, katanya dia setuju pilih gaun ini. Modelnya dia suka. Soal ukuran, pasti akan muat. Kan, gak beda jauh dari tubuh kamu, Nay. Oh, iya, Mega juga berterima kasih sama kamu, karena sudah membantunya memilihkan gaun pengantin. Kamu ini memang adik kesayanganku yang baik, kakak juga sangat berterima kasih," terangnya dengan wajah ceria.

Benar, sesaat aku lupa bahwa kak Pras adalah kakakku. Meskipun sebenarnya dia bukanlah kakak sedarah daging. Tapi, harusnya aku menghargai itu. Kak Pras selalu baik padaku, tanpa tahu kalau selama sembilan tahun ke belakang, aku telah menyukainya. Sehingga aku yang hampir sepuluh tahun ini selalu menolak ungkapan cinta dari laki-laki mana pun dan memilih melajang.

Meski getaran cinta begitu kuat di hati, aku tetap tidak bisa mengatakan dengan jujur pada kak Pras. Untungnya di setiap egoku mulai menghasut, akalku menyadarkan. Dan aku berpikir tidak mungkin berkata, "Aku mencintai Kakak selama ini."

Tidak! Tidak di saat ia akan memulai hidup baru bersama Mega, calon istrinya. Aku memang sempat menyesali diri ketika selama ini memendam perasaanku. Mengapa tidak kukatakan sejak dulu, sejak kak Pras masih sendiri? Tapi, lagi-lagi nurani berbicara ketika akal sehat kembali menyadarkan khayalanku.

Aku tidak bisa memilikinya! Kak Pras adalah kakakku. Meski kami tidak dilahirkan dari rahim yang sama, aku merasa tidak pantas mengungkap rasa suka ini padanya, ketika bagaimana kuingat bunda memperlakukanku seperti putrinya sendiri. Aku sadar diri, tidak mungkin aku membuat bunda kecewa sebab keegoisan ini.

Ya, akhirnya perasaan ini tersimpan sendiri hingga kini. Aku bahkan masih ingat ketika satu bulan lalu tiba-tiba kak Pras membawa perempuan bernama Mega ke rumah dan berkata bahwa Kak Pras ingin menikahinya. Apa yang kulakukan saat itu? Aku tersenyum palsu di hadapan mereka dengan hati yang tersayat, terluka sangat dalam. Tapi, aku berusaha merelakan, bahkan membantu mempersiapkan keperluan pernikahan kak Pras dan Mega.

Semua sangat sulit dan berat kurasa, seberat gaun yang kupakai sekarang. Ingin rasanya kumenangis, tapi kutahan. Bagaimanapun, tanpa sadar, kak Pras telah menyakiti hati ini dengan menyuruhku mencoba gaun yang akan dipakai oleh calon istrinya tiga minggu lagi. Tapi, ya sudahlah, ini juga karena aku berjanji untuk membantu kakakku.

Sampai detik ini pun aku belum bisa menghilangkan perasaan di hati, meski tahu kalau kak Pras akan segera menikah dengan perempuan pilihannya. Biarlah kuukir nama kak Pras dengan indah di hati ini, tanpa ada yang tahu selain diriku. Aku turut bahagia melihat kak Pras akan bersanding dengan Mega yang amat dicintainya. Setidaknya, aku akan selalu melihat ia tersenyum bahagia setiap hari. (Sukabumi - Renti Sucia)

Posting Komentar untuk "Rahasia Hati - Cerpen Oleh : Renti Sucia"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress