Iri - Cerepen Oleh : Toto M Rianto



     Di samping ada kesulitan, ada kemudahan, kata Kitab  Suci. Dan pada kenyataannya, setiap ada kemudahan, ada pula hambatannya. Paling tidak, hal itulah yang sekarang sedang dialami oleh Jusit.
     Sudah tiga tahun istrinya meninggal, tapi Jusit belum menikah lagi, karena ia makin tekun  mendalami hobinya di dunia tulis menulis dan  kini karya tulisnya—baik cerpen maupun novel—tidak ada lagi yang ditolak oleh media cetak maupun penerbit. Dari sinilah rejeki itu mengalir ke pundi-pundinya, dari sini pula ia dapat hidup lebih makmur dari para tetangganya di Perumahan Sangat Sederhana Janji Permai. Tapi Jusit tak pernah menceritakan hobi menulisnya pada para tetangganya, kecuali pada Pak RT yang memang paling enak untuk diajak ngobrol. Perumahan itu masih baru, masih banyak rumah yang kosong, belum terjual. Dan rumah Jusit menjadi rumah yang paling mentereng karena sudah direnovasi  Hal inilah yang membuat iri para tetangganya.        
     Seperti saat ini. Pulang kerja Jusit menggunakan Avanza yang baru dibelinya. Melihat hal ini Wasimo—tetangga persis depan rumah Jusit—sejenak melongo, lalu geleng-geleng kepala, wajahnya tampak kesal. Hem, makin kaya aja itu duda, batinnya. Sesaat Wasimo terdiam, lalu kembali membatin: ini orang pasti miara tuyul. Masak kerja dipercetakan bisa sekaya itu? Aku aja yang Kepala Bagian Keuangan di kantor kerjaku belum bisa merenovasi rumah, apalagi beli mobil...
     Beberapa saat kemudian Wasimo mengangguk-angguk, sebuah gagasan busuk melintas di benaknya.  
*
     Malam Minggu. Wasimo bertandang ke rumah Kamir, tetangga satu RT dengannya. Di sana sudah ada Bajul, Farhat dan Paijo. Mereka berempat bermain kartu.
     “Selamat malam, Bapak-Bapak…,” sapa Wasimo.
     “Malam…,” sahut bapak-bapak itu serempak.
     Wasimo menarik kursi, lalu duduk di antara para tetangganya yang tengah bermain kartu itu.
     “Tumben Pak Wasimo mau malam mingguan…,” kata Farhat sambil membanting balak 6.
     Wasimo cuma mesem-mesem.
     “Eh Pak Wasimo,  tetangga depan rumah  sampeyan makin hebat, ya?” Kamir melirik ke arah Wasimo.
      “Hebat apa?” Wasimo berlagak tidak tahu.
      “Lha itu, sekarang  punya mobil,” ucap Kamir.  
      “Oh… itu. Ya ya, dia memang hebat.” Wasimo berlagak memuji.
     “Apa? Pak Jusit  punya mobil?” kening Farhat berkerut.
     “Iya.  Avanza ,” ujar Wasimo.
     “Hem, kerja di mana sih  Pak Jusit itu, sampai bisa beli mobil segala?” Farhat meletakkan kartu yang dipegangnya di atas meja, lalu menatap Wasimo.
      “Cuma kuli percetakan,” sela Kamir sambil  meletakkan pula kartu di tangannya.
     “Wah, kalau gitu pasti dia cari duitnya dengan cara yang nggak bener,” komentar Farhat.
     Ada peluang,  Wasimo pun ingat pada rencana busuknya.
     “Ya jelas itu,” sahutnya cepat. “Kalau pakai cara yang benar, mana ada kuli percetakan bisa beli mobil.”
     “Apa maksud Pak Wasimo?” Bajul ikut meletakkan kartu. “Pak Jusit miara tuyul?”
    “Apa?? Miara tuyul?!” Paijo juga meletakkan kartunya. Praktis mereka sudah tidak bermain kartu.
    “Bukan tuyul Pak, tapi babi ngepet!” tandas Wasimo.
    “Babi ngepet itu apa sih, Pak?”  Paijo tak mengerti.
    “Babi jadi-jadian, kerjanya juga suka mencuri uang,” terang Wasimo.
    “Lalu cara kerjanya bagaimana, Pak?” kening Paijo berkerut. “Babi kan besar, nggak kecil seperti tuyul?”
     “Kalau yang namanya binatang jadi-jadian, bisa juga mengkerut kecil, Pak,” mimik Wasimo serius. “Bahkan, cara kerja babi ngepet itu lebih canggih. Hanya dengan menggosokkan badannya di pagar rumah kita, uang yang ada di rumah kita bisa berkurang.”
    “Ah yang bener, Pak Wasimo,” Farhat setengah tidak percaya. “Apa sampeyan pernah melihatnya?”
    “Kalau saya nggak lihat, mana berani saya ngomong begini?” ucap Wasimo sungguh-sungguh.
    “Kalau begitu, kurang ajar betul Pak Jusit itu,” tukas Kamir. “Pantas sebulan yang lalu, sisa uang gajian yang simpan di lemari hilang duaratus ribu. Waktu itu saya mengira salah hitung. Sekarang saya yakin, pasti uang itu diambil oleh babi ngepetnya Pak Jusit!”
    “Dua minggu yang lalu, saya juga kehilangan uang yang ada di dompet,” tambah Bajul.  “Memang cuma limapuluh ribu. Tapi kalau nggak ada yang mencuri, tahu-tahu hilang, ya bener juga kalau diambil oleh babi ngepet itu.”
     “Kalau gitu ayo kita serbu rumah Pak Jusit!” Kamir  geram. “Duda tanpa anak itu rupanya diam-diam bajingan!”
     “Ah, jangan buru-buru, Pak…,” Farhat menenangkan suasana. “Lebih baik, malam ini kita nongkrong di rumah Pak Wasimo, kita tunggu hingga dini hari. Kalau kita  sudah sama-sama melihat babi ngepet keluar dari rumah Pak Jusit, baru kita laporkan masalah ini ke Pak RT.”
     “Ya ya, itu cara yang terbaik,” ujar Paijo.
     Maka kelima orang itu pindah tempat nongkrong, ke rumah Wasimo. Pas mereka sampai di teras depan rumah Wasimo, turun hujan yang cukup lebat, disertai padamnya listrik. Maka keseraman mencekam Perumahan Janji Permai.
     Wasimo masuk ke dalam rumah, mengambil lilin, tikar dan makanan ringan. Lalu mereka duduk santai di teras depan rumah Wasimo sambil ngobrol dengan suara lirih, sementara mata mereka terus memandangi rumah Jusit yang tirai jendelanya sudah ditutup. Saat ini memang sudah jam 10.  
     Satu jam berlalu, belum ada kejanggalan dari rumah Jusit. Kamir, Bajul, Farhat dan Paijo mulai merasa jenuh. Dan untuk membunuh rasa jenuh keempat orang itu kembali bermain kartu, sedang Wasimo kembali hanya jadi penonton.  Dan beberapa saat kemudian hujan reda, tapi aliran listrik masih padam.
     Satu jam lagi berlalu, tapi tetap tak ada kejanggalan dari rumah Jusit. Wasimo mulai memutar otak, mencari jalan untuk rencana busuknya. Dan tiba-tiba melintas seekor  anjing herder di jalan depan rumahnya. Wasimo pun tidak menyia-nyiakan kesempatan.
     “Ssstt… lihat, lihat…itu  babi ngepet keluar dari rumah Pak Jusit!” bisik Wasimo.
     Spontan permainan kartu  berhenti; Kamir, Bajul, Farhat dan Paijo serentak memandang ke rumah Jusit.
    “Mana, mana…?” tanya mereka serempak.
    “Sudah lari ke Utara…,” kata Wasimo.
    Sontak kelima orang itu bangkit dari duduk, lalu menghambur ke jalan di depan rumah Wasimo. Tapi anjing itu sudah tak tampak, lenyap ditelan gelapnya malam. Karena penasaran, kelima orang itu serempak lari ke  arah Utara. Tapi anjing itu tetap tak tampak. Di depan mereka terhampar semak belukar.
     “Pak Jusit memang asu buntung,” rutuk Wasimo.
     “Ya, benar-benar asu buntung,” tambah Bajul.
     “Kompleks perumahan kita sudah tidak aman lagi,” ucap Paijo.
     “Bagaimana kalau  kita serbu saja rumah Pak Jusit?” usul Kamir.
     “Setuju…!!” seru Wasimo, Bajul, dan Paijo bersamaan.
     “Jangan, jangan,” cegah Farhat. “Kita jangan main hakim sendiri. Lebih baik, besok siang, kita laporkan hal ini pada Pak RT.”
     “Ya, rasanya itu cara yang terbaik,” imbuh Paijo.
     Wasimo, Kamir dan Bajul tak berkomentar.
*
     Minggu siang. Wasimo, Kamir, Bajul, Farhat dan Paijo bertandang ke rumah Pak RT. Dan setelah sedikit berbasa-basi, akhirnya Farhat bicara mewakili keempat tetangganya itu.
    “Begini, Pak RT…,” suara Farhat sedikit kikuk. “Tetangga kita, Pak Jusit baru beli mobil. Ini janggal, Pak RT. Lha kerja Pak Jusit kuli percetakan,  kok bisa beli mobil?”       
     Merasa ada jalan, keberanian Wasimo muncul. “Iya, Pak RT. Biar dia duda tanpa anak, sebagai tetangga yang rumahnya berhadap-hadapan dengan saya, saya tahu persis kalau Pak Jusit itu nggak bisa ngobyek, selain bekerja di percetakan.”
     Lalu Kamir dan Bajul mengatakan: bahwa mereka berdua pernah kehilangan uang dengan cara yang aneh. Dan menambahkan: bahwa Jusit punya babi ngepet.     
     Mendengar laporan ini, Pak RT tersenyum simpul. “Saya nggak tahu, dari mana Bapak-Bapak mendapat berita negatif ini ,” katanya  kalem. “Asal Bapak-Bapak tahu saja, sesungguhnya Pak Jusit itu orang yang hebat! Dia memang kuli di percetakan, tapi rupanya dia punya bakat menulis. Bapak-Bapak harap tahu, Pak Jusit telah berhasil menerbitkan 3 buah novel karyanya dan ketiga novel itu laku keras di pasaran. Jadi Pak Jusit bisa kaya, jelas dari honor karya-karya tulisnya. Dan kalau sekarang beli mobil, pasti dari hasil royalti novel karyanya.”  
     Pak RT bangkit dari duduk, masuk ke dalam rumah, lalu kembali lagi dengan membawa tiga buah buku.
     “Ini, novel karya Pak Jusit,” Pak RT memperlihatkan tiga novel karya Jusit pada kelima warganya itu. Menyaksikan hal itu, Wasimo, Kamir, Bajul, Farhat dan Paijo  tak mampu berkomentar, mereka hanya melongo.  
     Jam dinding berdentang dua kali, Pak RT sedikit menggeragap, seperti ingat akan sesuatu. Lalu ia mengambil remote control dan menghidupkan TV yang ada di atas bufet ruang tamu rumahnya.  Kemudian  dengan remote control pula Pak RT  mencari stasiun TV yang menyiarkan  Acara Dialog dengan Tokoh. Dalam dalam acara itu, tampak Jusit sedang diwawancarai oleh Pembawa Acaranya, mengenai tiga novel karyanya yang best seller. Dan menyaksikan hal ini,  Wasimo, Kamir, Bajul, Farhat dan Paijo semakin tak bisa berkomentar. Mereka semakin melongo.
*
(Malang - Toto M . Rianto)

Posting Komentar untuk "Iri - Cerepen Oleh : Toto M Rianto"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress