Alhamdulillah, terimakasih guru dan sahabat JPI

Masalah tak kunjung berhenti, atau lebih tepatnya mungkin memang hidup ini adalah masalah, hingga ketika bayi lahir ia hanya punya pilihan menangis atau mati. Namun begitu, kenyataannya orang-orang yang hidup masih banyak yang mengharapkan kehidupannya di lanjutkan oleh generasi berikutnya. Manusia-manusia yang lahirnya menangis itu akan tersenyum mendengar tangisan pertama dari manusia selanjutnya.

Saya ingat sekali ketika sebuah pertanyaan diajukan oleh seorang guru, "Untuk apa kamu menulis?" Ketika itu saya jawab bahwa saya ingin keluar dari tempat dimana sekarang saya bekerja. Di kampus pertanyakan serupa ditanyakan oleh seorang dosen, "Untuk apa kamu kuliah?" Saya menjawab, "Untuk menyelesaikan masalah".

Beberapa lama ini kedua pertanyaan itu kembali muncul, yang mirisnya kedua kalimat jawaban saya masih belum terealisasi. Menjawab pertanyaan amat mudah, membuktikan jawaban yang amat sulit. Orang akan mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan karena dipengaruhi oleh pengetahuan yang ia miliki, pengetahuan secara empiris maupun intuitif. Tapi bagi saya masih kurang, masih kurang ilmu. Kurang pengalaman pula. Plus kurang keberanian, kurang ongkos dan kurang bersyukur. Dengan kata lain saya masih menyalahkan hal-hal diluar diri saya. Saya masih berkutat pada daya khayal yang melebihi rasional, jauh melampaui kemampuan. Saya masih memegang erat kalimat, andai saja, seandainya, kenapa dia gak begini-begitu, kenapa mereka tidak mengerti, andai kata, dan lain sebagainya yang terlalu menekankan bahwa lingkungan lah yang harus menuruti saya.

Masa motivasi memang tidak pernah mati, sang motivator selalu saja hadir dan mudah didapati. Namun, motivasi dari dalam diri tak juga mampu menggerakkan langkah, tidak bisa menggerakkan tangan, masih memenjarakan pikiran dan perasaan yang padahal saya sadar. Saya sadar akan semua pesimistis itu.

Di JPI ini tempat pertama kali saya temui orang-orang yang dahulu saya menyebutnya kumpulan orang hebat. Obrolan yang saya simak kerap membuat saya berdecak. Tapi ternyata di JPI ini juga saya dapati bahwa ini adalah kumpulan orang-orang yang memprihatinkan. Di JPI saya dapati teman yang difabel, saya kenal dengan orang yang "ringkih" sakit-sakitan, saya temui juga orang yang emosinya labil, dan lain sebagainya yang menegaskan bahwa secara fisik ada dari mereka-mereka punya kekurangan yang menonjol. Lalu apa saya lebih beruntung dari mereka? Atau saya lebih berkekurangan? Saya jawab, "Ya". Saya memiliki kekurangan yang jauh dari teman-teman sahabat JPI. Saya kurang bersyukur. Gampang kan kalau hanya untuk menjawab?

Di JPI ini memang bukan kumpulan orang-orang populer pada umumnya. Mereka yang tergabung di JPI dan aktif, sekalipun hanya sebagai penyimak, adalah orang-orang yang kuat, sangat kuat. Kenapa saya katakan demikian, ini dari hasil pengalaman saya. Memang tidak bisa disebut kesimpulan saya ini benar sebagai kesimpulan final karena pengalaman yang saya alami relatif singkat.

Entah berapa lama saya kurang bahkan tidak aktif berinteraksi dengan sahabat JPI, dimana selama masa itu saya mencoba mengaplikasikan, menyalurkan, mencoba peruntungan, dengan menulis di salah satu aplikasi yang berbasis tulisan berbayar. Saya coba pengalaman-pengalaman sahabat JPI dalam dunia tulis menulis yang sudah mereka geluti dalam waktu relatif lama itu. Dan terbukti, benar-benar penulis adalah manusia-manusia yang kuat. Saya yang belum sampai dua bulan menulis di satu web berbayar itu sudah merasakan betapa hasil secara materi; uang, amat kecil. Saya menerima recehan untuk hasil dari berjam-jam menguras pikiran, hanya beberapa ribu saja dari 10 gigabit kuota yang habis untuk penulisan.

Dengan sadar, sengaja saya tidak merespon sahabat JPI di grup WA dengan maksud untuk fokus menyelami dunia yang saya buat sendiri. Saya tetap menyimak, menerima, membaca chat dari sahabat hingga bisa saya katakan bahwa saya tidak melewatkan informasi dari JPI. Saya pun menjadi subscriber web ini dalam rangka mengejar ketertinggalan dari sahabat JPI walau mungkin tak terkejar. Meski sebagian besar mereka lebih muda usianya dari saya tapi dalam dunia tulis menulis saya masih hijau, anak ingusan, remahan rengginang. Tapi... tetap saja saya hanya masih dalam proses menumpuk pengetahuan. Saya masih dalam keadaan hanya pintar menjawab pertanyaan-pertanyaan. Belum bisa merealisasikan jawaban-jawaban yang saya utarakan, cuma teori ngasal, miskin prestasi. Mblangsak!

Di akhir paragraf ini saya harus ungkapkan bahwa Allah tidak pernah meninggalkan saya walau sebentar saja. Dia selalu mengingatkan, berharap agar saya menghampiri seruanNya, supaya saya bersyukur dan berterimakasih pada guru saya, pada dosen saya, pada sahabat-sahabat saya. Allah mengubah pandangan saya terhadap makna kekurangan secara fisik, mengubah pandangan pada makna uang recehan, makin memantapkan saya untuk tetap dalam dunia tulis menulis. Mungkin terlalu "lebay" yang saya ungkapkan disini, namun begitu, hal ini tertulis sudah, saya mohon di ma'afkan.
Biarkan dunia tahu.
ALHAMDULILLAH.
Terimakasih JPI.

Bekasi, 18 Oktober 2018

Posting Komentar untuk "Alhamdulillah, terimakasih guru dan sahabat JPI"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress