Smile always

Panggil aku Simios, karena sepertinya keren dan enak didengar, padahal dalam bahasa spanyol berarti apes.

Siang itu aku tak tahu salah apa hingga Kepala HRD memanggil dan menyerahkan surat pengalaman kerja.
"Ma'afkan saya, anda sudah melewati masa kontrak. Dan mudah-mudahan surat ini bisa menjadi modal." Begitu akhir kalimat yang masih terngiang.

Kenapa supervisor dan kepala unit tidak mengingatkan saya? Apa karena aku masih masa duka karena baru 9 hari lalu isteriku wafat, ahh...sudahlah aku tak mau memusingkan hal itu.

Selepas jam istirahat, setelah aku berpamitan pada teman-teman sejawat, kutinggalkan tempat yang dua tahun terakhir ini menjadi tujuan di setiap pagi hari, selain hari minggu tentunya.

Dari pinggir jalan raya sejenak ku pandang gedung itu untuk terakhir kalinya. Seorang security melambaikan tangan dan mengacungkan jempolnya. Aku membalasnya dengan lunglai.

Seketika aku teringat Rio, anakku satu-satunya. Usianya 3 tahun bulan depan. Aku belum terlalu mengenalnya karena ia kudapatkan sebagai bonus saat ku nikahi almarhumah 6 bulan lalu. Katanya sih dia anak indigo.

Apa yang harus ku ceritakan pada Rio, selama ini dia hidup dengan neneknya di kampung dan sekarang dia ada dirumah sendirian. Dia datang bersama neneknya saja, kakeknya telah lama meninggalkan mereka entah ke mana. Mereka berdua tiba pagi hari dan hanya bisa berziarah saja karena isteriku dimakamkan sore hari sebelumnya. Nenek pamit pulang kemarin dan meninggalkan Rio dengan harapan menjadi hiburan bagi diriku, dan ia berpesan agar aku mengembalikan Rio padanya jika aku tidak berkenan nantinya.

Lembaran uang warna hijau dan merah belum ku hitung. Sumbangan dari teman-teman kerja dan honor dari perusahaan sepertinya sudah cukup untuk meyakinkan bahwa sepertinya tak salah sesekali aku naik taksi.

Dan! Pucuk diharap ulam tiba, sebuah taksi tampak di kejauhan lambat mendekat, dan langsung ku stop.

"Sip, jalan aja Pak," kataku sambil menghempaskan tubuh di kursi belakang.
Aku masih sibuk dengan segala kenangan dengan teman-teman ditempat kerja, kenangan bersama istri dan segala pertanyaan perihal " Mengapa seperti ini hidupku?"

Lamunanku pudar setelah sadar taksi ini sepertinya melaju dengan kecepatan tinggi dan ugal-ugalan, aku sampai oleng ke kiri dan ke kanan. Ku lihat sang supir begitu dingin menatap jalan. Sedari awal tak ada suara yang dia ucapkan. Apa dia juga punya pikiran yang mirip dengan yang aku alami?

"Hati-hati, Pak!" Kataku sambil menepuk bahunya. Ini spontan ku lakukan karena laju taksi ini begitu kencang dengan jarak mobil di depan yang begitu rapat.

"Astaghfirullah, astaghfirullah..." Sang supir tak henti hentinya beristighafar.

"Tolong Pak, minggir! Saya mau turun disini saja," ucapku dengan rasa khawatir bercampur curiga.

Taksi yang saya tumpangi mengerem mendadak dan sang supir sedikit kehilangan kendali. Berkali kali dia melihat spion untuk menuju ke pinggir jalan raya yang hari itu agak lengang.

Aku keluar saat taksi belum berhenti dengan benar di tepi jalan dan langsung menghampiri ke pintu depan pengemudi. Kaca jendela berangsur turun menampakkan wajah keriput pucat penuh keterkejutan.

"Ma'afkan saya Pak, tolong ma'afkan saya dan jangan mengadu ke perusahaan taksi ini, yah. Tolong."
Wajah tua itu pucat, kata-kata yang keluar begitu terbata bata.

""Yaa kira-kira aja Pak, bisa jadi bapak ahli tapi kan bapak bawa nyawa orang lain." Kataku penuh emosi sambil membuka salahsatu amplop, dan kuberikan selembar uang warna merah.

"Ma'afkan atas perkataan saya, ini ambil saja kembaliannya." Ucapku ketus.
"Oh Ya, baru bawa taksi ya, Pak?"

"Iya nak, ini hari pertamakali saya kerja setelah seminggu lalu pensiun. Selama 20 tahun lebih saya bawa ambulan jenazah. Terimakasih nak." Katanya dengan penuh penyesalan dan tanpa menutup kaca, taksi itu berjalan pelan meninggalkan aku yang mematung.

Akhirnya aku pakai jasa ojek online untuk mencapai rumah. Seperti biasanya selama ini.

Seperti kemarin kemarin Rio acuh, dia tidak seperti anak-anak seumurnya yang kulihat menyambut bapaknya pulang kerja dengan berlari dan memeluk serta mengucapkan banyak hal.

Rio tampak tenang dan menikmati kegiatannya. Dia hobi menggambar, persis cerita nenek dan mendiang isteriku. Aku mencoba menenangkan diri, ini saatnya mengatakan hal yang perlu ku sampaikan padanya.

"Kamu sedang menggambar apa, Nak?"

"Gambar ayah dan ibu, dan ini aku,"

"Mmh... gambar kamu bagus,"

"Iya, kata kakek juga gitu,"

"Kakek dan ibu Rio sudah meninggalkan kita, Nak."

"Kata siapa? Sejak aku datang ibu selalu bersama ku kok, Yah! Dan sekarang ibu ada disamping Ayah"

Tiba-tiba terdengar bisikan di kuping kiriku
"Smile,Mas."

.............

Di suatu tempat, di persimpangan jalan raya ramai orang berkerumun. Telah terjadi tabrakan beruntun yang melibatkan beberapa kendaraan roda empat dan sepeda motor. Tampak sebuah taksi reguler ringsek diantara bus kota dan truk dibelakangnya. Sementara itu tak jauh dari sana, ditepi trotoar, seorang pengemudi ojek online tampak tersenyum memegang 2 buah amplop yang ia sudah lirik berisi banyak lembaran uang.




Posting Komentar untuk "Smile always "

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress