Suhu yang Berbeda

Suhu yang Berbeda
Oleh : Dina Pertiwi



Bus Antar Lintas Sumatera ini melaju kencang. Melewati Tanjung Morawa, Rampah, Serdang Bedagai dan mengabaikan pesona Tebing Tinggi si Kota Lemang begitu saja. ALS ini juga terlampau angkuh, memandang dingin hamparan kebun sawit menuju luar Batu Bara seakan tidak tertarik oleh pemandangan malam di sekitar yang penuh dengan kelebatan lampu dari kendaraan besar.





“Mas, ini sudah sampai mana, ya?”

Ibu yang duduk di sebelahku bertanya dengan suara serak, baru bangun tidur. Dia meregangkan tangannya yang pegal, setelah hampir 4 jam memeluk tas sandang besar.

“Di Sei Bejangkar, Bu.”

“Udah masuk Kisaran kan, Sei Bejangkar itu?”

“Belum, Bu. Ini masih Batubara.”

“Lha, iya? Dulu Sei Bejangkar ini sudah Asahan, loh, Mas.”

“Sudah enggak lagi sejak otonomi, Bu.”

“Oh begitu, Mas nya mau kemana?”

“Aku mau turun di Gunung Sari, Bu.”

Si Ibu mengangguk dan menguap. Sepertinya mau tidur lagi, sementara aku kembali mengalihkan pandanganku ke luar jendela. Plang-plang yang bercahaya kembali menusuk mata, setelah kegelapan kebun sawit yang tadi. Dan tugu Selamat Datang di Kisaran terlihat. Tujuanku sudah dekat.

Lampu-lampu yang menyala di jalan dan kios-kios makan yang ramai akan muda-mudi yang memadu kasih seperti orang kasmaran yang berjanji sehidup semati. Aku berdecih dalam hati, ragu apakah masa kecil mereka seseru masa kecilku dulu yang masih mengambil jeruk bali untuk membuat mobil-mobilan.

Pohon-pohon kota berkelebatan, seperti ilusi mata yang tidak nyata. Seperti sebuah frame dalam film yang ditempelkan di kaca jendela. Tapi, bukankah pohon-pohon itu nyata, dan Cuma cara kita memandangnya yang membuat itu tidak nyata? Ditambah, buramnya kaca jendela yang disebabkan oleh malam yang begitu menggigit.

Aku mengusap kaca bus dengan kelima jari, membuat jendela semakin jelas, kemudian teringat perkataan seseorang yang dulu sekali pernah bersimpangan jalan denganku beberapa tahun.

Kaca bisa berembun itu karena perbedaan suhu antara dalam dan luar ruangan.


“Kau tau artinya apa?”

Dia, orang yang mengatakan itu melempar pertanyaan sambil mengunyah permen karet dan memutar rumput di tangan. Ketika itu, kami masih memakai seragam putih abu-abu.

“Enggak.”

“Ah, kau ini. Semua enggak tau, jadi apalah yang kau tau?”

“Mi Sedap lebih sedap daripada Intermi.”

Dia mendengus.

“Nomor satu ya, Bang, kalau soal makanan.”

Aku tersenyum, “Jadi, maksud yang tadi itu apa? Kaca berembun itu maksudku.”

Dia meludahkan permen karetnya yang tidak manis lagi ke samping dan membuka bungkusan baru. Aku melihatnya jijik. Seorang gadis, apalagi gadis pujakesuma (putri Jawa kelahiran Sumatera) macam dia seharusnya tidak bertingkah sembarangan seperti itu. Apalagi membuang permen karet begitu saja seperti preman titi panjang. Dia melihat tampangku dan tertawa, tapi tidak berkomentar.

“Aku pun tak tau artinya apa, makanya aku nanyak kau,” katanya anti klimaks.

Aku bingung harus melakukan apa dulu saat mendengar jawabannya, melemparnya pakai kertas atau menyentil keningnya.

Tapi ternyata, aku malah tertawa lebih dulu.

“Bang, gimana ya kalau kita nanti udah lulus? Masih saling kontaknya kita? Atau malah sibuk ngurusin urusan masing-masing?”

“Kenapa nanyak gitu? Masih lama lagi UN.”

“3 bulan itu gak lama, Bang.”

“Banyak yang udah lulus masih kontekan sama temen lamanya.”

“Aku takut suhu kita beda, nantinya.”

******

Bus ALS yang kutumpangi sudah berada di depan gedung kantor Bupati Asahan dan terus melaju dengan angkuhnya melewati suasana kota yang meriah dan ramai.

Rasa lelah menggerogoti setiap sendi di tubuhku, juga setiap saraf di otakku.

Aku takut suhu kita beda, nantinya.

Kalimat itu terus terngiang di telingaku. Kaca jendela di bus kembali mengembun. Embun. Kaca. Suhu. Dan kita.

Sudah nyaris enam tahun aku berusaha mengetahui hubungan di antara keduanya. Bahkan setelah menamatkan S2 di kota, aku masih tidak memahami hal-hal yang dia ucapkan.

Retorika seperti itu bukan keahlianku. Dia juga entah kemana sejak kelulusan. Aku tidak pernah melihatnya lagi, malahan ketika mengambil surat pengumuman UN, dia tidak hadir. Hanya kakaknya yang mewakili menggunakan kursi roda.

Mereka bilang, dia ke luar negeri. Menjadi TKI karena adik-adiknya butuh biaya untuk sekolah dan Bapaknya yang stroke butuh biaya pengobatan. Ibunya sudah meninggal ketika melahirkan anak ke 5, sementara Kakak sulungnya lumpuh sejak balita, terkena polio. Itu artinya, tanggung jawab berada di pundaknya sebagai anak kedua yang sehat wal afiat.

Ada juga yang bilang dia merantau ke Jawa. Tapi tidak ada bukti tentang itu. Karena selama aku kuliah di sana, tidak sekalipun aku bisa mengendus jejaknya. Dia seperti menghilang begitu saja, meninggalkan aku dalam ketidak mengertian retorikanya.

Bus mengurangi kecepatannya dan berbelok pelan-pelan. Plang Rumah Makan Gunung Sari tertancap di tepi jalan, bercahaya oleh lampu-lampu neon.

Aku bersiap turun. Ini tujuan terakhirku, kembali ke kampung halaman. Dinginnya malam langsung menembus kaos yang kupakai, membuatku menggigil. Suhu yang sangat berbeda dengan di dalam bus yang Acnya bisa diatur.

Suhu!

Sebuah lampu yang menyala di otakku mendadak padam ketika melihat sosok yang berada di balik kasir rumah makan. Dia.

“Hei,” aku menyapa dia lebih dulu setelah mengambil sebotol teh. Dia terkejut melihatku. Tentu saja.

“Hai, apa kabar?”

Cara dia berbicara dan nada suaranya yang terkesan seperti gadis melayu, bukannya gadis berwajah Jawa berlogat Sumatera, membuatku yakin kepada rumor yang mengatakan bahwa dia menjadi TKI. Mungkin di Malaysia.

“Alhamdulillah. Kamu?”

“Aku baik.”

Kami sama-sama diam sebentar.

“Jadi, ini berapa?” aku mengangkat teh botol yang kuambil tadi.

“Sepuluh ribu.”

Aku mengeluarkan pecahan sepuluh ribu di saku celana dan menyerahkannya ke dia.

“Aku dengar kamu baru selesai S2?”

“Heem. Kamu sendiri kemana aja selama ini?”

“Kerja di Malaysia,” dia mengalihkan wajahnya seperti malu.

Malu buat apa? Menjadi TKI bukan hal yang memalukan, meskipun dogma di masyarakat kampung kadang-kadang membuat pusing. Di kampung kami ini, banyak rumor kalau seorang perempuan pergi ke Malaysia, apalagi pakai jalur tidak resmi, mesti sudah "dikerjai" dulu di kapal. Ah, rumor menyesatkan seperti itu bisa membunuh hati para TKW, bukan. Dan yang namanya membunuh bukan hal baik, meskipun cuma membunuh hati.

Lagipula, aku tidak pernah menganggap para TKW yang tidak resmi dengan cara seperti itu. Apapun pekerjaannya, yang penting halal. Bukankah pekerjaan mereka lebih suci daripada anggota DPR yang korupsi?

“Suhu kita ini memang beda, ya?” katanya memutus pemikiranku yang menyesalkan dogma orang-orang yang rasanya lebih berpengaruh daripada apapun.

“Iya. Beda jauh,” kataku pelan.

“Dipisahkan kaca lagi,” dia menambahkan.

“Seolah-olah, aku dan kamu beda kelas,” dia jeda sebentar, “Kalau kupikir, kita memang beda kelas.”

“Beda jauh,” sahutku sambil membuka tutup botol, “Tapi selalu ada embun yang menetralkan, kan?”

Dia melihatku dan aku balas menatapnya dengan berani. Seulas senyum mekar di bibirnya. Aku telah menyelesaikan teka-teki dari retorika yang dia lemparkan enam tahun lalu.

____

Posting Komentar untuk "Suhu yang Berbeda"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress