Mentari perlahan mulai tenggelam, langit berganti menjadi senja
menandakan malam akan datang. Franda
menatap langit jingga kemerahan itu dari balik jendela kamar. Menatap langit sekaligus meratapi keadaannya.
Cepat sekali pagi berganti malam, batinnya. Dan sehari- hari ia hanya menghabiskan waktu di dalam kamar, mengerjakan
tugas kuliah online tentunya. Lalu mendengarkan musik dan sesekali menonton film sebagai refreshing.
Ia paham bahwa memang dari dulu jarang sekali refreshing dalam hidupnya
adalah liburan. Refreshing untuk
Franda cukup dengan menonton film di laptop, membaca novel, menulis cerita. Bagaimana tidak? Memang
sejak SD sampai SMA ia menyandang gelar anak
rumahan. Papa nya yang over
protective membuat Franda iri dengan kehidupan teman-temannya yang lain,
membuatnya merasa hidup ini tidak adil.
Namun ketidakbebasan itu sudah terlepas dari dirinya sejak ia kuliah di
Malang. Jika bagi teman-temannya
hidup di perantauan dan jauh dari orang tua itu menyedihkan, tapi baginya justru
kebalikan dari itu. Disana
Franda begitu menikmati hidup yang terlambat ia nikmati.
Bebas nongkrong
dengan teman-temannya, bebas liburan kemanapun yang dia mau. Sungguh menyenangkan bukan? Kehidupan bebas yang selama
ini ia dambakan akhirnya bisa ia rasakan.
Tapi sayangnya itu semua tak berlangsung lama. Pandemi membuatnya terpaksa kembali
ke Jakarta. Orang tua nya menyuruh Franda untuk pulang saja. Apalagi
kuliah juga dilakukan secara online.
Sedih pasti, karena masih beberapa bulan saja ia menjalankan hidup seperti
orang lain pada umumnya tanpa terikat
aturan-aturan yang mengekang. Tapi kali ini ia tak merasa bahwa hidup tak adil baginya, karena
seluruh Indonesia pun harus mengikuti lockdown
dan membatasi kegiatan di luar rumah.
Franda hanya berharap lockdown ini
segera berakhir dan ia bisa keluar lagi dari
rumahnya yang sudah
seperti penjara baginya.
Ia membayangkan bagaimana
ia menghabiskan waktu lagi dengan teman-teman disana.
Masih banyak list tempat-tempat yang
belum ia kunjungi. Dan ia tak ingin sampai semua rencana tersebut batal.
Tok…tok…tok…
Ketukan di
pintu kamarnya memecahkan lamunannya. “Franda,
malam ini makan bareng-bareng ya di meja makan.” “Sama siapa aja, Ma?”
“Sama mama sama
Saskia. Ada papa juga itu baru pulang.” “Hmm oke deh,
Ma.”
Walaupun malas bertemu papa nya, tapi Franda tidak enak hati menolak
ajakan mama nya kali ini. Sudah
berkali-kali ia menolak untuk makan bersama. Karena ada papa nya juga yang selama lockdown ini jadi work from
home. Ia malas saja karena ketika ada papa nya itu ia jadi
tak bisa bicara banyak, hanya bicara seperlunya.
“Tapi wait, tadi mama bilang papa baru pulang.
Emang udah ngga work from home?”
Franda bertanya tanya dalam
hati.
Pertanyaannya itu membuat Franda semangat untuk mandi dan bergegas
menemui mamanya di ruang makan.
“Gitu dong sayang… Kalo semangat
gitu kan cantik,” goda mamanya
mengetahui Franda sangat
bersemangat sekali
menghampiri mama dan adiknya di ruang
makan.
“Pasti semangat
karna mau makan chicken teriyaki nih haha,” sahut Saskia, adik perempuan Franda
satu-satunya yang masih duduk di
bangku Sekolah Menengah
Pertama.
“Ihhh gue
ngga tau ya kalo mama masak chicken
teriyaki malem ini,”
jawab Franda sewot.
“Iya mama masak
makanan kesukaan kamu nih Fran. Duduk dulu sini sambil kita nunggu papa,” ajak
mama Franda.
“Eh eh Ma, papa
masuk kerja hari ini? Emang udah ngga di lockdown?”
Franda masih penasaran sekali.
“Yeee mangkanya jangan
di kamar mulu. Ketinggalan berita
kan,” ledek Saskia.
Franda tak menghiraukan
adiknya itu kali ini, ia fokus untuk mendengar penjelasan dari mamanya.
“Kan ini udah new normal
sayang. Jadi udah engga work from home lagi.” “New normal, Ma?”
“Iya semua udah ngga dibatasi aktifitasnya di luar. Ya tinggal
gimana cara setiap
orang buat menjaga
diri.”
“Tapi kok belum
ada pengumuman masuk dari kampusku?” “Kan emang semua sekolah
masih dilarang masuk Fran.”
“Kok gitu
sih, Ma? Orang kerja boleh,
masa orang sekolah ngga boleh.”
“Ya emang gitu
peraturannya sayang. Tapi nanti kalo semua udah membaik pasti sekolah juga diijinkan masuk sama pemerintah.”
“Oke kalo gitu
besok aku mau meet up sama
temen-temen SMA ku aja ya, Ma.” “Tapi tetep ikuti protokol kesehatan ya.”
“Siapp, Ma.”
“Ini papa
ngabarin katanya di jalan macet banget. Mungkin karena hari ini pertama kali diperbolehkan aktifitas di luar ya. Kita disuruh
makan duluan aja katanya.
Kalian makan dulu deh, ntar mama makan sama papa aja.”
“Okee makan
yuk, aku mau buru-buru kabarin temen-temen nih ajak mereka meet up.” “Mau meet
up dimana emang Fran?”
“Di Bakso Mercon
deket sini aja, Ma. Yang jelas boleh kan sama papa. Mumpung kangen juga sama baksonya, pasti temen-temen juga pengen banget
makan bakso langganan kita jaman SMA dulu.”
“Oke nanti mama bilangin ke papa ya.”
“Iya, Ma. Meet up nya sama Desi sama Lira doang kok. Aku kangen
banget sama mereka.
Kan selama ini kita
sama-sama pulang ke Jakarta tapi belum meet up.”
“Okee okee.”
Franda menghabiskan makan malam dengan
lahap kali ini. Makanan favoritnya pun menjadi sangat
enak ditambah berita gembira ini.
Keesokan paginya, Franda langsung terbangun ketika merasakan hangat
matahari pagi mengenai bantalnya.
Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Franda bangun dengan senyum lebar di bibir, ia sangat antusias
melihat kembali indahnya dunia hari ini. Pukul 08.00 adalah jam yang ia nanti-nantikan. Ia bergegas dari tempat
tidur untuk mandi dan bersiap.
Ketika sedang menyisir rambut di depan cermin, Franda mendengar suara
yang seakan memanggilnya. Semakin
dekat suara itu Franda menyadari itu adalah suara papa nya. Ia lalu meletakkan sisir di meja riasnya lalu
membuka pintu kamar. Ternyata mama dan papa nya sudah berada di depan kamar Franda. Dengan tatapan tajam pada Franda,
Franda yakin papa akan memarahinya kali ini tapi ia tak tahu apa masalahnya.
“Kamu mau kemana?”
papa nya bertanya
dengan nada tinggi seperti biasa.
“Ke Bakso Mercon
situ doang kok, Pa. Sama Desi sama Lira doang,” jawab Franda yakin. “Kamu
tau kan kalo sekarang lagi
pandemi?”
“Tapi kan udah new normal
sekarang, Pa.”
“Tapi apa virus nya udah
pergi dari Indonesia? Belum kan Franda?”
“Nanti aku pake masker
kok, bawa handsanitizer juga.”
“Kalo makan apa selalu pake masker?”
“Ya kalo makan
doang maskernya dilepas.”
“Nah itu
namanya udah ngga protokol kesehatan ketat!”
“Tapi, Pa aku pengen ketemu temen-temen.”
“Kalau kangen telpon kan bisa, video call juga bisa. Masa-masa sekarang
ini kalau ngga penting jangan
keluar, kalau penting banget kayak papa ini kerja baru keluar dengan protokol
kesehatan ketat.”
“Iya Pa,” Franda tak ingin membantah lagi karena pasti akan percuma dan tetap tidak
bisa membuat papa nya mengerti.
“Pokoknya sekalipun papa lagi ngga di rumah,
kamu sama Saskia jangan sampai
keluar buat main
ngga jelas.”
Franda hanya
terdiam, menunggu sang papa menjauh dari hadapannya. Franda pun tak menghiraukan mama nya yang berusaha
tersenyum ke arahnya untuk membuatnya kuat. Setelah papa mama nya berjalan menjauh, Franda menutup kamar, berlari
ke kasur dan menangis sejadi- jadinya sambil memeluk boneka bear kesayangannya.
“Why? Kenapa aku dilahirkan di keluarga
yang seperti ini? Papa yang tidak mengerti aku dan mama yang bisa mengerti
aku tapi tak bisa melakukan apa-apa.
Mau sampai kapan?
Aku lelah.”
Franda tak
dapat membendung tangisnya kali ini. Belum lagi ia berfikir ia akan
mengecewakan Desi dan Lira karena
memberikan mereka harapan
palsu.
Franda memutar
musik di ponsel
nya untuk mengendalikan kondisi hati dan pikirannya yang tak karuan. Ia memandang keluar jendela,
entah kapan virus ini menghilang dan setidaknya ia bisa keluar rumah walaupun tidak jauh.
Hari demi hari ia lewati dengan berdiam diri di kamar. Ia bahkan
semakin malas keluar kamar walau
sekedar makan di ruang makan. Franda membiarkan dirinya merasa hidup
seorang diri saja, tanpa ada
orang lain yang merangkulnya. Desi dan Lira memang selalu memberinya semangat tapi Franda tak bisa berbohong
pada hati kecilnya bahwa ia juga ingin bisa keluar rumah seperti mereka. Franda
berusaha bersikap baik-baik aja ketika menolak ajakan teman- teman untuk
kumpul makan-makan dengan teman-teman
sekelasnya.
Rindu? Iya. Ingin bertemu? Pasti. Sudah beberapa kali ia tak menghadiri
acara kumpul- kumpul itu. Dan pasti
teman-temannya tak tahu jika ia menahan kesedihan yang sebenarnya
begitu dalam
ketika melihat foto-foto kebersamaan mereka terpajang di story medsos masing- masing.
Tapi apa daya? Ia tak bisa melakukan apa-apa bahkan untuk
kebahagiaannya sendiri.
Ada 1 perkataan temannya yang paling menusuk bagi Franda. Yaitu ketika
salah satu alumni teman sekelasnya bilang
“Lo diem di rumah doang ngapain
Fran? Betah banget haha. Keluar dong masa di rumah terus emang
ngga bosen”. Damn, seketika emosinya
memuncak ketika mendengar perkataan itu.
“Emangnya dia
pikir gue betah di rumah terus? Emangnya dia pikir gue ngga bosen? Dan emangnya
dia pikir gue mau gitu
kayak gini?” Franda
tak habis pikir.
Tapi besok-besok ia pikir-pikir lagi. Percuma juga marah
atau menjelaskan ke temannya itu,
dia ngga akan paham. Realitanya, orang lain tidak akan bisa mengerti apa yang
kita rasakan jika tidak
mengalami sendiri apa yang kita alami. Karena tidak mengerti
bagaimana rasanya jadi dia bisa ngomong seenaknya.
Franda mencoba berdamai dengan keadaan. Namun suatu ketika Desi
menelponnya di sore hari ketika Franda sedang menikmati senja dari balik jendela kamar seperti yang ia lakukan
sehari-hari.
“Haloo
Frandaaaa” “Halo, Des. Kenapa?”
“Kita mau ke
Malang nih lo ikut yaa. Ntar gue sama Lira yang ngijinin ke bokap lo deh.” “Siapa
aja, Des?”
“Ada gue, Lira,
Della, Kevin, sama Bastian. Kita naik mobilnya Kevin rencananya. Ntar yang nyetir Kevin sama Bastian gantian. Pas
deh ntar kita ber enam kalo lo ikut. Gue yakin pasti serunya bakal komplit
kalo ada elo, Frann..”
“Hmmm tapi gue jelas ngga boleh sih pasti, Des.”
“Apa perlu kita
semua berlima ke rumah lo buat ngobrolin ini sama bokap lo?” “Aduhh
lo sok berani banget btw wkwk.”
“Lah emang kan
dulu gue juga sering minta ijin ke bokap lo buat ngajak lo hangout.” “Tapi kali ini beda masalahnya des. Emang ke Malang
mau kemana sih?”
“Tujuan utama ke Jatim Park 3. Lo tau kan kita pernah punya rencana mau liburan kesana
tapi belum jadi-jadi.”
Awalnya Franda
ingin menolak ajakan
Desi dengan perasaan
biasa saja. Tapi setelah mendengar tujuan wisatanya, Franda berfikir tolakannya kali ini akan
berat. Jatim Park 3 adalah salah satu tempat
yang ingin sekali ia kunjungi. Ia membayangan betapa asyiknya menjelajahi
wahana Jatim Park 3 bersama
teman-teman, betapa indahnya berfoto di Milenial Glow Garden bersama Desi dan Lira. Tapi semua itu hanya menjadi bayangan.
“Gimanaa Frann?? Sabtu ini ya berangkatnya. Besok atau ntar malem juga bisa
gue ke rumah lo nemuin bokap lo.”
“Hmmm saat ini
aja rumah gue juga ngga nerima tamu Des. Gue mending ngga usah ikut aja deh.”
“Yahhh nggapapa
Fran gue ke rumah lo, kita coba dulu ya?” “Engga usah deh.
Daripada percuma.”
“Padahal gue sama Lira pengennya lo yang ikut.
Kalo lo ngga ikut yang lainnya
mau ngajak anak
cewe 1 lagi biar genap.”
“Ya nggapapa
ajak yang lain aja.”
“Lo serius nggapapa Fran?”
“Gue nggapapa kok. Have fun ya disana. Salam buat temen-temen.” “Oke dehh. Lo juga always
happy ya Fran.”
“Siapp Des see you.”
“See you… Semoga
kita cepet ketemu yaa…” “Semoga hehe.”
Franda menutup
telponnya dengan perasaan kecewa pasti. Tapi sedih pun rasanya percuma karena air mata tak bisa mengubah
keadaan. Setidaknya ia selalu berhasil menutupi
kesedihannya dibalik kata “nggapapa”.
“Franda, itu papa pulang
bawa ice cream Mc Flurry
kesukaan kamu sama Saskia. Buruan di makan ntar keburu meleleh lo,” terdengar suara mama nya
dari balik pintu kamar Franda.
“Rasa apa,
Ma?”
“Rasa oreo buat kamu, yang matcha buat Saskia.”
Rasa rindunya
dengan rasa Mc Flurry oreo membuat
Franda tanpa pikir panjang bergegas
keluar kamar.
“Tuh kan emang kak Franda nih mau
keluar kamar kalo dipancing sama makanan atau minuman kesukaannya,” ledek
Saskia.
“Diem aja lo ihh!”
Franda tak peduli dengan perkataan adiknya. Ia langsung
mengambil kresek yang ada di meja makan untuk mengambil ice cream nya.
“Eh kok langsung
diambil aja sih. Itu kreseknya belum papa semprot pake alkohol lo. Sini papa semprot dulu, kamu cuci tangan pake
sabun dulu sana!” papa langsung mengambil alih kresek dari tangan Franda.
“Hufftt belum ada
5 menit keluar kamar aja udah kesal. Ntar makan ice cream di kamar aja deh,” Franda mendengus kesal sambil berjalan menuju wastafel.
Setelah selesai
cuci tangan, Franda langsung mengambil Mc Flurry rasa oreo di meja makan dan bergegas
ke kamar. Namun papa nya menghentikan
langkahnya,
“Franda, mau
makan di kamar? Duduk di depan TV aja lah itu sama mama sama adikmu. Papa mandi
dulu habis pulang dari
kantor.”
“Oke Pa,” Franda malas berdebat dan mengiyakan saja perintah papa nya. Seperti
biasa, di TV sedang menyiarkan berita update covid.
“Tiap hari liat berita
covid mulu,” Franda menghampiri mama dan adiknya
yang sedang asyik mendengarkan berita.
“Biar tau perkembangannya sayang,” jawab mama Franda.
“Semakin
virusnya berkembang di luar sana, semakin aku ngga berkembang disini,” keluh Franda.
“Udah untung
kita sekeluarga sehat-sehat aja kak terbebas
dari corona,” Saskia mengingatkan Franda.
“Liat tuh di TV,
kasihan para tenaga kesehatan yang berjuang bertaruh nyawa. Hidup jauh dari keluarga untuk sementara waktu. Dan itu
semua mereka lakukan demi orang lain. Bahkan orang lain yang tidak mereka kenal. Udah banyak tenaga kesehatan
juga yang sampai meninggal dunia karena
terpapar dari pasiennya. Kita harus bersyukur nih masih bisa kumpul-kumpul di
rumah sama keluarga kayak gini,” terang mama Franda.
Sedikit-sedikit Franda
mencerna kata-kata mama nya dan ia menjadi merasa iba dengan para
tenaga medis di luar sana yang sedang
berjuang demi nyawa orang
lain.
“Nahh mangkanya
papa menekankan kita harus jaga diri dan prokes
ketat. Kasihan mereka para nakes,
tenaganya udah dikerahkan buat merawat orang-orang yang terkena covid.
Sebaiknya kita-kita yang masih sehat
ini bisa jaga diri agar tidak memberatkan beban para tenaga medis,” tutur papa Franda
yang tiba-tiba sudah menyusul mereka di ruang keluarga.
“Tapi
orang-orang di luar sana juga masih banyak yang ngga bener-bener taat prokes
kan, Pa,” sahut Saskia.
“Nahh mau sampai kapan kita kayak
gini?” tambah Franda.
“Nah itu tugas
kita untuk saling mengingatkan. Ingatkan orang-orang terdekat kita, orang-orang yang kita kenal untuk taat prokes. Dan
kita sendiri juga harus tetep lakukan yang terbaik walaupun orang-orang tidak melakukan seperti yang kita lakukan,”
penuturan papa nya kali ini lumayan bisa diterima oleh Franda.
“Jadi kalian
udah paham kan apa yang papa lakuin ke kalian itu untuk kebaikan kita bersama,” ujar
papa nya lagi.
“Iya paham, Pa,” Saskia mengangguk-angguk.
“Sesekali
olahraga juga loh kalian buat jaga kesehatan,” perintah mama nya.
“Eh iyaa aku
inget. Wah pas banget
nih. Kak, tolong dong buatin gerakan buat senam sama pilihin
musik-musiknya,” pinta Saskia
pada kakaknya.
“Hahh? Gue?” Franda terkejut.
“Iya kan lo
dulu pernah bikin gerakan senam juga kan?” “Tapi
udah lama itu. Sekarang mah dah lupa gerakannya.” “Bikin baru aja.”
“Lo pikir segampang itu??”
“Mangkanya
bantuin gue bikin gerakannya ya. Besok lusa harus udah dikumpulin nih. Mana gue juga masih banyak tugas sekarang, tugas
melukis juga belum selesai. Wah lo bantuin gue
ngelukis juga boleh banget sih lo kan jago kak.”
“Tugas
melukisnya dikumpulin kapan emang?” “Besokk.”
“Wah ntar malem
aja kalo gitu gue bantuin ngelukis. Besok baru bikin gerakan senamnya.” “Yeay
gitu dong jadi kakak yang baik.”
Papa mama nya terlihat
tersenyum ke arah mereka.
Entah mengapa saat itu Franda
merasakan sebuah kehangatan.
Malam itu, sesuai janjinya
Franda membantu sang adik menyelesaikan lukisannya.
Sebuah momen langka
dalam hidupnya bisa akur dengan adik satu-satunya itu.
“Nah kalo gini kan gue ngga kesepian,” celetuk Saskia sambil
tetap fokus pada lukisannya.
“Biasanya
gue juga kesepian
sih,” sahut Franda.
“Ya gimana
ngga kesepian orang lo mengurung diri di
kamar mulu kak.” “Hehee…”
“Kalo gue
kesepian sih kalo pas malem gini. Apalagi kalo pas pusing masih ada deadline tugas jam 12 malem. Kalo gini kan
enak ada temen buat ngobrol.”
“Ya udah sekarang
crita-crita gih. Lo ngga pernah crita apa-apa ke gue nih.”
“Gue butuh
temen crita sih sebenernya selain ke temen. Karna ngga semua yang kita rasakan bisa dicritain ke temen kan. Kalo cerita
ke mama juga ngga enak mama udah bukan anak muda wkwk.”
“Lo mau crita
soal apa? Soal cowo ya? Wah yang mana cowo lo? Liat fotonya dong.” “Ihhh
kak gue ngga kayak
lo ya yang masih SMP aja udah
banyak cowonya.”
“Lo sekali
aja ngga ngeselin ngga bisa ya Sas?”
“Haha yaudah
gue mau curhat nih. Tapi bukan soal cowo.” “Trus soal apa?”
“Soal impian
dan cita-cita. Kali aja lo ada kritik
dan saran gitu.”
“Okee okee siapp.
Jadi gimana?”
“Jadi gini kak…”
Franda dan adiknya menyelesaikan lukisan sambil night talk hingga larut malam. Setelah lukisan itu selesai, Saskia langsung tertidur karena
kelelahan. Franda membereskan alat-alat yang
mereka gunakan untuk melukis. Sebelum kembali ke kamarnya, Franda memandangi adiknya yang sudah terlelap.
Ia sadar bahwa
selama ini ia egois, hanya
memikirkan dirinya sendiri dan kesenangannya sendiri, tanpa memikirkan bahwa ia
juga punya seorang adik perempuan
yang tentunya juga
merasa tidak enak dengan
kondisi yang sedang
mereka alami. Franda merasa gagal menjadi
seorang kakak. Tapi ia bertekat akan memperbaikinya.
Walaupun tidur larut malam, tapi keesokan harinya Franda sudah bangun
pagi-pagi sekali. Ia teringat
akan membuatkan gerakan
senam untuk tugas Saskia. Kebetulan ia sedang tidak banyak tugas kali ini. Franda
mengetuk pintu kamar Saskia berkali kali tapi tidak ada jawaban.
“Masih tidur
mungkin adikmu,” ujar mama yang mengetahui Franda
berada di depan
pintu kamar Saskia sedari tadi.
Dan benar
saja, tak lama kemudian Saskia membuka pintu
kamarnya sambil mengucek mata, terlihat matanya masih belum terbuka lebar.
“Sarapan
dulu nih pake sandwich telur,”
perintah mamanya.
“Yukk yukk biar ngga ngantuk wkwk,” ajak Saskia
lalu menggandeng tangan
kakaknya untuk bergegas ke ruang
makan.
Selesai sarapan mereka kembali ke rencana awal. Pertama-tama Franda dan
Saskia diskusi menentukan beberapa
lagu yang nantinya akan digabung. Setelah fix, baru membuat gerakan yang cocok berdasarkan lagu-lagu
tadi. Saskia pun mempraktekkan gerakan-gerakan
yang dibuat Franda. Di tengah keasikan itu,
mama nya masuk sambil membawakan 2 mangkok es buah.
“Wahh seneng
banget mama liat keseruan kalian kayak gini. Nih minum
es buah dulu, istirahat dulu.”
Tanpa pikir panjang Franda
dan Saskia menuruti perintah mama nya untuk istirahat sambil menikmati es buah
yang terasa segar sekali.
Franda mengecek
hp nya dan sontak
ia terkejut karena
banyak chat masuk dari Desi.
“Frandaaaa”
“Huhuuuuu”
“Kita ngga jadi
ke Malang weekend ini.” “Lo udah tau belum?”
“Della kena positif covid.”
“Gue sama Lira ngga diijinin
ortu kita buat liburan ke luar kota.”
“Ini aja gue jadi ngga boleh keluar rumah kalo ngga penting.” “Lo udah
liat story Della belum?”
“Dia kan selama
ini ngga terlalu percaya kalo covid beneran ada. Biasanya waktu ngumpul- ngumpul
juga dia yang sering
lepas masker.”
“Di story nya dia
kayak menyesal banget selama
ini menyepelekan hal ini.”
“Sekarang
kondisinya ngga enak banget katanya. Dia sebelumnya ngga punya asma. Tapi dia sekarang
kesulitan nafas sampe
pake alat bantu. Indra penciuman sama perasa nya juga lagi ngga berfungsi.”
“Kemaren dia telpon gue nangis terus.”
“Semoga dia cepet sembuh deh.”
“Gue ntar mau
tes aja. Soalnya kapan hari baru ketemu juga sama Della.” “Semoga gue negatif lah ya. Habis ini
mau di rumah aja deh cari aman.” “Lo stay safe and
stay healthy terus ya, Frann..”
Franda tercengang membaca semua pesan whatsapp dari sahabatnya itu. Ia jadi merasa sangat
bersyukur karena tidak mengalami seperti yang dialami temannya. Memang
betul sebuah pepatah bahwa “Lebih
baik mencegah daripada mengobati”. Franda jadi memahami mengapa papa nya bersikap
seperti itu pada dirinya
selama ini, itu semua untuk
kebaikannya sendiri.
Weekend ini tidak seperti
yang dibayangkan Franda sebelumnya. Ia tidak akan menahan kesedihan karena melihat foto teman-temannya liburan ke Jatim
Park 3. Justru ia senang
karena
hari ini akan camping makan-makan di halaman belakang
rumah bersama papa, mama, dan Saskia.
“Kak Frandaaaa kakkk buruan sini deh,” terdengar suara Saskia memanggil Franda dengan girangnya.
Franda bergegas keluar
kamar untuk menemui
adiknya itu.
“Iya iya gue
ngga lupa kok kalo kita mau camping,” ujar Franda santai
sambil berjalan menghampiri Saskia.
“Bukan itu kakk.” “Trus kenapa?”
“Lukisan gue
kak, yang kemaren itu…” “Lukisan lo kenapa?”
“Dapet nilai 95 uhuyyy”
“Wahhh bagus dong ikut seneng
gue.”
“Berkat lo juga
nih. Makasih banget udah mau bantuin gue sampe larut malem hehe.” Saskia memeluk
Franda.
Franda tersenyum dan mempererat pelukannya.
“Ehmm ada yang
pelukan ngga ngajak-ngajak nih,” celetuk mama nya. “Emang mana sih lukisannya? Papa mau liat,”
pinta papa nya.
Saskia
mengambil lukisan hasil karyanya dan Franda di kamar lalu menunjukkan pada
kedua orang tuanya.
“Ini nihh Pa, Ma lukisan kita.
Temanya kebersamaan dengan
keluarga di masa pandemi. Dan ini idenya kak Franda nih kita lukis kita
berempat lagi senam wkwk. Sekaligus menunjukkan kalau di masa pandemi ini juga harus rajin berolahraga kan. Jadi
gitu cerita di balik lukisan ini hehe,” tutur Saskia.
“Karena kepikiran mau bikin gerakan
senam jadi ada ide ngelukis
kayak gitu hehe. Sesuai
juga kan sama temanya,” tambah Franda.
“Lukisan kalian
ini bagus banget
loh. Ngapain masih disimpen di kamar Saskia?
Mending dipajang di ruang
tamu aja. Nanti papa beliin
bingkainya ya.”
“Serius Pa?” tanya Franda dan Saskia bersamaan.
“Iyaa, sayang banget kan kalo
lukisan sebagus ini disimpen doang.”
“Bener tuh kata papa, mama setuju.”
Franda dan Saskia sangat
girang karena hasil karya mereka yang awalnya
dipikir hanya untuk
tugas sekolah Saskia tapi akhirnya bisa menghiasi rumahnya.
“Kalo senam yang kemaren udah jadi?” tanya papa nya.
“Udah jadi sih,
Pa. Udah aku kumpulin juga tapi belum dinilai,” jawab Saskia. “Kalian
masih hafal kan gerakannya?” tanya papa nya
lagi.
“Hafal banget sih, Pa hehe,”
jawab Franda.
“Aku juga masih
hafal walaupun kayaknya ngga se hafal kak Franda,” ujar Saskia. “Nahh
gimana kalo lukisan itu kita
buat nyata?” ajak papa nya.
“Maksutnya
kita senam bareng,
Pa?” tanya Saskia
sedikit heran.
“Nahh betul.
Jadi kita senam
bareng pake gerakan
senam yang udah kalian buat. Trus habis
itu kita makan-makan deh ala
camping gitu. Dan kita lakuin itu
semua di halaman belakang sekaligus menikmati udara luar ya walupun cuma di halaman belakang rumah.”
“Wahh bagus
banget idenya Pa, aku mau banget,” Franda mengiyakan ajakan papa nya. “Setujuu
banget ayukkk…” Saskia pun
bersemangat.
“Ayokk ayokkk mama juga semangat banget
nih buat senam dipimpin Franda
sama Saskia wkwk.”
“Kak Franda
aja deh yang jadi instrukturnya jangan aku,” kilah
Saskia.
“Kita berdua
aja lahh kan kamu juga hafal gerakannya,” Franda mengerdipkan matanya pada adiknya itu.
“Yaudah
terserah deh yang penting kita olahraga sama-sama yuk!” papa menengahi dan mengajak
mereka untuk segera ke halaman belakang.
Franda
membiarkan mama, papa, dan adiknya berjalan mendahuluinya. Ia menyusul di
belakang mereka, memandangi mereka sambil tersenyum.
Kunci kebahagiaan adalah
bersyukur akan apa yang ada. Bahagia itu bukan dicari,
tapi dirasakan. Franda sadar bahwa
selama ini ia selalu ingin mencari kebahagiaan di luar sana.
Tanpa ia sadari, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah menikmati waktu yang ada bersama orang-orang tersayang. Orang-orang tersayang yang ia sebut keluarga. (Tulungagung - Helen Nindy)
Posting Komentar untuk "Kebahagiaan Yang Sesungguhnya - Cerpen Helen Nindy"