Kebahagiaan Yang Sesungguhnya - Cerpen Helen Nindy



Mentari perlahan mulai tenggelam, langit berganti menjadi senja menandakan malam akan datang. Franda menatap langit jingga kemerahan itu dari balik jendela kamar. Menatap langit sekaligus meratapi keadaannya. Cepat sekali pagi berganti malam, batinnya. Dan sehari- hari ia hanya menghabiskan waktu di dalam kamar, mengerjakan tugas kuliah online tentunya. Lalu mendengarkan musik dan sesekali menonton film sebagai refreshing.

Ia paham bahwa memang dari dulu jarang sekali refreshing dalam hidupnya adalah liburan. Refreshing untuk Franda cukup dengan menonton film di laptop, membaca novel, menulis cerita. Bagaimana tidak? Memang sejak SD sampai SMA ia menyandang gelar anak rumahan. Papa nya yang over protective membuat Franda iri dengan kehidupan teman-temannya yang lain, membuatnya merasa hidup ini tidak adil.

Namun ketidakbebasan itu sudah terlepas dari dirinya sejak ia kuliah di Malang. Jika bagi teman-temannya hidup di perantauan dan jauh dari orang tua itu menyedihkan, tapi baginya justru kebalikan dari itu. Disana Franda begitu menikmati hidup yang terlambat ia nikmati.

Bebas nongkrong dengan teman-temannya, bebas liburan kemanapun yang dia mau. Sungguh menyenangkan bukan? Kehidupan bebas yang selama ini ia dambakan akhirnya bisa ia rasakan.

Tapi sayangnya itu semua tak berlangsung lama. Pandemi membuatnya terpaksa kembali ke Jakarta. Orang tua nya menyuruh Franda untuk pulang saja. Apalagi kuliah juga dilakukan secara online. Sedih pasti, karena masih beberapa bulan saja ia menjalankan hidup seperti orang lain pada umumnya tanpa terikat aturan-aturan yang mengekang. Tapi kali ini ia tak merasa bahwa hidup tak adil baginya, karena seluruh Indonesia pun harus mengikuti lockdown dan membatasi kegiatan di luar rumah.

Franda hanya berharap lockdown ini segera berakhir dan ia bisa keluar lagi dari rumahnya yang sudah seperti penjara baginya. Ia membayangkan bagaimana ia menghabiskan waktu lagi dengan teman-teman disana. Masih banyak list tempat-tempat yang belum ia kunjungi. Dan ia tak ingin sampai semua rencana tersebut batal.


Tok…tok…tok…

 

Ketukan di pintu kamarnya memecahkan lamunannya. “Franda, malam ini makan bareng-bareng ya di meja makan.” “Sama siapa aja, Ma?”

“Sama mama sama Saskia. Ada papa juga itu baru pulang.” “Hmm oke deh, Ma.”

Walaupun malas bertemu papa nya, tapi Franda tidak enak hati menolak ajakan mama nya kali ini. Sudah berkali-kali ia menolak untuk makan bersama. Karena ada papa nya juga yang selama lockdown ini jadi work from home. Ia malas saja karena ketika ada papa nya itu ia jadi tak bisa bicara banyak, hanya bicara seperlunya.

“Tapi wait, tadi mama bilang papa baru pulang. Emang udah ngga work from home?” Franda bertanya tanya dalam hati.

Pertanyaannya itu membuat Franda semangat untuk mandi dan bergegas menemui mamanya di ruang makan.

“Gitu dong sayang… Kalo semangat gitu kan cantik,” goda mamanya mengetahui Franda sangat bersemangat sekali menghampiri mama dan adiknya di ruang makan.

“Pasti semangat karna mau makan chicken teriyaki nih haha,” sahut Saskia, adik perempuan Franda satu-satunya yang masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama.

“Ihhh gue ngga tau ya kalo mama masak chicken teriyaki malem ini,” jawab Franda sewot.

“Iya mama masak makanan kesukaan kamu nih Fran. Duduk dulu sini sambil kita nunggu papa,” ajak mama Franda.

“Eh eh Ma, papa masuk kerja hari ini? Emang udah ngga di lockdown?” Franda masih penasaran sekali.

“Yeee mangkanya jangan di kamar mulu. Ketinggalan berita kan,” ledek Saskia.

Franda tak menghiraukan adiknya itu kali ini, ia fokus untuk mendengar penjelasan dari mamanya.

“Kan ini udah new normal sayang. Jadi udah engga work from home lagi.” New normal, Ma?”

“Iya semua udah ngga dibatasi aktifitasnya di luar. Ya tinggal gimana cara setiap orang buat menjaga diri.”

“Tapi kok belum ada pengumuman masuk dari kampusku?” “Kan emang semua sekolah masih dilarang masuk Fran.”

“Kok gitu sih, Ma? Orang kerja boleh, masa orang sekolah ngga boleh.”

“Ya emang gitu peraturannya sayang. Tapi nanti kalo semua udah membaik pasti sekolah juga diijinkan masuk sama pemerintah.”

“Oke kalo gitu besok aku mau meet up sama temen-temen SMA ku aja ya, Ma.” “Tapi tetep ikuti protokol kesehatan ya.”

“Siapp, Ma.”

“Ini papa ngabarin katanya di jalan macet banget. Mungkin karena hari ini pertama kali diperbolehkan aktifitas di luar ya. Kita disuruh makan duluan aja katanya. Kalian makan dulu deh, ntar mama makan sama papa aja.”

“Okee makan yuk, aku mau buru-buru kabarin temen-temen nih ajak mereka meet up.” “Mau meet up dimana emang Fran?”

“Di Bakso Mercon deket sini aja, Ma. Yang jelas boleh kan sama papa. Mumpung kangen juga sama baksonya, pasti temen-temen juga pengen banget makan bakso langganan kita jaman SMA dulu.”

“Oke nanti mama bilangin ke papa ya.”


“Iya, Ma. Meet up nya sama Desi sama Lira doang kok. Aku kangen banget sama mereka. Kan selama ini kita sama-sama pulang ke Jakarta tapi belum meet up.”

“Okee okee.”

Franda menghabiskan makan malam dengan lahap kali ini. Makanan favoritnya pun menjadi sangat enak ditambah berita gembira ini.

Keesokan paginya, Franda langsung terbangun ketika merasakan hangat matahari pagi mengenai bantalnya. Pagi ini berbeda dengan pagi-pagi sebelumnya. Franda bangun dengan senyum lebar di bibir, ia sangat antusias melihat kembali indahnya dunia hari ini. Pukul 08.00 adalah jam yang ia nanti-nantikan. Ia bergegas dari tempat tidur untuk mandi dan bersiap.

Ketika sedang menyisir rambut di depan cermin, Franda mendengar suara yang seakan memanggilnya. Semakin dekat suara itu Franda menyadari itu adalah suara papa nya. Ia lalu meletakkan sisir di meja riasnya lalu membuka pintu kamar. Ternyata mama dan papa nya sudah berada di depan kamar Franda. Dengan tatapan tajam pada Franda, Franda yakin papa akan memarahinya kali ini tapi ia tak tahu apa masalahnya.

“Kamu mau kemana?” papa nya bertanya dengan nada tinggi seperti biasa.

“Ke Bakso Mercon situ doang kok, Pa. Sama Desi sama Lira doang,” jawab Franda yakin. “Kamu tau kan kalo sekarang lagi pandemi?”

“Tapi kan udah new normal sekarang, Pa.”

“Tapi apa virus nya udah pergi dari Indonesia? Belum kan Franda?” “Nanti aku pake masker kok, bawa handsanitizer juga.”

“Kalo makan apa selalu pake masker?” “Ya kalo makan doang maskernya dilepas.”

“Nah itu namanya udah ngga protokol kesehatan ketat!” “Tapi, Pa aku pengen ketemu temen-temen.”

“Kalau kangen telpon kan bisa, video call juga bisa. Masa-masa sekarang ini kalau ngga penting jangan keluar, kalau penting banget kayak papa ini kerja baru keluar dengan protokol kesehatan ketat.”

“Iya Pa,” Franda tak ingin membantah lagi karena pasti akan percuma dan tetap tidak bisa membuat papa nya mengerti.

“Pokoknya sekalipun papa lagi ngga di rumah, kamu sama Saskia jangan sampai keluar buat main ngga jelas.”

Franda hanya terdiam, menunggu sang papa menjauh dari hadapannya. Franda pun tak menghiraukan mama nya yang berusaha tersenyum ke arahnya untuk membuatnya kuat. Setelah papa mama nya berjalan menjauh, Franda menutup kamar, berlari ke kasur dan menangis sejadi- jadinya sambil memeluk boneka bear kesayangannya.

Why? Kenapa aku dilahirkan di keluarga yang seperti ini? Papa yang tidak mengerti aku dan mama yang bisa mengerti aku tapi tak bisa melakukan apa-apa. Mau sampai kapan? Aku lelah.”

Franda tak dapat membendung tangisnya kali ini. Belum lagi ia berfikir ia akan mengecewakan Desi dan Lira karena memberikan mereka harapan palsu.

Franda memutar musik di ponsel nya untuk mengendalikan kondisi hati dan pikirannya yang tak karuan. Ia memandang keluar jendela, entah kapan virus ini menghilang dan setidaknya ia bisa keluar rumah walaupun tidak jauh.

Hari demi hari ia lewati dengan berdiam diri di kamar. Ia bahkan semakin malas keluar kamar walau sekedar makan di ruang makan. Franda membiarkan dirinya merasa hidup seorang diri saja, tanpa ada orang lain yang merangkulnya. Desi dan Lira memang selalu memberinya semangat tapi Franda tak bisa berbohong pada hati kecilnya bahwa ia juga ingin bisa keluar rumah seperti mereka. Franda berusaha bersikap baik-baik aja ketika menolak ajakan teman- teman untuk kumpul makan-makan dengan teman-teman sekelasnya.

Rindu? Iya. Ingin bertemu? Pasti. Sudah beberapa kali ia tak menghadiri acara kumpul- kumpul itu. Dan pasti teman-temannya tak tahu jika ia menahan kesedihan yang sebenarnya


begitu dalam ketika melihat foto-foto kebersamaan mereka terpajang di story medsos masing- masing. Tapi apa daya? Ia tak bisa melakukan apa-apa bahkan untuk kebahagiaannya sendiri.

Ada 1 perkataan temannya yang paling menusuk bagi Franda. Yaitu ketika salah satu alumni teman sekelasnya bilang “Lo diem di rumah doang ngapain Fran? Betah banget haha. Keluar dong masa di rumah terus emang ngga bosen”. Damn, seketika emosinya memuncak ketika mendengar perkataan itu.

“Emangnya dia pikir gue betah di rumah terus? Emangnya dia pikir gue ngga bosen? Dan emangnya dia pikir gue mau gitu kayak gini?” Franda tak habis pikir.

Tapi besok-besok ia pikir-pikir lagi. Percuma juga marah atau menjelaskan ke temannya itu, dia ngga akan paham. Realitanya, orang lain tidak akan bisa mengerti apa yang kita rasakan jika tidak mengalami sendiri apa yang kita alami. Karena tidak mengerti bagaimana rasanya jadi dia bisa ngomong seenaknya.

Franda mencoba berdamai dengan keadaan. Namun suatu ketika Desi menelponnya di sore hari ketika Franda sedang menikmati senja dari balik jendela kamar seperti yang ia lakukan sehari-hari.

“Haloo Frandaaaa” “Halo, Des. Kenapa?”

“Kita mau ke Malang nih lo ikut yaa. Ntar gue sama Lira yang ngijinin ke bokap lo deh.” “Siapa aja, Des?”

“Ada gue, Lira, Della, Kevin, sama Bastian. Kita naik mobilnya Kevin rencananya. Ntar yang nyetir Kevin sama Bastian gantian. Pas deh ntar kita ber enam kalo lo ikut. Gue yakin pasti serunya bakal komplit kalo ada elo, Frann..”

“Hmmm tapi gue jelas ngga boleh sih pasti, Des.”

“Apa perlu kita semua berlima ke rumah lo buat ngobrolin ini sama bokap lo?” “Aduhh lo sok berani banget btw wkwk.”

“Lah emang kan dulu gue juga sering minta ijin ke bokap lo buat ngajak lo hangout.” “Tapi kali ini beda masalahnya des. Emang ke Malang mau kemana sih?”

“Tujuan utama ke Jatim Park 3. Lo tau kan kita pernah punya rencana mau liburan kesana tapi belum jadi-jadi.”

Awalnya Franda ingin menolak ajakan Desi dengan perasaan biasa saja. Tapi setelah mendengar tujuan wisatanya, Franda berfikir tolakannya kali ini akan berat. Jatim Park 3 adalah salah satu tempat yang ingin sekali ia kunjungi. Ia membayangan betapa asyiknya menjelajahi wahana Jatim Park 3 bersama teman-teman, betapa indahnya berfoto di Milenial Glow Garden bersama Desi dan Lira. Tapi semua itu hanya menjadi bayangan.

“Gimanaa Frann?? Sabtu ini ya berangkatnya. Besok atau ntar malem juga bisa gue ke rumah lo nemuin bokap lo.”

“Hmmm saat ini aja rumah gue juga ngga nerima tamu Des. Gue mending ngga usah ikut aja deh.”

“Yahhh nggapapa Fran gue ke rumah lo, kita coba dulu ya?” “Engga usah deh. Daripada percuma.”

“Padahal gue sama Lira pengennya lo yang ikut. Kalo lo ngga ikut yang lainnya mau ngajak anak cewe 1 lagi biar genap.”

“Ya nggapapa ajak yang lain aja.” “Lo serius nggapapa Fran?”

“Gue nggapapa kok. Have fun ya disana. Salam buat temen-temen.” “Oke dehh. Lo juga always happy ya Fran.”

“Siapp Des see you.”

“See you… Semoga kita cepet ketemu yaa…” “Semoga hehe.”


Franda menutup telponnya dengan perasaan kecewa pasti. Tapi sedih pun rasanya percuma karena air mata tak bisa mengubah keadaan. Setidaknya ia selalu berhasil menutupi kesedihannya dibalik kata “nggapapa”.

“Franda, itu papa pulang bawa ice cream Mc Flurry kesukaan kamu sama Saskia. Buruan di makan ntar keburu meleleh lo,” terdengar suara mama nya dari balik pintu kamar Franda.

“Rasa apa, Ma?”

“Rasa oreo buat kamu, yang matcha buat Saskia.”

Rasa rindunya dengan rasa Mc Flurry oreo membuat Franda tanpa pikir panjang bergegas keluar kamar.

“Tuh kan emang kak Franda nih mau keluar kamar kalo dipancing sama makanan atau minuman kesukaannya,” ledek Saskia.

“Diem aja lo ihh!” Franda tak peduli dengan perkataan adiknya. Ia langsung mengambil kresek yang ada di meja makan untuk mengambil ice cream nya.

“Eh kok langsung diambil aja sih. Itu kreseknya belum papa semprot pake alkohol lo. Sini papa semprot dulu, kamu cuci tangan pake sabun dulu sana!” papa langsung mengambil alih kresek dari tangan Franda.

“Hufftt belum ada 5 menit keluar kamar aja udah kesal. Ntar makan ice cream di kamar aja deh,” Franda mendengus kesal sambil berjalan menuju wastafel.

Setelah selesai cuci tangan, Franda langsung mengambil Mc Flurry rasa oreo di meja makan dan bergegas ke kamar. Namun papa nya menghentikan langkahnya,

“Franda, mau makan di kamar? Duduk di depan TV aja lah itu sama mama sama adikmu. Papa mandi dulu habis pulang dari kantor.”

“Oke Pa,” Franda malas berdebat dan mengiyakan saja perintah papa nya. Seperti biasa, di TV sedang menyiarkan berita update covid.

“Tiap hari liat berita covid mulu,” Franda menghampiri mama dan adiknya yang sedang asyik mendengarkan berita.

“Biar tau perkembangannya sayang,” jawab mama Franda.

“Semakin virusnya berkembang di luar sana, semakin aku ngga berkembang disini,” keluh Franda.

“Udah untung kita sekeluarga sehat-sehat aja kak terbebas dari corona,” Saskia mengingatkan Franda.

“Liat tuh di TV, kasihan para tenaga kesehatan yang berjuang bertaruh nyawa. Hidup jauh dari keluarga untuk sementara waktu. Dan itu semua mereka lakukan demi orang lain. Bahkan orang lain yang tidak mereka kenal. Udah banyak tenaga kesehatan juga yang sampai meninggal dunia karena terpapar dari pasiennya. Kita harus bersyukur nih masih bisa kumpul-kumpul di rumah sama keluarga kayak gini,” terang mama Franda.

Sedikit-sedikit Franda mencerna kata-kata mama nya dan ia menjadi merasa iba dengan para tenaga medis di luar sana yang sedang berjuang demi nyawa orang lain.

“Nahh mangkanya papa menekankan kita harus jaga diri dan prokes ketat. Kasihan mereka para nakes, tenaganya udah dikerahkan buat merawat orang-orang yang terkena covid. Sebaiknya kita-kita yang masih sehat ini bisa jaga diri agar tidak memberatkan beban para tenaga medis,” tutur papa Franda yang tiba-tiba sudah menyusul mereka di ruang keluarga.

“Tapi orang-orang di luar sana juga masih banyak yang ngga bener-bener taat prokes kan, Pa,” sahut Saskia.

“Nahh mau sampai kapan kita kayak gini?” tambah Franda.

“Nah itu tugas kita untuk saling mengingatkan. Ingatkan orang-orang terdekat kita, orang-orang yang kita kenal untuk taat prokes. Dan kita sendiri juga harus tetep lakukan yang terbaik walaupun orang-orang tidak melakukan seperti yang kita lakukan,” penuturan papa nya kali ini lumayan bisa diterima oleh Franda.


“Jadi kalian udah paham kan apa yang papa lakuin ke kalian itu untuk kebaikan kita bersama,” ujar papa nya lagi.

“Iya paham, Pa,” Saskia mengangguk-angguk.

“Sesekali olahraga juga loh kalian buat jaga kesehatan,” perintah mama nya.

“Eh iyaa aku inget. Wah pas banget nih. Kak, tolong dong buatin gerakan buat senam sama pilihin musik-musiknya,” pinta Saskia pada kakaknya.

“Hahh? Gue?” Franda terkejut.

“Iya kan lo dulu pernah bikin gerakan senam juga kan?” “Tapi udah lama itu. Sekarang mah dah lupa gerakannya.” “Bikin baru aja.”

“Lo pikir segampang itu??”

“Mangkanya bantuin gue bikin gerakannya ya. Besok lusa harus udah dikumpulin nih. Mana gue juga masih banyak tugas sekarang, tugas melukis juga belum selesai. Wah lo bantuin gue ngelukis juga boleh banget sih lo kan jago kak.”

“Tugas melukisnya dikumpulin kapan emang?” “Besokk.”

“Wah ntar malem aja kalo gitu gue bantuin ngelukis. Besok baru bikin gerakan senamnya.” “Yeay gitu dong jadi kakak yang baik.”

Papa mama nya terlihat tersenyum ke arah mereka. Entah mengapa saat itu Franda merasakan sebuah kehangatan.

Malam itu, sesuai janjinya Franda membantu sang adik menyelesaikan lukisannya.

Sebuah momen langka dalam hidupnya bisa akur dengan adik satu-satunya itu.

“Nah kalo gini kan gue ngga kesepian,” celetuk Saskia sambil tetap fokus pada lukisannya.

“Biasanya gue juga kesepian sih,” sahut Franda.

“Ya gimana ngga kesepian orang lo mengurung diri di kamar mulu kak.” “Hehee…”

“Kalo gue kesepian sih kalo pas malem gini. Apalagi kalo pas pusing masih ada deadline tugas jam 12 malem. Kalo gini kan enak ada temen buat ngobrol.”

“Ya udah sekarang crita-crita gih. Lo ngga pernah crita apa-apa ke gue nih.”

“Gue butuh temen crita sih sebenernya selain ke temen. Karna ngga semua yang kita rasakan bisa dicritain ke temen kan. Kalo cerita ke mama juga ngga enak mama udah bukan anak muda wkwk.”

“Lo mau crita soal apa? Soal cowo ya? Wah yang mana cowo lo? Liat fotonya dong.” “Ihhh kak gue ngga kayak lo ya yang masih SMP aja udah banyak cowonya.”

“Lo sekali aja ngga ngeselin ngga bisa ya Sas?”

 

“Haha yaudah gue mau curhat nih. Tapi bukan soal cowo.” “Trus soal apa?”

“Soal impian dan cita-cita. Kali aja lo ada kritik dan saran gitu.” “Okee okee siapp. Jadi gimana?”

“Jadi gini kak…”

Franda dan adiknya menyelesaikan lukisan sambil night talk hingga larut malam. Setelah lukisan itu selesai, Saskia langsung tertidur karena kelelahan. Franda membereskan alat-alat yang mereka gunakan untuk melukis. Sebelum kembali ke kamarnya, Franda memandangi adiknya yang sudah terlelap.

Ia sadar bahwa selama ini ia egois, hanya memikirkan dirinya sendiri dan kesenangannya sendiri, tanpa memikirkan bahwa ia juga punya seorang adik perempuan yang tentunya juga


merasa tidak enak dengan kondisi yang sedang mereka alami. Franda merasa gagal menjadi seorang kakak. Tapi ia bertekat akan memperbaikinya.

Walaupun tidur larut malam, tapi keesokan harinya Franda sudah bangun pagi-pagi sekali. Ia teringat akan membuatkan gerakan senam untuk tugas Saskia. Kebetulan ia sedang tidak banyak tugas kali ini. Franda mengetuk pintu kamar Saskia berkali kali tapi tidak ada jawaban.

“Masih tidur mungkin adikmu,” ujar mama yang mengetahui Franda berada di depan pintu kamar Saskia sedari tadi.

Dan benar saja, tak lama kemudian Saskia membuka pintu kamarnya sambil mengucek mata, terlihat matanya masih belum terbuka lebar.

“Sarapan dulu nih pake sandwich telur,” perintah mamanya.

“Yukk yukk biar ngga ngantuk wkwk,” ajak Saskia lalu menggandeng tangan kakaknya untuk bergegas ke ruang makan.

Selesai sarapan mereka kembali ke rencana awal. Pertama-tama Franda dan Saskia diskusi menentukan beberapa lagu yang nantinya akan digabung. Setelah fix, baru membuat gerakan yang cocok berdasarkan lagu-lagu tadi. Saskia pun mempraktekkan gerakan-gerakan yang dibuat Franda. Di tengah keasikan itu, mama nya masuk sambil membawakan 2 mangkok es buah.

“Wahh seneng banget mama liat keseruan kalian kayak gini. Nih minum es buah dulu, istirahat dulu.”

Tanpa pikir panjang Franda dan Saskia menuruti perintah mama nya untuk istirahat sambil menikmati es buah yang terasa segar sekali.

Franda mengecek hp nya dan sontak ia terkejut karena banyak chat masuk dari Desi. “Frandaaaa”

“Huhuuuuu”

“Kita ngga jadi ke Malang weekend ini.” “Lo udah tau belum?”

“Della kena positif covid.”

“Gue sama Lira ngga diijinin ortu kita buat liburan ke luar kota.” “Ini aja gue jadi ngga boleh keluar rumah kalo ngga penting.” “Lo udah liat story Della belum?”

“Dia kan selama ini ngga terlalu percaya kalo covid beneran ada. Biasanya waktu ngumpul- ngumpul juga dia yang sering lepas masker.”

“Di story nya dia kayak menyesal banget selama ini menyepelekan hal ini.”

“Sekarang kondisinya ngga enak banget katanya. Dia sebelumnya ngga punya asma. Tapi dia sekarang kesulitan nafas sampe pake alat bantu. Indra penciuman sama perasa nya juga lagi ngga berfungsi.”

“Kemaren dia telpon gue nangis terus.” “Semoga dia cepet sembuh deh.”

“Gue ntar mau tes aja. Soalnya kapan hari baru ketemu juga sama Della.” “Semoga gue negatif lah ya. Habis ini mau di rumah aja deh cari aman.” “Lo stay safe and stay healthy terus ya, Frann..”

Franda tercengang membaca semua pesan whatsapp dari sahabatnya itu. Ia jadi merasa sangat bersyukur karena tidak mengalami seperti yang dialami temannya. Memang betul sebuah pepatah bahwa “Lebih baik mencegah daripada mengobati”. Franda jadi memahami mengapa papa nya bersikap seperti itu pada dirinya selama ini, itu semua untuk kebaikannya sendiri.

Weekend ini tidak seperti yang dibayangkan Franda sebelumnya. Ia tidak akan menahan kesedihan karena melihat foto teman-temannya liburan ke Jatim Park 3. Justru ia senang karena


hari ini akan camping makan-makan di halaman belakang rumah bersama papa, mama, dan Saskia.

“Kak Frandaaaa kakkk buruan sini deh,” terdengar suara Saskia memanggil Franda dengan girangnya.

Franda bergegas keluar kamar untuk menemui adiknya itu.

“Iya iya gue ngga lupa kok kalo kita mau camping,” ujar Franda santai sambil berjalan menghampiri Saskia.

“Bukan itu kakk.” “Trus kenapa?”

“Lukisan gue kak, yang kemaren itu…” “Lukisan lo kenapa?”

“Dapet nilai 95 uhuyyy”

“Wahhh bagus dong ikut seneng gue.”

“Berkat lo juga nih. Makasih banget udah mau bantuin gue sampe larut malem hehe.” Saskia memeluk Franda.

Franda tersenyum dan mempererat pelukannya.

“Ehmm ada yang pelukan ngga ngajak-ngajak nih,” celetuk mama nya. “Emang mana sih lukisannya? Papa mau liat,” pinta papa nya.

Saskia mengambil lukisan hasil karyanya dan Franda di kamar lalu menunjukkan pada kedua orang tuanya.

“Ini nihh Pa, Ma lukisan kita. Temanya kebersamaan dengan keluarga di masa pandemi. Dan ini idenya kak Franda nih kita lukis kita berempat lagi senam wkwk. Sekaligus menunjukkan kalau di masa pandemi ini juga harus rajin berolahraga kan. Jadi gitu cerita di balik lukisan ini hehe,” tutur Saskia.

“Karena kepikiran mau bikin gerakan senam jadi ada ide ngelukis kayak gitu hehe. Sesuai juga kan sama temanya,” tambah Franda.

“Lukisan kalian ini bagus banget loh. Ngapain masih disimpen di kamar Saskia? Mending dipajang di ruang tamu aja. Nanti papa beliin bingkainya ya.”

“Serius Pa?” tanya Franda dan Saskia bersamaan.

“Iyaa, sayang banget kan kalo lukisan sebagus ini disimpen doang.” “Bener tuh kata papa, mama setuju.”

Franda dan Saskia sangat girang karena hasil karya mereka yang awalnya dipikir hanya untuk tugas sekolah Saskia tapi akhirnya bisa menghiasi rumahnya.

“Kalo senam yang kemaren udah jadi?” tanya papa nya.

“Udah jadi sih, Pa. Udah aku kumpulin juga tapi belum dinilai,” jawab Saskia. “Kalian masih hafal kan gerakannya?” tanya papa nya lagi.

“Hafal banget sih, Pa hehe,” jawab Franda.

“Aku juga masih hafal walaupun kayaknya ngga se hafal kak Franda,” ujar Saskia. “Nahh gimana kalo lukisan itu kita buat nyata?” ajak papa nya.

“Maksutnya kita senam bareng, Pa?” tanya Saskia sedikit heran.

“Nahh betul. Jadi kita senam bareng pake gerakan senam yang udah kalian buat. Trus habis itu kita makan-makan deh ala camping gitu. Dan kita lakuin itu semua di halaman belakang sekaligus menikmati udara luar ya walupun cuma di halaman belakang rumah.”

“Wahh bagus banget idenya Pa, aku mau banget,” Franda mengiyakan ajakan papa nya. “Setujuu banget ayukkk…” Saskia pun bersemangat.

“Ayokk ayokkk mama juga semangat banget nih buat senam dipimpin Franda sama Saskia wkwk.”


“Kak Franda aja deh yang jadi instrukturnya jangan aku,” kilah Saskia.

“Kita berdua aja lahh kan kamu juga hafal gerakannya,” Franda mengerdipkan matanya pada adiknya itu.

“Yaudah terserah deh yang penting kita olahraga sama-sama yuk!” papa menengahi dan mengajak mereka untuk segera ke halaman belakang.

Franda membiarkan mama, papa, dan adiknya berjalan mendahuluinya. Ia menyusul di belakang mereka, memandangi mereka sambil tersenyum.

Kunci kebahagiaan adalah bersyukur akan apa yang ada. Bahagia itu bukan dicari, tapi dirasakan. Franda sadar bahwa selama ini ia selalu ingin mencari kebahagiaan di luar sana.

Tanpa ia sadari, kebahagiaan yang sesungguhnya adalah menikmati waktu yang ada bersama orang-orang tersayang. Orang-orang tersayang yang ia sebut keluarga. (Tulungagung - Helen Nindy)


Posting Komentar untuk "Kebahagiaan Yang Sesungguhnya - Cerpen Helen Nindy"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress