Brak! Kulempar buku harianku hingga terbentur keras ke tembok kamar sebelum akhirnya terjatuh ke lantai. Dada masih terasa cukup sesak, sulit bernafas. Air mata masih mengalir deras membasahi kedua pipi tembamku. Ingatan demi ingatan perlakuan buruk orang-orang di sekitarku menambah kalut perasaanku kini.
Andai saja aku tak pernah terlahir
ke dunia, Bunda pasti masih hidup dengan bahagia bersama Ayah, dan aku pun tak
pernah merasakan dinginnya sikap Ayah, sakitnya patah hati & pengkhianatan
oleh orang-orang terdekat, termasuk sahabatku. Ah, semua itu hanya pengandaian
semata, nyatanya aku masih terpenjara di kamarku sendiri bersama porak
porandanya hati dan pikiranku.
Tok tok tok, seseorang di luar sana mengetuk pintu penjaraku sembari
berkata, "Kamu baik-baik saja, Rana? Ada masalah apa? Mama siap kok
mendengarkan curhatan Rana, tapi tolong buka pintunya dulu ya, Nak."
Sejenak suara Bu Kasih, psikolog sekaligus ibu sambungku selama lebih kurang
lima belas tahun itu, cukup menenangkanku sampai akhirnya sebuah notifikasi
muncul di layar ponselku. Rini, sahabatku sejak kecil, mengirim sebuah tautan
undangan pernikahan digital dengan pesan singkat, "Maafkan aku, Na, aku
tak bermaksud merebut Mas Aryo darimu. Aku sungguh-sungguh mencintainya sejak
dulu, bahkan sebelum kalian berkenalan. Aku harap kamu bisa memaafkanku dan
berkenan hadir di acara pernikahan kami." Argh! Aku mengeram sekencang-kencangnya, berusaha mengeluarkan
seluruh emosi yang selama ini terpendam. Duk,
duk, duk, duk, kubenturkan kepalaku dengan cukup keras berulang kali ke
tembok. Pada benturan kesekian, entah keberapa, aku mulai merasakan seluruh
penjaraku dan seisinya berputar-putar. Pandanganku mulai kabur, tubuhku
melemah, lalu aku terjatuh ke lantai, namun tidak dengan kepalaku. Ia
terselamatkan oleh buku harianku yang kulempar tadi dan terjatuh dalam posisi
terbuka. 'Andai aku punya mesin waktu,'
batinku sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
***
"Kamu nggak apa-apa?" tanya seorang pria yang
melambai-lambaikan tangannya tepat di depan wajahku. Suara itu seperti suara
pria yang kukenal, tapi tidak mungkin, karena saat ini dia pasti sudah sah
menjadi suami Rini. Kembali kupejamkan mataku dan mencoba untuk tidur lagi
untuk beberapa saat, berharap pusing ini menghilang segera setelah terbangun
nanti.
Samar-samar kudengar percakapan beberapa pria di dekat
ranjangku. Mereka bertiga meributkan keadaanku yang tak kunjung sadar dan
membuka mata.
"Kamu sih ngelempar bolanya terlalu kencang dan nggak
hati-hati, Yo, jadi kena orang kan."
"Kok aku? Ya salah dia sendiri lah. Udah tau kita lagi
main, ngapain dia masuk ke lapangan basket."
"Aryo, Aryo, kamu tuh. Yaudah, kamu tunggu dia sampai
sadar, terus minta maaf gih. Aku dan Vano mau balik dulu. Semangat, Bro!"
Tak lama kemudian suasana menjadi hening. Sepertinya dua
pria lainnya sudah pergi, berarti hanya Aryo yang masih di sini bersamaku.
Tunggu! Apa mungkin Aryo yang di sebelahku ini adalah Mas Aryo kekasihku yang
telah direbut oleh Rini? Apakah dia telah membatalkan pernikahannya dan memilih
tuk kembali bersamaku? Kedua netraku masih terasa amat berat sehingga kubuka
keduanya perlahan-lahan. Bayangan itu memang mirip dengan Mas Aryo. Postur
tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang bersih, rambutnya sedikit berjambul, selalu
berpakaian rapi, bahkan wangi parfumnya pun sama. 'Ha ha, apa mungkin Mas Aryo kembar?' candaku dalam hati.
"Alhamdulillah,
akhirnya kamu sadar. Ada yang sakit? Kamu masih ingat namamu kan?"
tanyanya memburu segera setelah mataku terbuka penuh, namun aku hanya
menjawabnya dengan sebuah kedipan pelan.
Sebegitu sulitnya kah diri ini melupakan Mas Aryo? Bahkan
setelah sadar dari pingsan pun masih melihat bayangannya, astaghfirullah. Bu Kasih masuk ke ruang perawatan, menghampiriku,
lalu memelukku dan berbisik. Beliau menyampaikan rasa sedihnya karena gagal
mengajak Ayah untuk menengokku. Ia pun segera melepas pelukannya setelah
menyadari ada orang lain selain kami berdua di ruangan ini.
"Kamu teman sekolahnya Rana?" tanya Bu Kasih.
"Saya kakak kelasnya Rana, Aryo, XII IPA 1, yang tanpa
sengaja melempar bola basket dan mengenai kepala puteri Ibu. Saya minta
maaf."
"Iya, nggak apa-apa, Nak Aryo. Lain kali hati-hati
ya," jawab Bu Kasih ramah sambil menepuk-nepuk pria di depannya.
"Sekarang tanggal berapa, Bu? Aduh, kepalaku masih
pusing sekali," tanyaku dengan memejamkan mata dan mengernyitkan dahi.
"17 Agustus 2018, sayang. Kenapa? Kamu sudah ada
janji?" tanya Bu Kasih.
17 Agustus 2018? Itu kan tanggal di mana aku dan Mas Aryo
pertama kali bertemu. Bukankah seharusnya sekarang tanggal 22 Agustus 2022 dan
dia sedang melangsungkan pernikahan dengan Rini? Aku yang bingung pun mengamati
sekitar, mencoba mencari petunjuk, tapi nihil. Ponsel! Harusnya ada ponsel di
saku celana tidurku. Tangan kananku masuk ke balik selimut dan berusaha mencari
ponsel di saku celana kanan, namun yang kudapati malah saku rok. ternyata sejak
tadi aku terbaring di rumah sakit dengan mengenakan seragam sekolah. Kok bisa?
Dan lagi kejadian ini sama seperti dengan yang pernah kualami pada tanggal yang
sama seperti yang Bu Kasih sebutkan, aneh! Apa mungkin sungguh ada mesin waktu
di dunia ini dan aku tengah di dalamnya? Apa mungkin ini cara Tuhan memberiku
kesempatan kedua untuk memperbaiki semuanya?
Di satu sisi, berada dalam dimensi waktu ini rasanya
benar-benar aneh bagiku. Bayangkan, kamu pernah melakukan di posisi ini
sebelumnya dan entah bagaimana, tanpa tau sebabnya, cling, seketika kamu kembali ke waktu, tempat, bahkan mengalami
kejadian yang sama. Aneh kan? Namun di sisi lain, ada rasa bahagia dan syukur,
seakan-akan Tuhan memang ingin memberiku satu kesempatan lagi.
***
Tiga tahun telah berlalu di dimensi waktu yang kusebut
‘mesin waktu’ ini, namun tak banyak yang berubah di hidupku. Ayah masih seperti
dulu, pergi sebelum sarapan, dan pulang setelah makan malam, tapi setidaknya
setiap akhir pekan Bu Kasih berhasil mengajak Ayah ke penginapan milik keluarga
untuk mengecek bisnis di cabang sekaligus berlibur bersama. Begitu pun Mas
Aryo, dia tetap Mas Aryo yang sama seperti yang kukenal di duniaku, perhatian
pada hal-hal kecil, dan kali ini tanpa ada Rini di antara kami.
“Sayang, tumben banget kamu ngajak makan di luar, ada apa?
Biasanya kan makan bareng Ibu di rumah,” godaku dengan wajah jail dan
mengayun-ayunkan tangannya, namun Mas Aryo tak bergeming. Dia tengah sibuk
membalas pesan singkat dari seseorang bahkan mengambil gambar nomor meja tempat
kami duduk saat ini
“Assalamualaikum, Aryo, apa kabar? Udah lama nunggunya? Maaf
ya, tadi ada sedikit keperluan mendadak,” ucap seseorang tak lama setelah mas
Aryo mengunci layar ponselnya. Air wajah Mas Aryo berseri-seri seketika setelah
kehadiran pria tersebut dan bergegas berdiri untuk menyambutnya.
“Rana, kenalin ini Devano, sahabatku dari kecil yang sering
aku ceritain ke kamu. Ingatkan?” tanya Mas Aryo padaku. Belum sempat aku
menjawab, “Devano, ini Rana, pacarku”, lanjutnya, memperkenalkanku pada pria
bertubuh atletis di hadapanku.
Mas Aryo tampak pucat hari ini, tak seperti biasanya. Ingin
sekali bertanya padanya ada apa, namun Mas Aryo tengah asik berbincang dengan
Devano, sahabat kecilnya yang terpisah selama lebih dari 10 tahun. Melihat
keakraban dua sahabat di hadapanku ini, sepertinya akan jauh lebih baik jika
kutinggalkan mereka dan memberinya sedikit ruang. Kuselempangkan tas hitam
keciku di bahu dan memegang pundak Mas Aryo sambil berbisik pelan, “Aku pamit
dulu ya. Selesaikan dulu kangen-kangenannya…”, secepat kilat tangan kiri Mas
Aryo menahanku, sedangkan tangan kanannya mengangkat telepon, “Selamat siang.
Iya, benar, saya sendiri. Oh iya, baik, Pak, saya akan segera ke sana dalam 30
menit. Iya, Pak, terima kasih telah berkenan menunggu.”
“Rana, temani Devano dulu ya? Mas ada perlu sebentar di
kantor tempat Mas magang, nanti Mas balik lagi ke sini kok. Kalau kelamaan
nunggu, balik sama Devano aja, gapapa kan? Love you!” pamitnya sambil mencium
tangan kananku dan melangkah ke arah Devano.
“Titip jagain Rana ya sampai gue balik. Kalau kelamaan
nungguin gue, tolong anterin dia pulang dengan selamat. Awas aja kalo sampai
kenapa-napa!” ancamnya dengan gaya hendak meninju lalu terkekeh-kekeh dan pergi
meninggalkan kami berdua.
Ternyata permintaan Mas Aryo untuk menemani Devano tidak
terlalu buruk. Banyak kesamaan di antara kami berdua antara lain sama-sama
introver, penyuka musik, film action-komedi, bahkan Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) pun sama, INFJ. Bersama Devano,
aku seakan tengah bercermin. Begitu serunya kami berdua mengobrol hingga tanpa
sadar jam sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh malam. Lampu-lampu pertokoan
di pusat perbelanjaan yang kami kunjungi sudah mulai banyak yang padam, bahkan
pengunjung pun sudah tinggal hitungan jari.
“Thanks for today,
Dev. Udah lama gue nggak ketawa lepas kayak tadi,” ucapku dengan penuh rasa
tulus sesaat sebelum turun dari mobilnya.
“My pleasure, Na.
Kapan pun lo butuh temen curhat, hubungi gue ya. Tenang, Aryo pasti ngerti kok,
bahkan dia sendiri yang nitipin elo ke gue, sampai minta gue pulang ke
Indonesia segala” jelasnya diikuti kedipan sebelah mata.
***
Sudah puluhan kali aku menelepon Mas Aryo hari ini, namun
tak ada yang terhubung. Bila ditotal, sudah ratusan panggilan dalam bulan ini,
tapi jawaban operator tetap sama “Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau
berada di luar jangkauan” Bahkan sejak kedatangan Devano di antara kami hari
itu, rumah Mas Aryo selalu kosong. Ini sudah tahun kedua kamu menghilang tanpa
kabar apa pun. Kamu sebenarnya di mana, Mas? Apa aku coba tanya Devano ya?
Selama ini memang terkadang takdir seolah mempertemukan kami tanpa sengaja,
namun sayangnya entah bagaimana, perhatianku selalu teralihkan dan lupa
menanyakan tentang Mas Aryo.
“Dev, jawab jujur, Mas Aryo di mana?” tanayaku dengan wajah
serius dan penuh selidik pada pria berkulit putih dan berwajah teduh di
hadapanku ini.
“Rana…” ucapnya lirih dan lembut.
“Gak usah ngalihin pembicaraan! Tinggal jawab aja di mana
Mas Aryo, udah, aku cuma minta itu doang, Dev!”
“Kamu yakin mau tau di mana Aryo?” Kujawab pertanyaannya
dengan anggukan mantap.
“Oke, kalau gitu tutup matamu dan buka hanya ketika aku
menyuruhnya. Kamu juga harus janji akan kuat dan baik-baik saja setelah
mengetahui semuanya” Kuat dan baik-baik saja? Apa maksud ucapannya?
Untuk beberapa saat, aku dapat mendengar jelas suara bising
kendaraan-kendaraan di jalanan, suara klakson, peluit petugas parkir, dan
sesekali juga terdengar gujes-gujes,
kereta melintas. Namun setelah penyiar radio memutar sekitar lima belas lagu,
tak terdengar suara apa pun selain suara mesin mobil Devano dan radio yang
diputarnya. Kemana Devano akan membawaku pergi? Tuit, tuit, samar-samar kudengar kicau burung, tak lama kemudian
aku mencium aroma pinus, dan mendengar gemericik air, seperti aliran sungai.
"Kita sudah dekat. Aku akan membantumu turun dari mobil
dan berjalan ke tempat tujuan," jelas Devano. Aku mengangguk lirih. Jujur,
saat ini aku sangat takut namun hanya bisa berdoa semoga Devano tidak melakukan
hal buruk padaku.
Setelah berjalan beberapa ratus meter melewati jalan
setapak, Devano menghentikan langkahnya dan membuka penutup mataku seraya
berkata, "Silakan buka matamu dan penuhi syaratku tadi." Perlahan
kubuka kedua mataku sembari menyiapkan batinku atas apa yang aku lihat, sebuah
batu nisan bertuliskan nama lengkap Mas Aryo beserta nama ayah, tanggal lahir,
dan tanggal kematiannya, 22 Agustus 2022, tepat seminggu yang lalu. Hujan badai
besar menyelimuti perasaanku yang tak kuasa menahan tangis.
"Kamu yang sabar ya, Na. Ini ada titipan untukmu. Aku
tunggu di mobil ya. Take your time,"
pamitnya sambil menepuk-nepuk pundakku lalu menghilang dari pandangan.
Untuk Rana
tercinta.
Saat kamu
menerima dan membaca surat ini, ragaku mungkin sudah terbujur kaku di dalam
bumi, namun cintaku masih utuh untukmu. Maaf selama ini aku telah
menyembunyikan kondisi medisku darimu. Aku tidak ingin kamu cemas dan sedih
akan keadaanku.
Kamu masih
ingat kapan pertama kali kamu bertemu Devano? Sebenarnya, aku bukan ke tempat
magang, melainkan menjalani operasi kanker perut stadium 3. Aku tidak tahu
apakah operasiku akan berjalan lancar atau tidak, itu sebabnya beberapa pekan
sebelum operasi, aku meminta Devano mengurus kepindahannya ke Indonesia untuk
menggantikanku menjagamu, dan memberitahunya semua tentangmu.
Tolong jangan marah pada Devano karena ikut merahasiakan kondisiku darimu karena aku yang memintanya. Dia orang baik, Na, dan menurutku kalian cocok. Semoga kamu bisa mengikhlaskan kepergianku dan memulai hidup baru dengannya.
Kekasihmu,
Aryo.
(Sidoarjo - irmafitriani153 )
Posting Komentar untuk "Mesin Waktu - Cerpen - Irma Fitriani"