Oleh: Difa Felisa Heriah
Suasana malam ditemani embusan angin kencang, rincikan hujan bersahutan menembus kegelapan. Rangkaian petir menderu-deru dalam ruang luas yang terbentang di atas bumi. Ini sedikit mengerikan sebab tak ada cahaya yang dapat ditangkap.
Dengan harap-harap cemas Rey berteriak, "Ayo pergi, Bu! Ini berbahaya," tetapi yang terdengar hanya petir yang semakin memekakkan telinga.
Rey kumpulkan semua keberaniannya untuk mencoba keluar membawa ibunya dari ruang gelap gulita tersebut. Seberkas cahaya yang dibatasi pagar besi tinggi menjulang. Bahkan ia tak mampu menengadah hingga ke ujungnya. Saat itu juga wajahnya basah terkena bulir-bulir air hujan.
"Bangun, Rey! Ngga ada orang sukses diatas ambang mimpi," suara berat yang dapat ditangkap Rey dalam keadaan setengah sadar. Kemudian ia terbangun dari tidurnya.
"Jangan berlagak paling benar," tebas Rey. Ia segera beranjak dari kursi, mengayunkan kaki selama menyusuri anak tangga menuju rooftop, area bagian paling atas yang sering ia kunjungi di gedung ini. Ia menopang tubuhnya serta memandang hamparan tanah lapang samping sekolah yang konon pernah menjadi bangunan Belanda. Rey menjatuhkan bokongnya lalu memejamkan mata, kemudian suara hentakan kaki yang terdengar kian mendekat. Menit selanjutnya, tampak seorang berpakaian seragam serupa dengan Rey.
"Mau apa lo ke sini?" cetus Rey yang memejamkan tatapannya.
Laki-laki itu perlahan melangkah mundur dari hadapan Rey. Keringat dingin mampu membasahi seragam putihnya.
"Gua nanya. Kenapa mau pergi?" pungkasnya lagi.
Tanpa suatu pertimbangan, pelipis kanan siswa itu berlumuran darah. Tak ada pembelaan, siswa itu tergesa-gesa menuruni tangga. Rey berteriak. Mengeluarkan segala luapan perasaan. Sangat kencang. Keras juga kuat.
***
"Sampai kapan kamu berakhir merundung orang lain?"
Suasana hening mencekam dalam ruangan dingin ini.
"Tuhan ciptakan mulut untuk berbicara. Silakan pergunakan,"
Tetap hening, tak ada jawaban yang dilontarkan.
"Setiap hari terus-menerus saya mendapat laporan perihal Reyhan siswa teladan sekolah yang saat ini sering merundung seseorang. Sudah seperti menjadi hal tetap. Selalu. Pasti. Tidak pernah tidak, sehari pun,"
Raut wajah memerah disertai embusan nafas terengah-engah menjabarkan perasaan sosok Reyhan. Keningnya mengerut, tatapannya tajam. Kepalan tangannya yang kian erat. Dengan seluruh amarah yang tak cukup terbendung lagi, tangan kanannya mengepal, menggebrak hebat.
Detik kemudian para guru terbelalak pada tubuh Rey yang kini telah bangkit dari kursi. Rey memutar knop pintu dan bergegas menuju ruang kelas. Penglihatannya kabur. Sorak-sorai para siswa-siswi sepanjang koridor tidak ada yang berhasil memberhentikan langkah Rey.
"Kak Rey. Ada tugas,"
"Diam lo, Banci!" bentak Rey seperti orang kesurupan. Ia melanjutkan langkahnya. Kata-kata tercemar kerap terlontar dari mulut Rey. Segala bentuk umpatan, hinaan, caci dan makian berhasil menyayat perasaan orang banyak. Laporan yang masuk ke guru bimbingan konseling sudah terlalu sering bahkan menumpuk.
Rey berdiri diambang pintu ruang kelas lantai 3. Bola matanya memutar memandang seluruh objek yang tertangkap. Tubuhnya mematung beberapa detik, kemudian ia menjemput tasnya yang berada di kursi paling belakang.
Rey mengendarai motor dengan kecepatan diluar normal. Pikirannya kabut. Entah mengapa kejadian seperti ini sudah beberapa kali terjadi belakangan ini. Rey berhenti di salah satu kafe, mematikan motornya, melepas helm, turun, berencana hanya sekadar singgah untuk meminum secangkir kopi hangat. Ia mengambil kursi yang berada di paling belakang. Bentuk keramaian seperti apapun tidak ada yang disukainya.
"Dalam dunia ramai, aku bukan aku." benaknya.
Setelah menunggu beberapa menit, Rey segera menikmati kopi tersebut. Dari kejauhan terdengar suara dorongan pintu. Rey menoleh ketika pintu terbuka, mulutnya bersuara pelan. "Papa?"
Laki-laki yang didampingi seorang wanita menghampiri meja Rey. "Wanita itu masih muda, cantik, terlihat orang yang mampu, tidak kurang sedikit pun." kata Rey dalam hati.
"Hai, Rey."
"Papa?"
"Papa boleh ikut duduk denganmu?" tanya laki-laki yang Rey sebut Papa.
"Terserah," ketus Rey lalu kembali meminum kopinya.
"Kenali, Rey. Ini mama baru kamu," kemudian ia duduk disusul dengan wanita tersebut.
Wajah Rey membeku, perasaannya seperti batu yang tiba-tiba retak, matanya fokus kepada wanita itu tanpa berkedip. Ia berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa yang ia lihat sekarang tidak nyata. Hanya mimpi. Hanya ilusi. Ia harus bisa menguatkan hatinya untuk melihat sesuatu yang akan menyakiti hati Ibunya.
"Halo, Rey. Perkenalan, nama saya Ami," sapa Ami kepada Rey.
Sikap Rey berubah 180 derajat. Ia langsung memasang senyum lebar, dan menghilangkan wajah kagetnya tadi. Ia lantas mencium tangan Ami kemudian balik menyapa, "Halo, Tante, saya Rey. Anak tunggalnya pak Nugroho. Oh iya, tan, Rey cuma mau kasih tahu. Rey sudah punya mama, beliau hanya satu. Ngga ada yang kedua, ketiga, atau selanjutnya. Mohon maaf kalau seandainya Rey lancang, Papa dan Mama Rey masih saling mencintai. Cuma saja karena kehadiran tante yang merusak semuanya, jadi Papa ada keinginan meninggalkan istri sebenarnya. Sampai kapan pun, Rey enggak akan mengaku Tante ini Ibu kedua Rey. Terima kasih,"
Papanya sangat terkejut dengan ucapan Rey barusan. Ia terpaku disebelah Ami. Tidak ia sangka Rey akan seberani itu kepada Ami.
Rey yang sudah sangat muak dengan keadaan dalam kafe segera keluar dan bergegas menuju rumah. Tempat semua orang untuk pulang. Rey pikir saat ini sudah waktunya berhenti. Berhenti bukan melainkan sudah mencapai tujuan, bukan karena sudah mendapatkan apa yang dicari, tetapi semesta yang seakan memaksa untuk berhenti. Berhenti menjadi Rey sebagaimana mestinya. Keluar dari zona dirinya sendiri. Berhenti mencintai seorang laki-laki yang ia sangat cintai. Kini yang malah menjadi penjahat bagi Ibunya.
Memang benar bahwa tidak ada yang tidak mungkin. Semesta selalu memungkinkan hal yang tidak mungkin sekalipun
Rey masuk ke rumah dan cepat-cepat menemui Ibunya. Ia menjatuhkan semua tangis di dalam dekapan seorang Ibu, "Ma! Aku enggak seharusnya punya Papa," ucapnya tertatih-tatih.
"Menentang takdir Tuhan itu ngga diperbolehkan untuk kita sebagai ciptaannya,"
"Papa yang menentang takdir Tuhan,"
"Skenario Tuhan lebih indah dari apa yang kita bayangkan, Rey,"
Belaian lembut dari tangan halus Ibunya dinikmati Rey kini, ia tak ingin semesta mengambil orang tersayangnya lagi untuk kedua kali. Cukup Papa, cukup.
***
Esoknya disekolah, Rey tidak seperti biasanya. Seorang yang selalu merundung orang lain kini lebih memilih menyendiri. Ia memasang earphone dan memilih lagu dari Kunto Aji berjudul rehat. Bagi Rey, lagu ini sedikit menenangkan walau tidak langsung mengubah suasana.
"Rey! Ada yang nyariin," suara berat membuat Rey terpaksa menghentikan lagu yang sedang ia dengarkan.
"Siapa?" tanyanya heran.
"Ngga kenal. Ditunggu di depan kelas,"
Saat ini ruang kelas memang tidak ada kegiatan seperti biasanya karena guru mata pelajaran yang bersangkutan sedang berhalangan. Rey berjalan menemui orang yang mencarinya di depan ruang kelas.
"Reyhan?" tanya orang tersebut.
"Iya, saya sendiri. Anda siapa?"
"Ibu kamu tak sadarkan diri di jalan arah pasar. Sekarang berada di kediaman saya. Sebelum pingsan, beliau menceritakan tentang kamu, makanya saya kesini untuk memberi tahu," jelasnya
"Cepat bawa gua ke rumah lo!"
Rey berlari diikuti dengan perempuan itu, Namanya Desi. Ia merupakan putri dari guru mata pelajaran yang sedang berhalangan hadir di kelas Rey tadi.
Sesampainya di rumah Desi, Rey langsung meminta Desi untuk membuka pintu dan segera masuk. Desi berjalan menuju kamar tempat Ibu Rey berada.
"Mama!" teriak Rey.
"Ma. Disini ada Rey. Bangun, ma. Kita berbincang tentang kejamnya semesta lagi," ucapnya lagi.
Meski tak ada jawaban, Rey tetap berbicara di samping Ibunya yang berbaring lemah. Ia mengusap kening harta berharga satu-satunya sekarang.
"Tunggu, Rey. Ibumu hanya sedang penat," tutur Bu Putri, orang tua Desi yang juga guru Reyhan.
"Bu Putri?" tanya Rey. Ia mencium telapak tangan Bu Putri selayaknya murid dengan guru.
"Desi tadi antar Ibumu kesini. Jangan diganggu dulu, biarkan istirahat,"
Reyhan menceritakan semua hal yang terjadi pada dirinya dan Ibunya. Tidak diperlakukan manusia oleh manusia, menjadi alasan Reyhan sering merundung seseorang. Karena baginya, dengan seperti itu berarti impas.
"Masalah tidak seharusnya diselesaikan oleh masalah, Rey," terang Bu Putri.
Rey tersenyum. Ia memandang Ibunya yang masih berbaring.
"Tuhan tahu kapan manusia bahagia. Tapi manusia malah tidak membahagiakan Tuhannya,"
Reyhan kembali menjalani hidup rapuh bersama Ibu tanpa sosok Ayah. Rey kini menyibukkan diri dengan belajar dan menghabiskan waktu bersama harta satu-satunya; Ibu. Sudah memang semestinya, naskah Tuhan jauh lebih indah daripada tulisan di kertas ini.
BIODATA PENULIS
Nama Lengkap : Difa Felisa Heriah
TTL : Bogor, 18 Agustus 2004
Alamat : Bogor, Indonesia
Hubungi lebih lanjut : 089501020325
Akun Instagram : difafelisa_
Posting Komentar untuk "Ujung Sebuah Perundungan"