Setiap orang berhak menentukan cita-cita, seperti Shipa Marwiyah yang berharap mimpinya diterima keluarga. Mimpi gadis yang lahir 18 Agustus 2001 ini sederhana dapat meraih kesuksesan dalam bidang literasi dan memiliki restu dari keluarga untuk menekuni kegemarannya. Namun ada atau tidaknya dukungan, literasi telah mantap menjadi bagian dari kegemarannya.
“Guru saya di sekolah dasar pernah mengatakan bahwa bakat saya dalam bidang literasi sangat menonjol. Tapi, saya sendiri baru memahaminya di SMA,” ujar penyuka makanan pedas ini. “Banyak guru di SMA yang bilang bahwa saya harus mengasah kemampuan menulis, sayang katanya kalau diabaikan begitu saja,” lanjutnya lagi.
Di sekolah menengah atas, ia menyadari kemampuannya di bidang literasi. Teman-temannya juga mulai menerima kelebihannya dan menghargai karya-karyanya. Gadis kelahiran Bandung yang akrab disapa Shipa ini pernah mengerjakan tugas menulis cerpen dan drama hampir setengah dari jumlah murid di kelas.
“Awalnya hanya modal ikhlas, namanya juga teman. Tapi, mereka memberi uang untuk saya. Karena di paksa saya ambil dan akhirnya uang itu dikumpulkan. Lumayanlah kalau ada hal yang nyangkut bayar-membayar nggak ngerepotin orang tua. Senangnya pakai banget waktu ada guru yang mendengar cerita itu dari teman saya. Ia semakin gigih memberikan semangat,” ujarnya berseri-seri mengingat pertama kalinya menerima upah dari menulis cerpen dan drama untuk teman-temannya.
Tanpa Dukungan Keluarga
Ia mulai melanjutkan lagi ceritanya, wajahnya tidak sebahagia ketika mendapat upah dari menulis cerpen dan drama. Gadis yang sekarang tinggal di Garut ini berjuang di literasi tanpa dukungan keluarga. Profesi menulis sangat asing di lingkungan tempat tinggalnya. Mereka berpendapat bahwa menulis itu tidak menghasilkan.
“Jarang bahkan tidak ada yang memiliki cita-cita menjadi penulis di sini. Awalnya, saya putus asa dan sampai mikir benarkah saya bercita-cita sebagai penulis? Sementara saya hanya tahu profesinya saja tanpa tahu apa sebenarnya yang mereka kerjakan?”
Sampailah ia bertemu dengan sebuah komunitas literasi, Jaringan Penulis Indonesia yang dipimpin oleh Endik Koeswoyo. Berawal dari aktifitas di sosial media ia mulai penasaran mengenai penulis lepas. Ia bertanya dan beruntunglah banyak orang baik yang membantu dan memperkenalkan. Pada saat itu ia mengabaikan rasa segan, takut, juga malu Shipa meminta bergabung ke grup Jaringan Penulis Indonesia.
“Beruntunglah Om Endik mau membawa saya untuk bergabung di grup JPI. Perlahan-lahan saya mulai mengenal dunia literasi, seperti cara mengirim sinopsis FTV,” ungkap gadis yang suka melakukan perjalanan ke tempat objek wisata ini. Ia semakin tertarik ketika mendengar bahwa menulis dapat dilakukan dimana saja tanpa harus duduk di kantor dan menunggu jam pulang.
“Keren aja gitu! Meski hanya duduk di rumah tapi bisa menghasilkan. Saya pikir lumayan daripada kerja nggak, kuliah juga nggak. Jadi, nggak ada salahnya dicoba,” katanya penuh semangat.
Menulis Menggunakan Kertas Kosong
“Pernah kirim sinopsis FTV ke Om Endik tapi, lewat Whatsapp antara dua atau tiga kali gitu,” ujar Shipa sedih.
Ia menulis menggunakan kertas kosong dari cerpen, sinopsis, drama, sampai belajar menulis skenario. Semua tulisannya di kertas kosong, karena terkendala akses internet dan laptop. Awalnya, ia mengira jika tulisannya dapat dikirimkan melalui Whatsapp ke rumah produksi ternyata mereka hanya menerima tulisan lewat email dari aplikasi Microsoft Word.
Gadis yang suka makanan pedas ini semangatnya surut kembali. Di sekolah dulu ia merasa memiliki peluang dalam bidang literasi namun, keterbatasan membuatnya putus asa. Di lingkungannya sebagai penulis sangatlah asing. Shipa bertekad belajar literasi dengan tekun agar tidak selalu diremehkan.
“Buat menulis sinopsis FTV di kertas pun saya harus sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan. Soalnya kalau sampai ketahuan, mereka bisa marah dan dianggap kegiatan yang sia-sia,” kata anak dari Ibu Sumangsih dan Bapak Syarip Hidayatulloh ini.
Terkadang ia hampir menyerah terus menerus menulis di kertas kosong. Ada terbesit keinginan untuk memiliki laptop, juga kuota internet yang pas-pasan. Niat itu ia urungkan karena tidak ingin menjadi beban orangtuanya.
Pemikiran tradisional keluarganya melarangnya bekerja dan kuliah. Mereka berpikir bahwa perempuan tidak seharusnya kuliah, karena pada akhirnya akan terjun ke dapur. Sejak saat itu semua mimpi yang ditanam di bangku sekolah lenyap.
“Saya tidak bekerja yang memiliki penghasilan tetap setiap bulan. Saya juga tidak kuliah. Saya tak mau merepotkan mereka. Pengennya kerja, biar bisa belana sendiri. Tapi, mau gimana orangtua nggak mengizinkan,” katanya.
Ia berharap mungkin suatu saat nanti ketika sudah menikah dapat mengirimkan tulisan-tulisannya ke rumah produksi maupun media massa lainnya. Usianya yang baru saja menginjak 17 tahun membuatnya berpikir untuk segera menikah. Karena, ia berharap dengan menikah membuatnya menjadi lebih baik dan dapat mencapai mimpinya.
Suka Jalan-jalan
Selain menulis Shipa juga sangat suka jalan-jalan ke tempat objek wisata. Teman prianya yang dinobatkan sebagai calon suami itu memperkenalkan keindahan alam Indonesia. Gadis yang memiliki nama lengkap Shipa Marwiyah ini tadinya tidak suka jalan-jalan menurutnya hanya membuang waktu.
Shipa Ketika ke Papandayan Camping Ground, Garut
Berfoto di Kebun Mawar, Garut
Dayuh Manggung, Garut
“Suka ada cerita tersendiri kalau travelling. Jujur saja dulu saya anak rumahan yang kalau pulang sekolah sering malam dan otomatis gak ada waktu buat main, karena saya putri satu-satunya. Jadi saya selalu di larang ini itu. Demi kegiatan camping sekolah pun saya harus bela-belain nangis semalaman baru diizinkan,” ungkapnya bercerita panjang.
Ia bercerita bahwa teman jalan-jalannya ini adalah orang pertama yang meminta izin kepada orangtuanya untuk membawanya melihat objek wisata. Darinya ia mendapatkan banyak pengalaman jalan-jalan. Jalan-jalan itu dapat memberikan rasa nyaman, menyegarkan mata, sekaligus bisa menjadikan mediasi dari kejenuhan rutinitas kerja. Ditambah pula perjalanan yang ia dapatkan tidak memungut biaya.
Melukis dan Mengajar Membaca Kitab Suci Al Quran
Selain, gemar menulis dan jalan-jalan ternyata penyuka warna merah muda ini suka dengan grafity. Ia pernah mengikuti ekskul grafity. Ketika itu ia semangat mengikuti ekstrakurikuler grafity dan menjadi perempuan satu-satunya yang berminat melukis menggunakan cat semprot itu.
Ketika ditanya aktivitasnya setiap hari, ia menjawab dengan malu-malu. Setiap sore hari, gadis yang gemar menulis, jalan-jalan dan melukis ini mengajar anak-anak membaca kitab suci al quran. Ia membantu secara suka rela tanpa dipungut biaya.
Shipa Mengajar Membaca Al Quran
“Tetaplah menjadi dirimu sendiri meski kadang orang tak percaya dan selalu melecehkan kemampuanmu tetap semangat dan terus berjuang demi mewujudkan mimpi. Jangan hiraukan perkataan mereka hadapi dan bangkitlah! Karena kesuksesan kamu diraih oleh kemampuanmu sendiri tidak dengan cacian mereka. Buatlah mulut mereka tercengang ketika kamu sukses,” pesan Shipa kepada sahabat JPI. (puputyuhara)
Berikut profil Shipa Marwiyah:
Profil
Nama: Shipa MarwiyahTempat, Tanggal Lahir: Bandung, 18 Agustus 2001
Agama: Islam
Nama: Shipa MarwiyahTempat, Tanggal Lahir: Bandung, 18 Agustus 2001
Agama: Islam
Nama orangtua
Ibu : Imas Sumangsih
Ayah : Syarip Hidayatulloh
Makanan kesukaan : makanan yang
memiliki cita rasa pedas, keju, dan gegetuk.
memiliki cita rasa pedas, keju, dan gegetuk.
Minuman kesukaan : air kelapa muda, dan minuman cokelat
Hobi : menulis cerita, melukis, menonton film, dan travelling
Prestasi
Lomba Menulis Cerpen tema "Ibu" tingkat Sekolah
Lomba Menulis Puisi tingkat Sekolah
Lomba membaca Dongeng tingkat kecamatan
Lomba menulis cerpen tema "Go Green" tingkat sekolah
Lomba membuat film dokumenter tingkat sekolah
Pendidikan Formal
Tahun 2006 s.d 2012 SD Negeri Sindang Mekar 24
Tahun 2012 s.d 2015 Mts Muhammadiyah Bayubud
Tahun 2015 s.d 2018 SMA Muhammadiyah Wanaraja
Komunitas : Jaringan Penulis Indonesia
Akun Media Sosial
Instagram : @shipam
Facebook : Shipa Mahrez
Posting Komentar untuk "Shipa Marwiyah, Berharap agar Mimpinya diterima oleh Keluarga"