Mengejar Senja di Pulau
Borneo
Asep Syaifudin
Tengah
malam yang begitu dingin, sangat dingin dan dinginnya sampai menusuk
tulang-tulangku. Ibuku hanya berkata “hati-hati le, ibu pasti baik-baik saja
dirumah, jaga kesehatan disana, pergilah karena keinginanmu ada disana”.
Kupeluk erat ibuku, lalu aku mulai masuk mobil yang telah menungguku itu. Perlahan
mobil mulai melaju, sesekali aku menoleh kebelakang, semakin jauh dan jauh
wajah ibuku mulai tak terlihat. Air mata satu persatu mulai menetes, kenapa aku
menjadi cengeng seperti ini ? semakin aku menahan air mata, semakin banyak yang
mengalir, padahal ini bukan pertama kali aku merantau, tapi ini pertama kali
ibuku mengantarku pergi merantau tanpa ayahku. Ya Allah, jaga ibuku dirumah.
Ayahku pergi untuk selamanya enam bulan sebelum kepergianku merantau kali ini.
Sesak begitu sesak di dada, lalu tangisku ku samarkan dengan cara menutup
wajahku dengan topiku, malam itu.
Aku
merasa Tuhan tidak adil, bagaimana tidak ? Tuhan mengambil ayahku disaat aku
berhasil meraih mimpiku, untuk menjadi seorang guru. Tuhan mengambil ayahku
secepat kilat. Malam itu aku dan ayahku masih bercanda seperti biasa, esoknya
ayahku terjatuh dari tangga dan koma dua hari, dihari kedua ayahku pergi untuk
selamanya, tepat didepan aku dan ibuku. Dunia seperti berhenti saat itu, antara
sadar dan tak sadar, mimpi apa bukan mimpi, inilah kehilangan paling pahit
seumur hidupku. Aku tersadar jarak kita dengan ajal tidak lebih dari sejengkal.
Akupun tersadar inilah yang terbaik untuk ayahku dari Tuhanku. Terimakasih
ayah, hanya doa yang mampu aku kirim disetiap sujudku, meskipun sulit hidup
tanpamu, aku yakin bisa setangguh dirimu ayah. Engkau yang tak pernah mengeluh
merawat dan membesarkanku dengan ibu.
Perjalanan
Ngawi ke Surabaya yang bisa ditempuh dalam waktu kurang lebih lima jam, saat
itu terasa sangat lambat. Aku berusaha memejamkan mata agar tertidur, sempat
berhasil tapi hanya sebentar, sebentar aku terbangun dan kembali sedih karena
meninggalkan ibuku di kampung. Kesedihanku sekali lagi aku samarkan dengan
mengobrol dengan penumpang lain di mobil itu. Ibu-ibu berbaju pink itu terlihat
lelah saat mengobrol denganku, dan akupun memutuskan untuk memejamkan mata
kembali.
Dini
hari aku tiba di bandara Juanda, masih sangat terlalu pagi, aku lebih memilih
menunggu daripada terburu-buru check in,
pesawatku take off pukul 07.30 WIB. Waktu
menunjukkan pukul 05.00 WIB, dan aku bergegas menuju mushola di bandara ini.
Selesai sholat aku kembali duduk untuk membunuh waktu, sembari membuka bekal
dari ibuku, makanan ringan kesukaanku. Perut terasa penuh walaupun hanya makan
sebungkus snack dan sebotol kecil air
mineral. Telepon genggamku berbunyi, tanda ada pesan whatsapp masuk, benar pesan itu pesan dari temanku, teman yang ingin
pergi merantau juga ke daerah yang sama, pesan singkat itu berisi bahwa dia akan
segera tiba dibandara.
Satu
persatu temanku datang juga di bandara, ada Cristin yang diantar oleh suami dan
keluarga besarnya. Cristin anak yatim piatu, dia sudah menikah, jadi keluarga
dari suaminyalah yang mengantarkan kepergiannya. Beberapa kali saya yang
menjadi tukang foto keluarga Cristin, cukup ramai keponakannya juga banyak yang
mengantar, bahagia sekali rasanya menjadi Cristin saat itu. Temanku Dewi datang
juga, dia diantar suami dan anaknya, bahkan diantar sampai daerah penugasannya
nanti. Beda lagi dengan Nurma, keluarga Nurma tidak kalah ramai dengan keluarga
Cristin, Nurma masih single, bapak,
ibu, adiknya beserta tante dan omnya hampir memenuhi bandara, aku juga ikut
senang melihat keluarga temanku yang banyak dan akupun menjadi tukang foto
lagi.
Rasa
sedih sudah tidak kubutuhkan lagi untuk berangkat merantau, rasanya sudah
terlalu banyak aku makan, mulai perjalanan dari Ngawi sampai ke Surabaya ini.
Berusaha menguatkan diri, berusaha menahan air mata, walaupun terkadang air
mata yang nakal, tetap saja jatuh butir demi butir. Air mata kusamarkan dengan
cara mengelap keringat di dahiku lalu mengelap ke mataku. Aku tak mau Cristin,
Dewi dan Nurma melihat aku menangis !
Beberapa
kali pesan whatsapp masuk, kali ini
dari teman kerjaku dulu, yang sekarang merantau di Surabaya. Saya pikir dia
bercanda, ingin menemui saya di bandara, ternyata benar dia sudah berada di
bandara. Dia memang sudah ada di bandara, tetapi dia masuk di terminal keberangkatan
internasional, parah memang, terkesan konyol juga, aku hanya senyum dan memaki
dia di whatsapp. Selepas itu aku
putuskan untuk segera check in dengan
temanku. Selesai check in, temanku
itu whatsapp kembali, dia bilang sudah ada di depan pintu keberangkatan
domestik. Mau tidak mau saya keluar lagi untuk menemui bocah ini, teman kerja
yang kocak yang sama-sama memilih resign
dari karyawan Bank lalu memilih pekerjaan apa yang kita sukai.
Kalau
difilmkan mungkin adeganku dengan sahabatku lebih haru daripada film “ada apa
dengan cinta”. Seoarang sahabat yang mengantar sahabatnya merantau, sempat
salah terminal dan akhirnya bertemu juga. Aku masih ingat apa yang dia bilang,
“ yakin bro kamu merantau, Kalimantan itu jauh,”. Rasanya ingin saya pukul dan
tending dia saat itu, dipikir main-main saya merantau, saya hanya tersenyum, “
yakinlah kan hidup itu harus punya pilihan, buat apa kita resign kalau kita tidak
yakin”, kataku saat itu. Obrolan itu berakhir dengan foto selfi, buat kenang-kenangan kalau ada sahabat yang peduli saat
kepergianku ke pulau Borneo. Sebelum hari itu, sahabat-sahabat baikku juga
datang kerumah, pesan mereka sederhana, “merantaulah jika itu sudah tujuanmu,
tapi jangan lupa pulang, kami disini masih sahabatmu”.
Di
dalam pesawat kusibukkan dengan membaca apapun itu, untuk membunuh waktu lagi
biar terkesan cepat. Satu kali transit
di Pontianak, sebelum ke kota Ketapang, sempat delay juga saat menuju kota Ketapang, kota penempatanku bertugas.
Akhirnya sampai juga di Ketapang,
Kalimantan Barat, segera aku menghubungi ibuku dan menyampaikan bahwa
aku sudah sampai di Kalimantan. Kami dijemput oleh panitia dan menuju
penginapan di kota Ketapang. Beberapa hari di kota untuk mengurus berkas, dan
tibalah saatnya kami menuju daerah tugas.
Lima
jam perjalanan menuju tempat tugas, samping kanan kiri hanyalah hamparan hutan
sawit, cuaca panas jangan ditanya lagi. Penempatan yang jauh dari hingar bingar
perkotaan, jauh dari lampu-lampu kota yang warna-warni. Hari pertama kami
disebar lagi menuju sekolah masing-masing. Malamnya aku menginap di rumah
kepala sekolahku, sangat baik walaupun kami berbeda suku. Hari kedua aku sudah
menempati rumah dinas yang disediakan sekolah untukku. Cukup beruntung aku
mendapatkan rumah dinas, sedangkan temanku Cristin dan Nurma masih tinggal
bersama kepala sekolahnya.
Rumah
dinasku yang menghadap ke barat, jika sore senja nampak sangat indah, sangat
sempurna menurut pandanganku. Rasa rindu pada ibu dan ayahku sering masuk tanpa
permisi, disaat aku menikmati indahnya senja di pulau Borneo. Disini mimpiku,
disini cita-citaku terwujud, meskipun tanpa ada ayah lagi, aku yakin ayahku
juga tersenyum melihatku, menikmati senja di sore itu.
Posting Komentar untuk "Mengejar Senja di Pulau Borneo Oleh : Asep Syaifudin"