Pergi





He just there and then he left

Saya duduk di salah satu kursi di dalam kafe yang menghadap kaca lebar, menembus langsung ke trotoar dan jalan raya.  Beberapa hal tidak berubah, kafe ini misalnya. Cokelat di sini masih tetap sama, kemanisan, juga masih banyak pelanggan. Suasananya yang syahdu dan pilihan musiknya tidak berubah John Legend dan lagu-lagu lawas Indonesia. Kali ini, lagu Padi menjadi pilihannya.
 
Pancake dengan gula merah, atau bisa disebut kue serabi, berada di meja depan saya. Masih mengeluarkan asap dan aroma arang. Dulu, di sini kami pernah  bertemu. Pertama kali dan langsung jatuh cinta kepada satu sama lain. Saya merasa kalau kami memang ditakdirkan. Dia mengatakan hal yang sama ketika mengecup bibir saya malam itu.
 
Atau mungkin tidak.

Saya tidak tahu. Yang jelas, hari ini di dalam kafe ini, saya sedang menunggu dia. Setelah menghilang selama 3 bulan, dia akhirnya menelepon dan mengajak bertemu di tempat yang sama saat manik mata kita saling menangkap satu sama lain. Saya setuju.

Saya tidak ingin marah-marah karena dia menghilang 3 bulan. Saya hanya butuh tahu alasannya dan bagaimana dia hidup di 3 bulan terakhir ini. 3 bulan ini saya seperti robot otomatis yang hanya menjalani rutinitas yang sama. Berputar pada kegiatan yang sama dengan perasaan hampa yang sama. Saya tidak memiliki percikan-percikan api di dalam sini.

Saya ingin tahu apakah dia merasakan hal yang sama.

Saya hanya ingin bertemu dia.

Buku di depan saya tertutup, bersamaan dengan sebuah pintu kafe yang terbuka. Dia masuk dan berjalan menuju ke sini dan duduk di sebelah saya, mengamati dalam diam. Saya melirik dari sudut mata. Tampaknya tidak ada yang berubah di sana. Fitur jidat, mata, tulang pipi dan hidung ..., semua masih berada di tempatnya dan masih sama. Hanya kulitnya agak sedikit menggelap. Tapi dia masih orang yang sama.

Rasa rindu itu membuncah dan bergejolak riuh di dalam sini. Rona kebahagiaan di wajahnya sekaligus pancaran rindu dan rasa bersalah di matanya menjadi satu. Saya tidak tahu kenapa wajahnya begitu serius dengan perasaan seperti itu.

Mendadak saya menjadi lebih jeli dan teliti terhadap sekitar.

Suara langkah orang lalu lalang di dalam kafe. Mesin kopi yang berdengung. Robekan sticky note pesanan pelanggan. Gawai yang berdering dari balik meja bar. Jam yang berdetak setiap detiknya. Dan manusia-manusia yang lalu lalang di trotoar di ujung jalan sana sambil menggenggam gelas plastik besar berisi es kopi.

“Bagaimana kabarmu?”

Suara rendah itu terdengar berkali-kali lebih berat dari sebelumnya. Saya memaksakan sebuah senyum.

“Tidak pernah sebaik ini. Kau?”

“Tidak pernah seburuk ini,” dia membuang muka ke balik dinding kaca.

Seseorang di balik meja bar meneriakkan namanya. Dia berdiri dengan perasaan gelisah yang sama, kemudian berjalan dengan terburu-buru.

Tidak lama dia kembali dengan segelas kopi di tangan.

“Kau orang yang baik.”

Jika seseorang mengatakan bahwa kau adalah orang baik, artinya adalah kau bukan orang baik, paling tidak bagi dirinya sendiri. Mereka menggunakan semacam psikologi terbalik untuk menipu. Menipu orang-orang atau dirinya sendiri. Atau mungkin menggunakan semacam bius untuk menjadi tameng dari rasa sakit yang akan terasa selanjutnya.

Saya tidak pernah suka kata-kata manis seperti itu, tapi saya hanya diam dan menyesap cokelat kemanisan ini perlahan-lahan. Dia berdecak.

“Kau memerlukan espresso sesekali.”

“Atau kopi tubruk tanpa gula.”

“Benar. Cokelat tidak banyak membantu untuk merasakan rasa kehidupan.”

“Kopi juga begitu. Tahu tidak, apa yang benar-benar membantu untuk merasai kehidupan ini?”

Dia diam, menatap saya sambil mengangkat alis penuh tanya.

“Cinta,” saya tertawa terbahak-bahak.

Saya merasa seperti terlempar pada masa dimana Kakek dan Nenek saya ditemukan mati dengan leher tergorok dua puluh tahun lalu. Hati saya terasa kebas tidak keruan, tapi saya tidak sedih. Hanya tidak tahu untuk melakukan apa, menangis pun rasanya tidak benar karena saya tidak ingin menangis. Saat itu yang saya lakukan hanya tertawa dan terus tertawa tanpa berhenti sampai air mata ini menyerah dan keluar. Kemudian saya meraung-raung sambil melihat semua luka yang menganga itu.
Seperti hari ini.

Dia betul-betul memberi saya obat bius yang kuat. Saya perlu tertawa dengan keras hingga menangis. Dia hanya menunggu di sebelah saya. Matanya memandang jalan raya dengan hampa.

“Cinta itu,” kata saya, “Adalah hal paling pahit yang pernah ada di dunia.”

Dan saya tertawa lagi. Lagi dan lagi sampai setetes air mata keluar dari tempatnya. Apakah itu air mata kesedihan?

“Dari mana kau tahu?”

“Pergilah,” kata saya, “Saya tidak mau mendengar mulut kotormu membicarakannya.”

“Saya tanya, dari mana kau tahu? Siapa yang memberitahumu?”

“Udara.”

Saya menjentikkan jari ke depan bahu.

“Kau hanya perlu pergi, Laki-laki Baik. Saya muak denganmu.”

Dia hanya berdiam diri di sebelah saya beberapa lama sambil memandangi orang yang lalu lalang di balik dinding kaca. Sebuah bus dengan gambar seorang aktor ternama lewat dan orang-orang di halte itu hilang seiring dengan berlalu nya bus itu. Lampu merah berganti, dan mobil berwarna kuning pisang yang tampak lelah berjalan, dipaksa pemiliknya untuk cepat-cepat sampai kantor yang jam makan siangnya sudah berakhir. Sebelum akhirnya mesinnya terkentut-kentut dan mati di perempatan jalan sana.

Menunggu waktu untuk di tabrak truk minyak dari arah barat.

Ketika suara duum! besar seperti ledakan bom itu berbunyi, dia masih duduk di sebelah saya, memerhatikan mobil tua yang hancur, percikan api yang muncul dari tabrakan itu dan orang-orang yang berlari menjauh, takut kalau-kalau minyak-minyak itu akan meledak dengan dahsyat.

Tidak lama saya tertawa. Takdir ini lucu, saya butuh menangis sekarang. Kenapa pula disuguhi pemandangan lucu seperti itu?

Dia memandang saya dengan ngeri, lalu berdiri diam-diam dan pergi. Tanpa menoleh sama sekali.
Saya tidak keberatan. Saya juga tidak menoleh kepada dia dan terus tertawa sampai saya tersedu. Orang-orang di dalam kafe bingung, haruskah melihat kecelakaan itu atau saya, lalu memilih mengabaikan keduanya.

Dan saya masih menangis. Bahu saya tergoncang naik dan turun dengan hebat.

Laki-laki baik itu lewat di trotoar depan saya. Menggandeng istrinya yang ia nikahi 3 bulan lalu.

Asahan, 25 Februari 2018

Posting Komentar untuk "Pergi"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress