CERPEN : "Mati..." By: EincaSarii

Mati....
By: EincaSarii
“Berhentilah memikirkannya, dia sudah dipinang orang lain.”

Kata-kata itu terus menggema di kepalaku. Menerjang jaringan otakku. Hingga nyaris mematikan syaraf-syarafku. Aku tahu! Bahkan kertas undangannya masih kupegang erat di tanganku. Sangat erat. Hingga kertas undangan itu remuk.

Demi Tuhan, aku benci setiap kali Ranu—teman baikku—mengulang-ulang kalimat tersebut. Kadang malah terselip tawa mengejek yang membuat kesalku semakin memuncak. Seperti sekarang misalnya. Ranu asyik tertwa dan merebut undangan yang kupegang.

“Lihat ini. Lia dan Doni. Yang akad nikah akan diselenggarakan pada tanggal 26 Desember, 2014.” Ranu menatapku dengan tawa mengejek. “Tiga hari lagi, Rio. Kamu sudah tak memiliki kesempatan lagi. Dia akan menjadi istri orang. Sepupumu sendiri.” Ranu menekankan kata istri dan sepupu, tajam.

Bah! Aku tahu itu. Tapi kesempatanku masih terbuka sebelum ijab qobul itu berlangsung kan? Tiga hari. Aku rasa aku masih bisa mengubah dunia. Aku tahu, bukan kemauan Lia untuk menerima pinangan Doni. Gadis itu menyukaiku. Aku yakin itu. Dan Doni, dia hanyalah sepupu tak tahu diri yang tega merebut kekasih hati sepupu kandungnya sendiri.

“Aku pergi dulu,” kuucapkan kalimat itu sambil beranjak meninggalkan Ranu dan kamarku. Tak kuhiraukan teriakan Ranu yang berusaha menahan langkahku. Ada yang harus kuurus. Dan aku, harus bergegas.


***


“Maaf.”

Hanya kata-kata itu yang keluar dari bibir mungil Lia, saat aku menuntut penjelasan tentang kabar pernikahannya.

Maaf? Bukan maaf yang sekarang kubutuhkan! Aku butuh penjelasan. Dan gadis ini, sama sekali tak memberi apa yang aku inginkan. Selain kata maaf, yang itu tak menjawab apapun.

“Kenapa Doni?” tanyaku kemudian.

“Dia pilihan orang tuaku,” jawabnya lirih.

“Lalu bagaimana dengan aku?” tuntutku lagi. “Tidakkah kamu memikirkan aku, saat kamu menerima pinangan itu?”

“Bukan aku yang menerimanya, Kak. Bukan aku. Tapi kedua orang tuaku.” Untuk pertama kalinya sejak percakapan itu berlangsung, Lia menatap mataku. Hingga aku bisa melihat jelas matanya yang kini mulai memerah. “Orang tuaku lebih menyukai Kak Doni, daripada kamu,” lanjutnya.

Aku terdiam. Kuatur napasku yang mulai memburu lantaran sesak yang kini merajam. “Batalkan pernikahan itu!” pintaku tanpa tedeng aling-aling.

Lia terperanjat. Matanya membulat. Bening yang sejak tadi ditahannya, kini perlahan turun dan membanjiri kedua belah pipinya. Pelan, Lia menggelengkan kepala, lalu berjalan mundur hingga jarak semakin tercipta antara aku dan gadis berkerudung cokelat itu.

“Aku tidak bisa. Maaf.” Dan dengan dua kalimat singkat itu, Lia berlalu dan benar-benar berlari meninggalkanku dalam kemarahan yang membuncah.

Demi Tuhan! Aku tak akan pernah mengizinkan dirimu bahagia dengan lelaki lain, Lia. Aku tak akan pernah membiarkanmu menikah dengan lelaki lain. Tidak ada yang boleh memilikimu selain aku. Dan jika aku tak bisa memilikimu, maka semua yang ada di bawah langit itu, juga tak boleh memilikimu.

Aku tak tahu setan apa yang kini menguasai otakku, yang aku tahu, aku menginginkan sebuah kebinasaan. Kebinasaan atas raga yang tak mungkin kurengkuh.


***


Mati.

Aku benci kata itu. Satu kata itu bergaung di kepalaku. Nyaring. Lantang. Sungguh, aku menyesal telah mengucapkan kata itu. Aku menyesal karena satu kata itu, aku benar-benar kehilangan Lia untuk selamanya.

Tak kusangka, pertemuan dengan Lia siang itu, adalah pertemuan terakhirku dengannya. Berita yang kudengar saat sore harinya, benar-benar bagai rangkaian mimpi buruk yang semakin mencekikku.

Bukan ini yang kuinginkan. Bukan. Aku bahkan tak sanggup untuk datang dan melihat jasad terakhir Lia, sebelum gadis itu dikebumikan di dalam rumah abadinya. Pun hingga seminggu kematiannya, aku tetap tak berani mengunjungi pusaranya. Aku terlalu takut dan aku merasa bersalah.

“Yo, kamu dengar tidak desas desus yang beredar di desa ini sekarang?” tanya Ranu, saat sore itu dia datang bertandang ke rumahku.

Aku menggeleng. Bukan hobiku mendengarkan desas desus yang beredar di masyarakat.

“Kamu mau dengar nggak?” tanyanya lagi, kali ini dengan wajah yang sangat serius.

Aku menggeleng lagi. Tapi Ranu tetap melanjutkan ceritanya, tanpa peduli aku mau mendengar atau tidak.

“Warga bilang, Lia jadi arwah penasaran. Sering terdengar tangisan Lia di kamarnya,” ucap Ranu. “Bahkan, Pak Nardi pernah mendengar tangis Lia, saat dia lewat di depan makam Lia,” lanjutnya.

Aku tertawa sinis. Lia menjadi arwah penasaran? Gadis alim dan rajin beribadah seperti itu, mana mungkin jadi hantu. Sungguh bodoh warga desa ini.

“Adiknya Lia, Eka, pernah dengar tangisan Lia yang menyebut namamu, waktu dia mau merapikan kamar almarhumah Lia.” Ranu kembali bercerita. Dan kali ini, dia berhasil membuatku terperanjat.

“Jangan menyebar gosip murahan!” sentakku kesal. Aku tak suka gadis yang kucintai menjadi gunjingan.

Ranu mengangkat bahu, “Kamu boleh tak percaya. Tapi begitulah kabar yang kudengar,” ucapnya. “Lagian, kenapa kamu tidak juga mengunjungi makam Lia? Mungkin dia....”

Kata-kata Ranu tak lagi kudengar. Aku sudah mengayunkan langkah cepat bahkan sebelum kalimat mengunjungi makam Lia, keluar dari mulutnya. Aku tak tahan mendengar desas desus murahan itu. Dan aku harus mencari tahu sendiri


***


Hantu? Arwah penasaran?

Aku ingin menendang orang berani mati yang menyebarkan desas desus murahan itu. Sudah satu jam lebih aku duduk di depan makam Lia, tapi tak sekalipun kudengar tangis seperti yang Ranu ceritakan. Yang ada hanyalah desau angin yang bertiup cukup kencang, dan bunyi kodok-kodok yang bermain di rawa-rawa yang letaknya tak jauh dari pusara Lia.

“Lia,” lirih nama itu kusebutkan. Tanganku terulur menyentuh gundukan tanah kuning yang masih menyisakan taburan bunga kering di atasnya. Pilu. Harusnya aku mengunjungi makam ini lebih cepat. “Maaf,” hanya kata itu yang sanggup kuucap.

Bening hangat air mataku, perlahan turun. Aku tahu aku bersalah. Aku menginginkan kematian gadis yang kucintai. Aku terlalu egois. Dan aku terlalu penakut untuk datang dan menghaturkan doa untuknya. Aku benar-benar bersalah. Sangat bersalah.

“Maafkan aku,” ucapku lagi. “Maafkan aku yang baru datang sekarang. Aku menyesal.” Tergugu, aku mulai terisak dengan tangan yang menggenggam erat tanah pusara Lia. “Maafkan aku Lia.” Dan aku tak bisa mengucapkan apa-apa lagi. Lidahku kelu. Hanya isakku yang kini terdengar memenuhi area makam yang sunyi dan mulai menggelap.

Syuutt....

Angin kencang tiba-tiba bertiup sendu tepat di depan wajahku. Isakku terhenti. Sebuah bunga kamboja jatuh tepat di pangkuanku. Apa ini? Pikirku bingung. Kupungut bunga itu. lama aku terdiam dan hanya memandanginya, namun sesaat kemudian aku tersadar. Lia telah memafkanku. Aku yakin itu.

Perlahan, isakku benar-benar menghilang. Senyum lebar kini tersungging sebagai gantinya. “Terima kasih,” ucapku lembut sambil meletakan bunga kamboja itu, di dekat papan nisan yang bertuliskan namanya. Kemudian, kuputuskan untuk memanjatkan doa yang kutahu. Aku ingin kekasihku bahagia di taman nirwana. Bersama cahaya Tuhan yang kuyakin menyertainya. Seperti bidadari.


Setelah tinggal beberapa saat di bawah langit lembut sambil memandang ngengat mengepak-ngepakkan sayap di antara rawa-rawa dan bunga harebells berwarna biru, kupasang telingaku untuk mendengarkan angin sepoi yang berembus di antara rerumputan. Sementara benakku berpikir, bagaimana mungkin orang-orang dapat membayangkan bahwa mereka yang terbaring di kedalaman tanah yang tenang ini berkeliaran sebagai roh-roh yang gelisah.

***
Profil Penulis:
Einca Sarii, gadis mungil yang biasa dipanggil Eca oleh teman-temannya ini, sudah hobi menulis sejak kecil. sudah banyak tulisan yang ia buat, akan tetapi hanya menjadi konsumsi pribadi teman-teman dekatnya saja. Sempat vakum menulis beberapa tahun, namun sekarang mulai aktif kembali. Baru saja aktif kembali di dunia blogger berkat dorongan teman-temannya. Untuk lebih mengenal gadis Bengkulu ini, bisa intip twitternya @eincasarii dan jika ingin mengintip beberapa tulisannya, bisa dikepoin di eincasarii.blogspot.com.


***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan ISI FORMULIRNYA DISINI 

4 komentar untuk "CERPEN : "Mati..." By: EincaSarii"

Unknown 26 Desember 2014 pukul 14.42 Hapus Komentar
keren. link balik men -> rakhmadriyadi.blogspot.com
Unknown 25 Maret 2015 pukul 21.40 Hapus Komentar
Horor nan santun :)
Unknown 4 Oktober 2015 pukul 15.31 Hapus Komentar
sipp
Amanji Kefron 29 Juni 2016 pukul 06.19 Hapus Komentar
Cerita ini mematikan syaraf anda
www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress