MENGEJAR CINTA DEDE
Oleh : Devi Eka
“Dasar cowok suka tebar
pesona!”
“Biarin! Asal nggak tebar ketombe
kayak kamu!”
Cowok itu tersenyum penuh kemenangan
ke arah cewek itu. Tanpa menunggu lama, cewek itu sudah menghilang dari hadapannya.
* * *
“Lucu juga ya dia, kalau
diperhatiin…” gumam Rere lirih. Berbicara pada dirinya sendiri.
“Cieee… Lagi ngeliatin siapa, nih?
Asyik bener?”
Suara Nana mengagetkan Rere. Dia
mendongak ketika Nana meletakkan tas sekolahnya di samping kursinya. “Eh, kamu,
Na… Tumben nih, datangnya pagian? Biasanya kalau jam pelajaran kurang 10 menit
baru datang,” sahut Rere berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Iya nih… Ayam jagonya udah sehat,
jadi bisa berkokok lagi,” timpal Nana sekenanya. Yang dimaksud ayam jago oleh
Nana itu adalah ayahnya. Ayahnya memang suka bangun lebih pagi daripada ibu dan
dirinya. Beliau-lah yang selalu membangunkannya. Dan Nana tak suka dengan sikap
ayahnya yang selalu membangunkan pukul lima pagi, karena menurutnya itu masih
terlalu pagi, masih enak untuk berjalan-jalan di pulau kapuk.
“Lagi ngeliatin siapa sih?” tanya
Nana lagi. Dia baru sadar bila pertanyaannya itu belum dijawab oleh temannya
itu. Yang ditanya hanya diam, duduk
menopang dagu, menatap ke depan, seperti sapi ompong. Nana mengikuti arah mata
Rere. Lantas tersenyum penuh arti.
“Oh… Ngeliatin Dede? Pantes, kutanya
nggak jawab…” ujar Nana pura-pura sebal.
“Eh… Oh… Kamu tanya apa, Na?” sahut
Rere tergagap. Kepalanya menoleh ke arah Nana.
“Kalau suka, nyatain aja, Re…” Nana
mengerlingkan matanya pada Rere. Pipi Rere merona karena malu.
Dede, teman sekelas Rere dan Nana yang disukai Rere
sejak kelas 1 SMA hingga dia kelas 3 SMA sekarang, namun dia belum berani
menyatakannya. Malu, begitu katanya. Harusnya Dede yang nembak aku, begitu
ungkapnya waktu itu.
Nana, teman Rere dari SMP, tahu benar tentang Rere.
Rere yang cantik namun pemalu, juga pendiam bila belum mengenal dekat orang
yang diajak bicara itu, diam-diam menyukai Dede. Rere selalu berharap Dede
menyatakan cintanya padanya. Tapi permasalahannya, Dede itu juga pemalu, juga
pendiam, bila tidak diajak bicara terlebih dahulu. Kompak deh, Rere dan Dede… batin Nana.
*
* *
“Hai, De… Lagi apa? Ke kantin, yuk?”
Dede yang sedang duduk, lantas
menoleh ke arah sumber suara. Cici, teman sekelasnya itu tengah tersenyum
menatapnya
“Eh kamu, Ci. Emm… ke kantin ya?
Boleh deh.” Dede tersenyum ke arah Cici. “Roy, mau nitip nggak? Mau ke kantin,
nih,,,” ucapnya seraya mengalihkan pandangannya ke arah Roy, yang sedang asyik
menyalin catatan pelajaran Dede, karena kemarin dia tidak masuk sekolah.
“Aku nitip minuman yang 100 juta itu
aja deh, ya? Siapa tahu, aku beneran dapet 100 juta kayak iklannya. Lumayan
tuh, bisa buat nambal otakku yang mulai jebol gara-gara pelajaran yang bikin
aku pusing,” sahut Roy. Dia memamerkan deretan giginya yang putih ke arah Dede.
“Hahaha… Kamu ada-ada aja, Roy…!
Mana duit kamu?” tukas Dede. Dia menelentangkan tangan layaknya pengemis di
jalanan ke arah Roy.
“Pake duit kamu dulu, deh. Ntar
kalau aku dapet 100 juta, kubayar! Tenang aja, De!” Roy tertawa menyeringai.
Tangannya menepuk-nepuk bahu temannya itu. Yang ditepuk pura-pura mendengus
sebal, namun sedetik kemudian, Dede ikut tertawa.
Dede dan Cici lantas meninggalkan Roy menuju kantin.
Tanpa dia tahu, ada sepasang mata yang mengamati gerak-gerik mereka dengan mata
cemburu. “Akrab sekali mereka. Padahal, dia baru setahun sekelas dengan Dede,”
gumam pemilik mata itu.
* * *
“Kalian Bapak bagi menjadi
beberapa kelompok belajar untuk meningkatkan kualitas belajar kalian, karena sebentar
lagi Ujian Nasional sudah di depan mata,” ucap Pak Wahyu, wali kelas Rere.
Semua murid diam, mendengarkan dengan seksama.
“Kelompok pertama, ada Cici,
Dede, Nana, Rere, dan Roy. Kelompok kedua, ada Della, Desta, Fira, Rino, dan
Toni. Kelompok ketiga, ada….” Pak Wahyu masih membacakan daftar nama-nama
kelompok belajar di depan kelas.
“Dede, sekelompok denganku?”
gumam Rere lirih. Betapa senangnya dia. Tak disangka, bila Dede bisa satu
kelompok dengannya.
“Ehem… Ehem… Yang lagi bahagia…”
Nana berdehem pelan. Melirik ke arah
Rere.
“Apaan sih, Na! Sssttt…!” Rere
mengacungkan jari telunjuk kanannya ke dekat mulutnya, memberi isyarat pada
Nana untuk diam, meski hanya pura-pura.
“Kamu lagi dilirik ma pangeran
tanpa kudamu, tuh!” Nana memberi isyarat dengan matanya pada Rere. Rere
mengikuti arah mata Nana. Dilihatnya, Dede sedang menatapnya. Deg! Jantung Rere seperti mau berlari
meninggalkan tempatnya saat tatapan Dede berserobok dengan matanya. Buru-buru,
Rere menunduk. Tak mau terlihat memalukan. Menjaga image.
* * *
Sejak pembagian kelompok belajar
itu, Rere jadi sering bertemu dengan Dede—jadi dia bisa berlama-lama menatap
Dede diam-diam. Mereka melakukan belajar kelompok berganti-gantian tempat.
Kadang di rumah Rere, kadang di rumah Nana.
Hari Minggu ini, kelompok pertama
yang dipimpin oleh Cici; karena dia yang mendaftarkan dirinya sendiri sebagai
ketua, dan mengaku paling pintar, mengajak anggotanya belajar di pantai.
Alasannya supaya santai sambil menikmati angin sepoi-sepoi, meski alasan sebenarnya
itu untuk menikmati cintanya yang sepoi-sepoi bersama Dede. Namun, ditolak oleh
Dede, karena menurutnya itu terlalu jauh dan boros. Dede mengusulkan untuk
belajar di Taman Pintar, supaya bisa pintar seperti nama taman itu; Taman
Pintar.
Akhirnya diputuskan untuk belajar
di Taman Pintar; taman bermain sekaligus edukasi yang letaknya dekat dengan
Malioboro, di kawasan Benteng Vredeburg. Semua anggota bisa datang
sendiri-sendiri, karena rumah mereka tidak begitu jauh dari Taman Pintar.
Setelah semua berkumpul, mereka
sepakat belajar di dekat air mancur
pertama kali masuk, yang terdapat kursi-kursi dengan meja bundar di
tengahnya. Jadi, mereka duduk melingkari meja bundar itu, seperti Konferensi
Meja Bundar.
Awalnya, mereka semangat belajar.
Tetapi, demi dilihatnya banyak orang yang berkunjung ke taman itu, mereka
berhenti belajar sejenak.
“Temen-temen, kita berhenti
sebentar ya, belajarnya? Istirahat dulu,” tukas Cici. Dia meregangkan
tangannya.
“Kita maen Jujur Berani, yuk?”
ajak Roy.
“Apa itu?” tanya Nana heran.
Keningnya berkerut.
“Permainan yang mengharuskan
orang yang bermain lebih memilih jujur atau berani. Kalau milih jujur, berarti
dia harus menjawab dengan jujur pertanyaan yang dilontarkan oleh temannya.
Kalau milih berani, berarti dia harus berani melakukan hal yang disuruh oleh
temannya. Gimana?”
Mereka berpikir keras. Hingga
terdengar suara. ”Boleh deh,” sahut Rere dan Dede bersamaan. Mereka saling
pandang. Dua detik kemudian, mereka tertawa. Rere tertawa sambil menahan malu.
“Diganti aja judulnya, jadi
Berani Jujur, gimana? Jadi cuma jujur-jujuran aja. Gak usah pake tantangan.
Biar nggak ribet,” tandas Cici. Dia melihat raut muka teman-temannya. Semua
tampak menganggukkan kepala, tanda setuju.
Permainan dimulai. Karena tidak
mempunyai sesuatu yang bisa diputar; untuk menentukan siapa yang terlebih
dahulu mulai, akhirnya mereka memilih berurutan, dimulai dari Cici.
“Menurut kamu, De. Aku ini
orangnya bagaimana?” Cici melemparkan pertanyaannya pada Dede. Dia melirik ke
arah Dede yang duduk di sampingnya.
“Kamu itu cantik, baik, ma
pintar,” sahut Dede seraya tersenyum ke arah Cici. Cici tersipu mendengar
pengakuan Dede. Berarti, sekarang giliran Dede. Setelah menjawab, dia wajib
melontarkan pertanyaan.
“Tipe cowok yang baik, menurut
kamu yang bagaimana, Re?” Dede menoleh ke arah Rere.
Yang ditoleh kaget. Dia belum
siap untuk menjawab. Setelah berpikir sekitar satu menit, Rere menyahut,”
Menurutku, cowok yang baik itu, yang mengerti ceweknya. Mengerti saat si cewek
sedang sedih, bahagia, atau cemburu. Karena, sangat sulit menemukan cowok yang
bisa mengerti seorang cewek, meski dia adalah seorang detektif!” seru Rere
menggebu-gebu.
“Ehem! Ada yang curhat nih!” Nana
berdehem sambil melirik ke arah Rere. Senyumnya tersembul. Namun, yang dilirik
tak bereaksi apa-apa.
* * *
Setiap hari, Rere selalu berusaha
mendapatkan perhatian dari Dede. Kadang pura-pura kesandung di depan Dede—namun
ternyata Dede tak melihatnya. Pernah, Rere membawakan bekal makanan untuk Dede,
namun rupanya dia terlambat memberikan bekalnya itu, karena sudah ada Cici yang
membawakan bekal untuk Dede. Akhirnya, dimakan sendiri bekal yang dibawanya
itu. Pernah juga, pinjem pulpen Dede, pura-pura lupa balikin, karena niatnya
ingin disapa Dede. Namun, hingga sekarang, Dede tak mengingatkan tentang pulpen
itu. Rasanya Rere ingin pergi ke dukun kalau dia sudah tak punya akal pikiran
lagi!
“Ngarep dan berakhir jadian itu asyik. Tapi
kalau ngarep, berakhir nggak jadian-jadian, itu sakit!” pekik Rere frustasi.
Saat ini, dia sedang berada di rumah Nana. Pulang awal, karena para guru sedang
meeting. Segala usaha telah
dilakukannya untuk mendapatkan cinta Dede, namun nihil. Dia membanting bantal
dan guling Nana ke sudut pintu kamar Nana dengan PD-nya. Dia juga ingin
membanting kaca, namun tak jadi, karena kacanya menempel pada lemari. Berat
jika harus mengangkat lemari yang besarnya melebihi dirinya. Berutung, orang
tua Nana sedang bekerja, jadi tidak ada di rumah.
“Woy...! Sabar, Bu! Ini tuh,
kamarnya siapa, yang marah-marah siapa???” Nana heran dengan sikap temannya itu
bila sedang frustasi. Bisa mengobrak-abrik jagad raya.
“Aku tuh suka ma Dede, Na! Kenapa
dia nggak nembak aku sih?!” Rere terus menggerutu tiada henti. Mulutnya
komat-kamit saking sebalnya.
“Ya nyatain dong? Kalau cuma
dipendem, mana tau???” Nana gemas juga pada Rere, yang hanya bisa memendam
perasaannya tanpa berani mengungkapkannya. “Cinta itu harus dikejar, Re! Ayo
terus kejar si Dede!!”
Rere menghentikan aksinya yang
akan bunuh diri dengan cara melompat dari kasur Nana. Untung bisa diselamatkan.
“Maksud kamu dikejar gimana, Na?”
“Ya dikejar, kayak kamu ngejar-ngejar angkot itu. Meskipun dengan keringat bercucuran ngejarnya, tapi akhirnya kamu bisa naik angkot itu kan?”
“Emang kapan aku naik angkot, Na??”
“Ya dikejar, kayak kamu ngejar-ngejar angkot itu. Meskipun dengan keringat bercucuran ngejarnya, tapi akhirnya kamu bisa naik angkot itu kan?”
“Emang kapan aku naik angkot, Na??”
“Ini hanya perumpamaan doang,
Re…”
“Aku dah usaha, Na! Sampai jatuh
bangun! Dede juga dah jadian ma Cici! Aku tiada guna lagi!!” jerit Rere. Ya,
sejak Jujur Berani yang namanya diganti jadi Berani jujur itu, Cici resmi
menjadi pacar Dede.
Rere lalu mengobrak-abrik
rambutnya yang lurus dan panjang yang sekarang sudah menyerupai kuntilanak itu.
Hatinya kacau. Sekacau kamar Nana sekarang.
* * *
“Roy, temenin aku beli sate, ya?”
bujuk Dede. Matanya menatap Roy dengan pandangan memelas. Mirip kucing
kelaparan.
“Malem-malem gini?? Beli sate
dimana, coba? Kamu lagi nggak ngidam ‘kan?” Roy menatap Dede dengan kening
berkerut. Didekatinya Dede. Tangannya memegang dahi Dede. Dingin. Sontak, Roy
melompat ke belakang.
“Kamu beneran Dede ‘kan? Kamu
bukan setan yang lagi nyamar jadi Dede ‘kan?!” Mata Roy melotot. Dia takut jika
yang di hadapannya saat ini adalah hantu yang menyamar jadi temannya.
“Ini beneran aku, Roy! Enak aja
kamu ngatain aku setan! Beli sate sekarang, yok!”
Roy menghela napasnya yang sempat
berhenti mendadak. Untung dia masih hidup. “Kamu pikir sekarang jam berapa?
Udah jam sebelas malam ini!! Ntar kalau ada Suzana gimana? ‘Bang, beli sate 200
tusuk, bang…’ gitu gimana???”
“Eh, bener juga kamu! Duh,
padahal aku pengen beliin Rere sate…” Dede langsung memonyongkan bibirnya.
“Apa??!! Beliin Rere? Emang dia
pengen sate???”
“Kayaknya sih… Tuh, di twitter,
dia bilang, pengen makan sate…”
Roy langsung menepuk jidatnya.
Diperhatikan temannya itu dengan seksama, dari ujung rambut hingga ujung kaki. Kayaknya nggak ada yang salah, terus kenapa
nih, si Dede? batin Roy bingung.
Sudah biasa, jika setiap malam
minggu, Dede menginap di rumah Roy. Roy anak tunggal, begitu juga dengan Dede.
Sehingga mereka sudah seperti anjing dan kucing, eh salah, seperti baju dan
celana yang selalu bersama.
“Ya sudahlah…” Dede mendesah. Dia
meninggalkan Roy yang melongo. Naiklah dia ke atas kasur, lalu ditariknya
selimut langsung menutupi seluruh badannya.
* * *
“Dasar cowok suka tebar pesona!”
“Biarin! Asal nggak tebar ketombe
kayak kamu!”
Baru kali ini, Dede berani
membentak. Biasanya, dia pemalu. Sangat menurut pada Cici. Kali ini, kesabaran
Dede sudah habis. Ya, meski kata orang, kesabaran itu sebenarnya nggak ada
habisnya. Tapi, tidak bagi Dede! Dia sudah jengah, setiap kali Cici duduk saat
di kelas, dan dia duduk tepat di depan Dede. Setiap menit, Cici menoleh
kepadanya. Dan, setiap itu pula, ketombe Cici jatuh ke mejanya. Awalnya, Dede
mendiamkannya, namun lama-lama dia tak tahan lagi. Ketombenya Cici semakin
menumpuk di mejanya.
Yang dikatakan Cici juga ada
benarnya. Dede memang pemalu dan pendiam, tapi itu di kehidupan nyata. Beda
lagi saat di dunia maya. Dede sangat PD, malah overPD! Dia mempunyai banyak teman wanita di dunia mayanya. Ya…
bisa dikatakan Dede suka tebar pesona.
Dan, sejak saat ini, Dede dan
Cici putus, hanya gara-gara ketombe dan suka tebar pesona!
* * *
Kelompok belajar yang dipimpin
oleh Cici, menjadi kacau, gara-gara Cici jarang mau diajak belajar kelompok.
Akhirnya, Rere-lah yang menjadi ketua kelompok.
Hingga akhirnya, tiba saat Ujian
Nasional. Semua siswa sibuk mengerjakan soal ujian, kecuali Dede. Dia sibuk
menyingkirkan ketombe Cici. Sial baginya, karena dia harus duduk di belakang
Cici, cewek yang suka tebar ketombe. Mulutnya komat kamit tak keruan.
Rere yang tidak seruangan dengan
Dede, hanya bisa melamunkannya. Memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan
cinta Dede. Pernah, dia memasang status di twitternya malam-malam: Pengen makan sate deh.. Hm… Dia menulis
itu ditujukan pada Dede, atas usul Nana. Kata Nana, bila cowok yang beneran
suka ke kita, akan melakukan apapun untuk kita, meski harus berkorban waktu.
Tapi nyatanya, Dede tak melakukannya. Ya
iyalah! Emang Dede siapaku? Pacar aja bukan!
Tiba-tiba, mata Rere tertuju pada
sosok tinggi kurus di luar kelasnya. Dede. Rere buru-buru membereskan kertas
ujiannya. Lalu keluar kelas, menemui Dede. Apapun nanti yang akan dikatakan
oleh Dede, Rere akan menerimanya.
* * *
“Selamat ya, kamu lulus!!!” pekik
Dede. Dia histeris, lalu menggenggam tangan Rere. Lantas berjingkrak-jingkrak
bersama.
Rere tak kalah histerisnya. Dia
menjerit, hingga terdengar sampai luar sekolah. Dan, baru kali ini dia
melakukan perbuatan itu, karena Rere terkenal pemalu dan pendiam. Tapi
sekarang, dia telah berubah menjadi Rere percaya diri. Ini semua berkat Dede,
pacarnya.
Lho??? Bagaimana bisa, Rere
menjadi pacar Dede???
Jadi, begini ceritanya. Rere
menemui Dede saat dia telah selesai mengerjakan soal Ujian Nasional. Dia
berhasil menyamakan langkahnya dengan Dede. Lima menit, hanya ada kebekuan
diantara mereka. Sama-sama diam. Hingga di lapangan basket, Dede membuka suara.
“Re… Kamu tahu nggak kalau selama
ini…” Dede sengaja menggantung kata-katanya.
Rere terdiam. Dia menghentikan
langkahnya. Menatap Dede dengan perasaan dag-dig-dug. “Ya?”
“Aku dah lama suka sama kamu,
Re…” ucap Dede sedikit gemetar. Digenggamnya tangan Rere.
Deg! Jantung Rere berdebar seperti genderang mau perang. Lho kok malah jadi lagunya Dewa19??? Biarlah. Mata Rere yang bulat menatap
Dede tak percaya.
“Hei… kamu dilihat-lihat cantik
juga, ya? Kamu pake aplikasi apa, sih?” Dede berusaha mencairkan suasana.
Tawanya mengembang.
Rere tertawa kecil, lalu berkata,
“Aku nggak cantik kok. Aku hanya pake emoticon
smile untuk menyembunyikan sifatku yang nggak cantik.” Rere tersenyum.
Manis. Semanis gula aren.
Dan, sejak saat itulah, Rere
menjadi pacar Dede. Mereka sangat bahagia. Apalagi saat mengetahui nilai ujian
mereka hanya selisih sedikit, masih tinggi Rere. Mereka berharap bisa masuk di
universitas yang sama.
Rere-lah yang paling bahagia.
Akhirnya, usahanya untuk mendapatkan cinta Dede yang telah dipendamnya sejak
lama, tidaklah sia-sia. Jodoh memang di tangan Tuhan, namun bila manusia itu
tidak berusaha, ya sia-sia. Dan itulah usaha Rere. Berjuang untuk mendapatkan
cinta Dede.
“Pengejaran cintaku telah usai,”
batin Rere bahagia. Dia tersenyum memandang Dede yang juga tampak bahagia.
* * * * *
TAMAT
*Cerpen ini
masuk nominasi Lomba Cerpen #KomediRomantis dan dibukukan dalam antologi “Don
Juan Katrok”
Profil Penulis
Devi Eka adalah namaku. Lahir di
Purworejo, 17 Februari 1993. Suka membaca dan menulis, namun juga terkadang
galau adalah hobiku. Tapi menurutku, galau itu inspiratif. Aku lebih mudah
menulis bila sedang galau. Ide-ide bertebaran. Ya, galau itu inspiratifku.
Ingin mengetahui lebih banyak
tentangku? Bisa dilihat kicauanku di @vivi_mutz1 atau FB: Vivi Klorofers.
***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan ISI FORMULIRNYA DISINI
Posting Komentar untuk "Mengejar Cinta Dede Oleh: Devi Eka "