Keyakinan
Oleh : Nurma
Yunita
Gelap…
Sunyi…
Sendiri…
Hanya cahaya lampu di ujung bukit sebagai pemandu harapan. Menancap dipelupuk mata. Gemuruh detak jantung semakin tak bernada, tak ada teman menggandeng jemari. Dingin merangkul gemetar tubuh, hanya peluh dan hembusan napas menggaduh. Pandangan mencari kekuatan menembus malam. Rara serasa tak punya kekuatan untuk terus berlari. Menerawang jalan setapak yang harus dia ingat seperti rute awal saat terpisah dengan Rafqi—teman setianya sejak lahir. Kerudung birunya tak lagi beraroma parfum lavender. Basah oleh tetesan keringat dan air mata. Teriakan hatinya lebih dahsyat dari kecepatan angin malam.
Sunyi…
Sendiri…
Hanya cahaya lampu di ujung bukit sebagai pemandu harapan. Menancap dipelupuk mata. Gemuruh detak jantung semakin tak bernada, tak ada teman menggandeng jemari. Dingin merangkul gemetar tubuh, hanya peluh dan hembusan napas menggaduh. Pandangan mencari kekuatan menembus malam. Rara serasa tak punya kekuatan untuk terus berlari. Menerawang jalan setapak yang harus dia ingat seperti rute awal saat terpisah dengan Rafqi—teman setianya sejak lahir. Kerudung birunya tak lagi beraroma parfum lavender. Basah oleh tetesan keringat dan air mata. Teriakan hatinya lebih dahsyat dari kecepatan angin malam.
**
“Pagiii…
bangun Rara sayang….”
“ Sosok peri tersinari oleh cahaya mentari
yang menyelamatkanku dari…” Terbangun dari mimpi “Pagii, Ibuk….” Rara pandang
wanita itu dan menikmati belaian halus tangan kasar di rambut hitamnya.
“Sungguh mimpi yang tak seharusnya hadir.” Desah Rara.
“Sudah
siang sayang… katanya mau mendaki Semeru, masak jam 7 belum bangun?? Nanti
disana tertinggal oleh Rafqi dan rombongan loh ya….” Ibu mengemasi
barang-barang yang berserakan dikamar, karena semalam putri cantiknya-Rara
memberantakkan istananya.
Mentari
pagi begitu hangat. Dengan piyama yang masih melekat ditubuh, Rara nikmati
pancaran sinarnya menembus jendela kamar. “Cahaya yang kucari… ku ingin selalu
menemukannya, bersama gelora hati penuh cinta. Seperti saat ini, bersama Ibu—satu-satunya
orang yang tak pernah meninggalkanku—memberi seluruh kasih sayang tanpa batas.”
***
“Kamu
bawa obatnya kan, Ra?” Rafqi terdengar bahagia di seberang sana.
“Pasti…
tenang, Ibu selalu menyiapkan tanpa tertinggal sacuilpun.”
“Rara…
kamu uda gede, harus bisa menyiapkan segalanya sendiri. Kan Ibuk udah pesan
berkali-kali.”
“Mulai
deh kamu, belum ketemu aja udah cerewet! Apalagi beberapa hari bersama. Jangan
sampai aku mau pindah ke bulan, saat sudah cukup umur”
“Hahahaha…
mau panjang umur itu harus nurut, Rara cantiiikkk….”
“Siap!
Bapak dokter tercerewet sekecamatan Sengguruh!! Intinya Nona Rara sudah siap
berangkat. Mohon Dokter Rafqi melaksanakan prosedur keberangkatan dengan segera.”
“Kamu
bisa aja, siap Bu Guru Rara. Saya segera meluncur. Tunggu dengan cantik. Awas!”
Gelak tawa Rafqi mengundang tawa Rara.
“Sudah,
ah… aku siap-siap.” Tawa Rara terhenti, dan menekan tombol merah di telepon
genggamnya
Rara
mempunyai kelainan tidur. Imsonia selalu menyerangnya akhir-akhir ini. Bahkan
dia bisa bertahan dua malam tanpa terlelap. Karena saat tidur, mimpi-mimpi
buruk selalu hadir dan mampu membuatnya ketakutan.
Hanya
ibu yang selalu ada disampingnya. Kepergian ayah membuat Rara semakin sering
mengalami mimpi ataupun kejadian aneh. Dingin tiba-tiba ataupun panas tinggi
menyerangnya tanpa permisi. Periksa, iya. Sudah banyak rumah sakit yang dia
kunjungi, mulai dari rumah sakit Kecamatan hingga Kota. Tak ada yang mampu
mandeteksi virus apa yang menyebabkan Rara seperti ini.
Atau…
pergi ke sesepuh desa. Sudah. Dan hasilnya hanya alasan-alasan tidak masuk akal
di dunia serba internet kini. Itupun, untuk membuat ibu tak terlalu khawatir
dan mampu menjalani aktivitas normal dengan para tetangga.
Dunia
sosial bak belantara hutan yang mengaung tanpa sumber suara. Sebagian besar
memberi kabar negatif pada keadaan orang lain. Tak sesuai kenyataan. Hingga
Rara tak ingin berteman selain Rafqi. Kata-kata, canda tawa, nyanyian, puisi
hingga gambar Rafqi yang selalu menemaninya. Bukan hal baru jika mereka selalu
bersama hingga malam menjelang, karena hati Rara tak mampu menerima orang lain
untuk berteman sejak kecil.
***
Rombongan
para pendaki berkumpul dirumah Pak RT Desa Sengguruh. Jarak yang ditempuh
hingga sampai di wilayah Gunung Bromo adalah lima jam. Jam 10 pagi semua
bersiap meninggalkan Desa menuju tujuan. Berbagai bekal dan peralatan di
persiapkan sebaik mungkin. Tak hanya makanan, kompor, tenda dan jaket.
Obat-obatan pun tak luput dari pemeriksaan. Terutama gadis berkerudung hitam
yang penuh semangat itu, Rara.
“Assalammu’alaikum…”
“Waalaykumussalam,
Raf… tolong obat yang gak penting, kamu buang aja ya… berat bawanya. Lagian kan
ada kamu, pasti aku aman sampai tiba kembali dirumah. Please….” Rara menunjukkan wajah memelas kepada teman terbaiknya
itu dengan merapatkan kedua tangan didepan kening.
“Rara
sholeha, cantik dan gemesin… jadwal sudah mepet. Siapa yang akan mengurus
obat-obat ini, jika dibuang??? Lagian, ibu kan sudah berbaik hati memberi yang
pasti kamu butuhkan. Sudah, semua aman saat kamu denganku!” Rafqi bersemangat,
merapihkan tas ransel hijau milik Gadis ayu itu.
Rara
merasa sangat nyaman dengan kata-kata sahabatnya. Selalu mampu menenangkan
kekhawatiran bayang buruk yang terlintas di pikirannya. Tak hanya berpasrah
kepada tuhan, dia pasrahkan perjalanan ini kepada Rafqi. Keyakinan melawan
kepercayaan tentang rumah yang menjadi istana sejak terlahir kedunia sebagai
rumah keramat, dengan hadirnya mimpi buruk itu.
Merantau
ataupun ngekos? Tidak mungkin. Karena ibu akan merasa kesepian jika ditinggal.
Pertama
kali!. Ini adalah pertama kali…
Ibu
memberi ijin kepada Rara untuk beberapa hari jauh dari rumah serta belaian
kasih sayangnya. Namun, hanya dengan Rafqi. Rafqi lah malaikat penolong mereka.
Hadirnya selalu ditunggu dan memberi yang terbaik. Hingga saat ini.
***
Menempuh
perjalanan selama lima jam dengan rombongan membuat mereka tetap bersama.
Sapaan dari gadis manis itu hanya kepada mereka yang mengawali sapa. Canda-tawa
Rafqi membuat gadis itu semakin nyaman berada jauh dari rumah mungilnya.
Terjaga dari rasa lelah, dan menikmati pemandangan rimbun nan hijau di luar
mobil.
Rara
memperhatikan jam tangan. Merasa cukup lama berada diluar. Keyakinannya untuk
lepas dari mimpi-mimpi yang mengganggu terus berkecamuk dalam hatinya. Degub
jantungnya membawa kebahagiaan luar biasa.
Memang
belum tertidur dan bermimpi. Namun rasa takut dunia luar perlahan menghilang,
membawa rasa tak tergambarkan kepada keyakinannya.
“Raf…
kita beneran udah jauh dari rumah. Ya… walau belum bermimpi dan mengganggumu.
Rasanya aku benar-benar sembuh dari ketakutan dunia luar dan orang asing.”
Matanya berbinar memandang mata Rafqi, tangannya mendekap dada erat. Rafqi
tersenyum dalam keheningan.
“Alhamdulillah…
tapi ini belum sampai puncak semeru loh, Ra… kamu jangan ke pe-de an dulu. Siapa tahu ntar kamu
mimpi, terus nyekik aku… hihihihi.”
Rara
menyipitkan mata dan menggenggam jemari, “Dasar… Rafqi! Awas kamu…!!!”
Tangannya menggelitik pinggang lelaki disampingnya.
***
Sebuah
kepercayaan timbul dari hati. Menciptakan bahagia dan menghilangkan mimpi buruk
setiap kali hadir. Yakinkan pikiran dan hati hanya driri sendiri pemiliknya.
TENTANG PENULIS
Nurma
Yunita adalah anak bungsu, yang mencintai keindahan langit. Menemukan kehidupan
di tanah rantau sebagai Buruh Migran Indonesia dengan teman-teman yang penuh
ilmu. Tercatat sebagai Mahasiswi Saint Mary’s University-Hong Kong Campus.
Mencintai Indonesia dengan menulis. Dapat dihubungi di akun facebook Nurma
Yunita (RSIG) dan nurmay080@gmail.com
.
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : Keyakinan Oleh : Nurma Yunita "