SURAT CINTA NISA
Oleh:
Eko
Suseno
Satu pilihan
yang Aku anggap tepat untuk
saat ini adalah putus hubungan. Tidak
ada lagi saling menyalahkan, tidak
ada lagi kebohongan, dan kita sama-sama punya kebebasan. Walau Tuhan tidak
menyukai hal ini namun terpaksa kupilih karena rumah tangga ini terlalu rapuh
untuk dipertahankan.
Apa gunanya
status istri jika hak nya tidak bisa didapatkan dari seorang suami. Apa pula
gunanya istri jika tak mampu melaksanakan kewajibannya terhadap suami. Sudah
hampir satu tahun kami membangun rumah tangga, selama itu pula sandiwara cinta
kami mainkan. Bagaimana kami bisa berperan sempurna
jika di bulan kedua pernikahan kami,
Tuhan mencabut dayaku sebagai seorang istri. Tubuhku lumpuh total oleh sebab
kecelakaan yang meremukkan tulang belakangku. Aku bersyukur masih diberi
kesempatan menikmati dunia yang kejam ini.
Setidaknya Aku masih bisa bergerak
walau diatas kursi roda. Kedua kakiku utuh tapi mati, kedua tanganku sempurna
tapi tak kuasa melepaskan Aku
dari penjara kamar sialan ini. Setiap malam Aku
harus dibopong suami hanya untuk merebahkan badan di tempat
tidur. Itu pun kalau suamiku
pulang ke rumah, paling sering dia pulang pagi dan aku pun terbius lelap di
atas kursi roda.
Masih
terpaku diatas kursi roda biru, samar-samar bayanganku menatap kasihan padaku.
Tenteram sejenak hatiku setelah kumandang adzan isya’ baru saja membasuh
jiwaku. Segera ku menghadap sang Pencipta untuk menunaikan ibadah wajibku. Setelah
salam sholatku ada mas Hendra yang terduduk dikursi tamu tengah melepaskan
sepatu.
“gak biasanya
mas jam segini sudah pulang kerja?”
“iya.. tadi cuma
meeting sebentar trus pulang.”
“Kamu pulang
sama siapa mas?.. sepertinya di ruang tamu ada seseorang.”
“sama teman kantor.. kebetulan
arah kita sama,
jadi sekalian aja pulang bareng trus ku
ajak mampir kesini. Kamu belum tidur?.. Ijem
kemana?”
“belum mas..
Ijem tadi pamit mau pulang kampong,
katanya ada saudaranya yang meninggal.”
Entah kenapa
malam ini rasanya berbeda dengan malam-malam yang sebelumnya. Tak biasanya mas
Hendra pulang lebih awal. Ah harusnya Aku
senang karena akan ada banyak waktu untuk ku bersama dengan mas
Hendra. Tak sepantasnya Aku
menaruh pikiran jelek tentang suamiku. Sepahit apapun hidup rumah tangga, seorang istri punya
kewajiban menjaga kehormatan suami. Karena menjaga kehormatan suami adalah
bagian dari mempertahankan kehormatan rumah tangga. Sungguh mulia seorang istri
jika mampu menjaga dengan baik
kehormatan rumah tangganya.
Udara malam
begitu erat membekukan setiap ruas tubuhku. Sudah satu jam Aku terbaring ditempat
tidur namun mataku masih enggan merapat mengantarku terlelap. Lampu kamarku pun
masih benderang menyembunyikan gelap
malam. Sudut-sudut jendela yang terkunci rapat hanya diam meredam tiupan angin
sayup menimang membujukku kealam mimpi. Mas Hendra sepertinya masih sibuk
menemani teman kerjanya. Entah apa yang mereka
bicarakan, Aku
saat ini hanya ingin menunggu mas Hendra menemaniku berbaring ditempat tidur
ini.
Ini adalah hari
ulang tahun pernikahan kami yang pertama. Hari yang mungkin special bagi
sebagian besar orang yang rumah tangganya bahagia. Namun bagiku, mungkin Aku hanya bisa berharap,
karena kebahagiaan yang didambakan
setiap istri hampir tak
pernah bisa Aku
dapatkan. Tapi aku yakin Tuhan masih punya rencana indah untuk hambanya yang
lemah ini.
Malam semakin
larut, suasana pun semakin hening bak terbungkam bisu. Hanya detak jam yang
masih konsisten lantang meneriakkan detik demi detik perputaran waktu duniawi. Ruang
tamu seoalah terlelap tak bergeming, namun betapa remuknya hati ini ketika ku
dengar suara rintihan wanita yang menerjang
pintu kamarku yag menganga.
Bukan!! Ini pasti hanya mimpi.. gak mungkin ada
wanita selain aku di rumah ini. Teriakku dalam
hati. Aku yang terpaku di atas tempat tidur mencoba berontak untuk memastikan
ini hanya mimpi. Namun apa dayaku, semua yang Aku harapkan sebagai mimpi ternyata sulit
kuterima bahwa ini bukan mimpi.
Pintu kamar yang
menganga menunjukkan padaku kebejatan suamiku yang tak sepantasnya kusaksikan.
Jelas tak bersekat mereka menyolok mata telanjangku dengan perilaku binatang. Setan apa yang merasuki mereka? Hingga akal mereka pun
beku membutakan norma dan susila. Bak petir yang
membekukan imanku, berlian yang kubangun sebagai ibadahku dalam rumah tangga
ini seolah remuk sia-sia.
Astagfirullah mas.. kenapa kau lakukan ini padaku, Aku memang tak mampu
menunaikan kewajibanku sebagai istri, tapi Aku
masih istrimu mas.. tidak seharusnya engkau bercumbu dengan wanita lain dirumah
kita, dihadapanku yang masih istrimu mas.. Ya Allah.. apa dosaku hingga engkau
pertunjukkan siksa duniamu kepadaku.. bukankah Engkau yang maha pengasih dan
penyayang, kenapa ya Allah?..
Tak kuasa Aku menahan derasnya air mata ini. Siapa pun wanita pasti akan hancur perasaannya ketika
dikhianati oleh suaminya. Mungkin rasa kematian itu jauh lebih baik dari pada
Aku hidup dalam kepahitan rumah tangga.
Ya Allah.. cabut saja nyawaku sekarang, Aku tak mampu
hidup seperti ini.
Malam
itu pun berlalu, entah bagaimana Aku melewatinya Aku tak peduli. Aku sudah
mati, hatiku pun mati, tak ada setitik bayangan pun yang menari dalam otak ku,
tak ada rasa yang tertangkap indera perasaku. Hanya detak jantungku yang tak
mampu ku hentikan saat ini yang memaksaku hidup dalam jasad dan jiwa yang beku.
Hari-hari
ku pun berlalu, bahkan sekarang air mataku pun enggan membasahi mukaku. Aku tak
punya apa-apa lagi kecuali suara jantung yang menginginkanku tersiksa dengan
semua ini. Dan kini aku harus rela sel kanker menggerogoti tubuhku. Sedikit
demi sedikit, sel kanker itu melubangi punggungku.
“Maaf..
apakah Anda keluarga dari ibu Nisa?” tanya seorang dokter kepada mas Hendra.
“iya
dok.. Saya suami ibu Nisa, bagaimana kondisi istri saya dok?”..
“menurut
hasil pemeriksaan, kemungkinan besar ibu Nisa menderita kanker. Tapi bapak
jangan kawatir, Kami akan berupaya semaksimal mungkin untuk kesembuhan istri
bapak”.
“terima
kasih dok.. tapi kira-kira kemungkinan sembuh istri saya berapa besar dok?”
tanya mas Hendra kepada dokter.
“kemungkinan
sembuhnya kami belum bisa memastikan, kami sarankan bapak membawa istri bapak
untuk di rawat di rumah sakit, terutama untuk mendapatkan perawatan paliatif
dan pengobatan kemoterapi”.
Aku
sedikit tersenyum mendengar pembicaraan mereka. Aku berpikir waktuku semakin
dekat dengan kematian. Namun Aku masih sangat mengharapkan bisa melaksanakan
kewajibanku sebagai istri yang selama ini tak pernah bisa terwujud. Tapi
rasanya harapanku itu hanya sia-sia, karena tak banyak orang yang mampu
bertahan lama dengan penyakit kanker.
“kau
dengar tadi apa kata dokter?.. hidupmu tinggal menunggu waktu, kau tahu apa
artinya?.. sebentar lagi semua harta warisan ini akan jadi milikku.. jadi
matilah dengan tanpa merepotkan”.
“kenapa
gak kau bunuh saja Aku mas?.. biar kau gak repot-repot ngurusin Aku yang
sakit-sakitan ini”.
“kau
kira Aku bodoh?.. kau ingat apa yang tertulis di surat wasiat papa?.. jika kita belum punya anak, maka pewaris harta ini
adalah kamu, dan jika kamu meninggal, maka Aku lah orang yang berhak menerima
warisan itu”.
“Aku
kecewa sama kamu mas.. kamu tidak benar-benar mencintaiku”.
Aku
tahu hidupku tidak akan lama lagi, penyakit ini mungkin jalan terbaik yang
diberikan Allah kepadaku untuk segera lepas dari pahitnya dunia. Hari itu mas
Hendra membawaku ke sebuah rumah sakit swasta di Yogyakarta. Rumah sakit kecil
di pinggiran kota Bantul. Rumah sakit ini kupilih sebagai permintaan terakhirku
kepada mas Hendra. Aku dengar rumah sakit ini memiliki layanan unggulan Husnul
Khatimah Care yang memberikan pendampingan mempersiapkan bekal kematian kepada
orang-orang sakit. Aku sadar waktuku tidak banyak sehingga aku harus
mempersiapkan kematianku sebaik mungkin.
“maaf
suster.. tolong berikan surat ini kepada suamiku setelah saya meninggal”
pintaku kepada seorang perawat perempuan yang baru saja selesai merawat luka di
punggungku. Sebuah surat yang sengaja kutulis pada selembar kertas dan ku
selipkan di dalam Al-Qur’an.
“baik
bu.. insya Allah akan saya sampaikan”.
Lima
hari kemudian suster memberikan surat itu, yang isinya dituliskan dengan tinta
hitam dan tetesan air mata pengharapan.
Ketika mas Hendra membaca surat ini, mungkin Nisa tidak
ada lagi disampingmu mas.. Nisa mohon maaf, karena selama ini Nisa tidak bisa
menjadi istri yang baik buat mas Hendra, Nisa tidak mampu melaksanakan
kewajiban seorang istri dengan sempurna sebagaiman yang mas Hendra harapkan.
Nisa harap mas Hendra mau memaafkan semua kekurangan Nisa. Nisa janji, Nisa
akan membayar hutang Nisa dengan menjadi bidadari mas Hendra di Surga.
Semoga mas Hendra selalu bahagia, Nisa akan selalu
rindukan mas Hendra di Surga.
Tertanda
Annisa Zahra Firdaus
TENTANG PENULIS
Eko Suseno, lahir
di Banyuwangi tanggal 7 April 1984 namun separuh umurnya dihabiskan di
Yogyakarta. Bidang yang ditekuni selama ini adalah penulisan dan bimbingan
pembuatan dokumen regulasi rumah sakit. Berniat kembali melanjutkan cita-cita
sebagai seniman tanpa meninggalkan profesi sebagai tenaga kesehatan. Untuk
lebih mengenalnya bisa via Email: nersseno@gmail.com
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
2 komentar untuk "CERPEN : "SURAT CINTA NISA" Oleh: Eko Suseno"
1. Kalau kekeliruan karena salah pengetikan itu hal wajar, tapi kalau ada lebih tulisan EYD yang keliru kiranya perlu diluruskan. Saya sendiri soal mengetik juga seringkali salah-salah kok, hehe...:)
2. Nama orang memang ditulis huruf besar seperti 'Nisa", "Eko Suseno" dll. Baik itu di awal atau tengah kalimat. Akan tetapi kata ganti orang seperti 'aku' tidak ada yang ditulis huruf besar kecuali di awal tulisan atau kalimat. Nah, tulisan 'aku' di cerpen tersebut kok huruf 'A' ditulis besar terus yaa??? Kata ganti 'aku' huruf 'a' boleh ditulis huruf itu hanya untuk kata ganti nama Tuhan.
3. Saya lihat tiap kali percakapan (ganti baris) memakai huruf kecil. Contoh :
“gak biasanya mas jam segini sudah pulang kerja?”
seharusnya :
“Gak biasanya mas jam segini sudah pulang kerja?”
(huruf 'G' ditulis besar karena ganti baris atau awal kalimat / percakapan)
4. Kata sapaan seperti yang tertulis "mas Hendra" itu salah...
Seharusnya :
"Mas Hendra" (huruf ''M' ditulis besar karena ada nama orang yakni 'Hendra').
Buat Mas Eko Suseno, jujur saya berani kirim komentar karena gaya bahasa Anda bagus, cerita juga mengalir. Tapi saya kurang puas dengan EYD Mas Eko Suseno. Sepertinya Anda calon penulis berbakat, tetapi perlu belajar ejaan yang disempurnakan (EYD) terlebih dahulu agar tidak sering salah dalam ejaan yang disempurnakan.
Mohon maaf atas koreksi saya. Ini hanya untuk sama-sama belajar.
Sekian, terima kasih.