Pesan Untuk Luka
By: Deyanggi Bhinekaswathi
bagian satu
14 September, pukul tiga sore
Elga
Kujatuhkan
tatapan pada ombak yang bergulung di hadapanku.Deburannya yang ramah menyambut
kedatanganku kali ini. Sesaat kurasakan ruang napasku dipenuhi aroma laut
yang tak lagi asing di penciumanku.
Angin yang bersemilir menyapu lekuk tubuhku, desirnya bahkan menggoyangkan
rambut hitam pekat yang sengaja kubiarkan tergerai hingga punggung.
Reyhan, kamu di mana?Aku rindu.
Kualihkan
pandangan pada sudut lain, area di mana berjajar tempat duduk kecil yang
seringkali menjadi penopang tubuh kami—aku dan Reyhan yang merebahkan badan
berdampingan, saling bertukar senyuman, dan menabahkan diri demi menunggu
matahari terbit dan terbenam hampir setiap hari.
“Saya
mencintai laut ketika saya sadari bahwa hati saya jatuh padamu.”
Aku menoleh
dengan ekspresi yang tak biasa.Picingan mataku menukik lurus bada bola
kecoklatan yang berpancar indah itu. “Jadi, laut yang menyebabkan kamu
mencintaiku atau—”
Dia
terkekeh. Seperti yang selalu dia katakan, tawanya akan mengembang saat raut
wajahku mendadak berubah. Kerutan di dahi dan bibirku yang mengerucut dia
anggap lucu, padahal saat itulah aku tengah berpikir.“Bukan,” dia
menyanggah.“Karena kamu, saya mencintai laut.”
Saat itu,
kupikir yang diucapkannya hanyalah gurauan.Bagaimana bisa kupercaya?Mengingat
cerita yang pernah dituturkannya, jauh bertahun-tahun sebelum kami bertemu,
lelaki itu sudah mengunjungi banyak laut yang tentu memiliki beragam daya
tarik.
Pantai
Gelora.
Pesisir
sepi dengan batu karang yang melimpah namun sedikit penguncung. Lokasi ini
terselip di kecilnya kota tempat tinggalku. Orang-orang yang bermukim di sini
hanyalah sepersekian dari jumlah penduduk yang menyesaki ibu kota.
“Saya akui,
ini laut kesekian yang saya singgahi,” dia kembali bersuara, “tapi baru kali
ini saya temui gadis pantai yang memukau, yang hanya dengan sekali lirikan
dapat membuat saya berdecak, dan dengan seulas sabit yang melengkung di
bibir mampu menggetarkan jiwa saya,”
imbuhnya.
Aku
terperangah.Benarkah yang dipaparkannya?Aku hanyalah kembang desa yang tak
mudah menerka tulus tidaknya ucapan seseorang.Apalagi ini mengenai perasaan,
sungguh aku tak bisa memahami dan menjabarkannya dengan jelas.
Reyhan
meraih tanganku ke pangkuannya.Hangat genggamannya kurasa menjalar hingga
hatiku.“Bagi saya, sejuknya laut telah menjelma di teduh matamu, dan
kesempurnaan ditawarkannya tersemat pula pada hatimu,” dia manatapku dengan
dalam dan penuh keseriusan.Pandangan yang begitu menancap melalui balutan
keindahan yang menyelimutinya.
Aku
benar-benar ingat momen itu.Saat kami sama-sama menikmati kemilau senja yang
menaungi laut biru di hadapan kami.Menyaksikan camar saling mengepakkan sayap
di udara.Menyesapi hentakkan ombak yang menyapu pasir.Juga kata-kata yang
hingga kini terus menggema jelas di kepala, terus terngiang tanpa sanggup
kuusik tiap lontaran yang keluar dari bibirnya.
Lebih dari
satu bulan, aku menyendiri di pantai ini.Bukan untuk menyepi, tapi untuk
menanti.Mengharapkan kehadiran lelaki itu lagi.Menginginkan lantang suaranya
ketika memintaku memasakkan makanan kesukaannya.Mendambakan ceracaunya yang
terkadang menimbulkan secercah tawa di antara wajah lelahku, dan mengusir penat
yang dipikul tubuhku.
Pikiranku
masih mengambang ketika Adam tanpa kusadari mendekat, dan menepuk bahuku hingga
aku terperanjat, “Elga?”Tangan lelaki itu mengibas di depanku.
Aku
terperanjat.“Kenapa kamu di sini?” tanyaku tanpa basa-basi.
“Maaf,” dia
merogoh saku kirinya.“Ini, ada titipan untukmu.”
Sebuah
amplop biru muda—yang kuyakini di dalamnya ialah surat—diserahkan Adam padaku.
Kuharap apa yang kuterima adalah titipan dari Reyhan. Setidaknya, setelah ini
akan kutemukan sedikit titik terang tentang keberadaan lelaki itu.
* * *
Elga, gadis pantai…
Saat kamu
membaca surat ini, percayalah jika ini benar-benar tulisan yang ditujukan
untukmu dari seorang lelaki yang sedang patah hati.
Tak usah
ditanya mengapa saya katakan begitu, sebab sudah jelas kamu tahu siapa pelaku
dan bagaimana kejadiannya hingga saya menjadi seperti ini.
Oh ya, surat
dari saya ini aneh, kan? Tidak ada pertanyaan mengenai kabarmu atau basa-basi
lain semacam itu.Bukan karena saya tidak mengkhawatirkanmu, bagian itu sengaja
saya lewat sebab saya tahu tentu kamu sedang tidak baik-baik saja.
Ya, saya
pikir apa yang kita rasakan kurang lebih sama.
Bila saya
mengatakan tengah terpuruk, apa kamu juga begitu?
Silakan
saja kalau kamu ingin menertawakan saya.Dengan sadar saya akui ini pertama
kalinya saya bicara melankolis seperti ini.Takkan saya permasalahkan bila kamu
mengecap saya sebagai lelaki lemah ataupun mencibir saya sebagai lelaki
cengeng.
Elga,
bagaimana rencana pernikahanmu? Dari jarak yang tidak saya ketahui berapa
jauhnya, doa saya selalu tercurah untukmu; demi kebahagiaanmu. Saya harapkan
pula kalian—kamu dan Adam—akan menemukan kebahagiaan abadi dan bersatu hingga
Tuhan memisahkan.
Adam calon
suami yang baik. Jangan ragukan kesetiaannya, tak usah kamu curigai apa yang
dia lakukan di luar pengamatanmu. Cinta itu saling melengkapi, bukankah itu
yang sering kamu ceritakan pada saya?
Maaf jika
saya malah terkesan menasehati atau bahkan menggurui, karena menurut saya
rasanya janggal bila kamu menumbuhkan cinta untuknya tapi tidak kamu tanamkan
kepercayaan padanya.
Mencintai
seperti merangkum kaca dalam genggaman. Semakin erat kamu mencengkeram, ia
justur akan semakin retak, dengan cepat hancur dalam kepalan tanganmu sendiri.
Untuk menjaga keutuhannya, sudah sepatutnya setiap pasangan saling menjaga dan
merawatnya.
Saya yakin
kamu pasti bisa.Cintai dia dengan hati yang utuh, jangan sisakan secelah pun
ruang untuk lelaki lain selain Adam.Termasuk untuk saya, usir saja sebab saya
menyadari kehadiran saya di hatimu hanyalah menjadi pengganggu yang merusak
hubungan kalian saja.
Tentang
kita…
Oh, maaf,
Elga. Pisahkan saja kata itu, ya?Maksudku … saya dan kamu.Ya, untuk sekarang
lebih tepat begitu.
Sudah
seharusnya saya berhenti untuk berangan bisa mendekapmu setiap saat.Meski tidak
mudah, tapi inilah jalan yang tepat.Benar adanya jika saya sulit untuk
melepasmu, tapi sekuat mungkin saya berusaha untuk sanggup melihatmu bersanding
dengan Adam.Menjadi istrinya, kelak.Bukan menjadi pendamping hidup yang Tuhan
ciptakan untuk saya.
Saya
menginginkan, ini bisa dijadikan pelajaran yang baik untuk kita—saya, kamu, dan
Adam.Sedikit banyak saya bersyukur bisa tersesat dalam cerita kalian.Dengan
merasakan cinta semacam itu, kini saya mengerti artinya mencintai luka.
Elga, saya
akan pergi. Lebih tepatnya, meninggalkan apa pun yang berhubungan denganmu.
Saya tidak akan lagi ada di antara kalian. Saya juga berjanji tidak akan datang
untuk mengganggu kalian.
Maaf, saya
menjadi pengecut untuk kisah ini.Saya izinkan kamu untuk mencaci lelaki biadab
yang meninggalkanmu seenaknya ini. Namun saya percaya dengan cara inilah cepat
atau lambat saya dan kamu bisa saling melupakan.
Meniadakan
ingatan tentang kita yang dulu pernah ada tidaklah mudah, tetapi dengan cara
berpisah barangkali saya dan kamu tidak akan terlalu sulit melaluinya. Dan satu
lagi keyakinan saya yang pantas kamu tampar: Saya percaya, jika kita memang
jodoh maka tangan Tuhan akan mempertemukan kita lagi di lain waktu, tentu
dengan cerita yang berbeda.
Hingga
nanti, kamu akan saya kenang sebagai wanita yang selalu menyediakan harapan
untuk saya, meski dengan kerap kali mengakhirinya secara menyakitkan. Tidak
apa-apa, jangan hiraukan kepedihan saya itu, biar saja waktu yang akan
mengobatinya.
Maafkan
saya, Elga. Ketika kamu membaca paragraf terakhir dari coretan tidak keruan
ini, lelaki yang akan setia untuk mencintaimu sudah beranjak jauh. Hilang dan
tak bisa diperkirakan untuk kembali.
Salam
luka untuk wanita yang harus selalu bahagia,
lelaki
yang sempat kamu cintai.
* * *
14 September, pukul sepuluh pagi
Reyhan
“Kamu yakin
tidak akan menemuinya dulu?” tanya Adam di akhir permohonan saya.
Saya
menggeleng dan tersenyum miris.Bila harus jujur, tentu saja saya ingin bertemu
dengannya lagi, mengucapkan selamat tinggal, dan menghadiahkan peluk juga cium
sebagai tanda perpisahan.
Namun, itu
keinganan gila dan konyol! Mana mungkin saya bisa melakukannya sesuka hati
sedangkan dia sudah jelas-jelas tak pantas dimiliki.
Saya
menikmati fajar dan senja di Pantai Gelora.Di sini—di tempat yang menawarkan
kenyamanan—saya menemukan kebahagian.Tepatnya, seorang wanita.
Namanya …
Elga. Dia gadis pantai.
Tak
sengaja, namun bukan karena tersesat.Pesisir sepi saya datangi seorang diri,
kala itu. Di sana, saya melakukan kegiatan seperti yang biasa saya jalani tiap
kali mengunjungi laut. Tidak ada yang berbeda, kecuali kehadirannya.
Masih
terekam dengan jelas di ingatan saya apa yang terjadi pada awal pertemuan
kami—saya dan Elga, di suatu senja yang merah merona. Waktu itu, saya baru saja
kembali ke daratan selesai menyelam dan
saya temui seorang wanita ada di pinggiran.
Pakaiannya
sederhana, jauh berbeda dengan tampilan mewah kebanyakan orang kota. Dia hanya
mengenakan kaus polos bergambar lumba-lumba dengan celana sebatas lutut. Di
tangannya ada sebuah nampan berisi dua gelas air kelapa.
Sekilas,
kutebak dia penjual minuman.Bukan hal aneh di tempat seperti ini berkeliaran
pedagang semacam itu. Tapi ... tunggu! Sejauh saya putari pantai ini, hanya dia
satu-satunya yang begitu.Ada yang terasa janggal.
“Mas?” dia
memanggil saya.Suaranya begitu lembut, serasa manja di telinga.Dan senyumnya,
tak sanggup saya kiaskan keindahannya hanya dengan sekadar kata.
Saya
melirik ke kanan-kiri. Panggilannya tidak segera saya hiraukan, sebab saya
pikir ada orang lain di sini, tetapi ternyata … tidak ada. “Kamu memanggil
saya?” telunjuk mengarah pada wajah saya sendiri.Tampak seperti orang bodoh,
mungkin.
“Iya, Mas
yang itu,” dia melangkah, mendekat ke arah saya yang kelihatan seperti orang
linglung.
“Selesai
menyelam, pasti capek.” Jemari lentiknya meraih gelas dari nampan, “Ini, aku
punya air kelapa.Lumayan buat menghilangkan haus,” tawarnya seraya menyodorkan
minuman itu pada saya.
Selain
meraih dan mengucapkan “terima kasih”, saya tidak tahu harus mengatakan apa
lagi. Elga terlalu istimewa untuk diabaikan, namun mengajaknya berkenalan juga
bukanlah hal yang mudah saya lakukan.
Beruntung,
dia gadis yang tidak sulit untuk berinteraksi dengan orang baru, Tak butuh
waktu lama, dengan mudahnya dia bisa mencairkan kekakuan yang tercipta di
antara kami.Senja itu kami saling bertukar
cerita.Memang aneh, tetapi ini benar adanya; bercengkerama dengannya seolah
kembali bertemu dengan kawan lama.
Seiring
berjalannya waktu, saya semakin akrab dengannya. Hampir setiap matahari akan
terbit dan terbenam, kami menyempatkan diri untuk bertemu. Di sela-sela itulah,
perasaan yang tidak saya sangka sebelumnya tiba-tiba saja muncul dan menuntut
untuk segera diutarakan.
Tidak ada cara
lain selain harus mengaku dan menyatakan yang sebenarnya. Perasaan ini saya
yakini sebagai cinta. Jika dipendam lebih lama, saya pikir hati akan semakin
tersiksa. Maka, apa yang menggebu dalam dada ini dengan gugup saya ungkapkan
pada Elga; gadis yang tidak akan pernah bersanding di pelaminan bersama saya,
namun akan selalu saya cintai hingga kapan pun.
“Akan kuberikan
titipan ini padanya,” tukas Adam diiringi dengan senyum yang mungkin saja
tulus.Entahlah, saat seperti ini saya tidak bisa membedakan raut wajah
seseorang.
Saya mengangguk,
“Terima kasih.”
Adam bangkit
dari duduknya, meninggalkan saya yang masih saja termangu di meja ini.Dengan
disampaikannya lembaran itu berakhir pula cerita antara saya dan Elga.Saya
harus pergi dari kehidupannya, dan dia secepatnya harus benar-benar bisa saya
simpan di ruang masa lalu, bukan bagian dari harapan yang tentu tidak bisa saya
gapai. {}
Deyanggi
Bhi merupakan penggalan nama milik gadis kelahiran Bandung, 14 November 1997.
Saat ini ia tinggal di kota yang kerap dijuluki “Swiss van Java” dan tengah
menjejaki tingkat akhir pendidikan SMA jurusan sosial. Memiliki impian untuk
menjadi bagian dari Kampus Fiksi dan mahasiswi Universitas Padjajaran.
Celotehan sosok pencinta fiksi dan penyuka puisi ini dapat ditemui di akun
twitter @gi_author atau blog yang berisi tuangan imajinasinya http://world-sastra.blogspot.com
*** *** ***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com
Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan KLIK DISINI GRATIS
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Pesan Untuk Luka" By: Deyanggi Bhinekaswathi"