METROPOLIS
Metropolis watches and
thoughtfully smiles.
She’s taken you to your home.
It can only take place.
When the struggle between our children has
ended.
(Metropolis – Dream Theater)
New York, 11 September
2001
Asap
mengepul dari pusat kota. Satu gedung World Trade Center telah runtuh bersujud
pada bumi. Seorang lelaki bernama John White berlari menuju reruntuhan yang
masih bersimbah debu. Ia sempat ditahan oleh polisi dan beberapa orang, namun
itu semua tidak mampu menghentikan langkahnya. Lelaki itu mempertegas larinya.
Tujuannya hanya satu. Ia tidak ingin kehilangan putranya lagi, untuk yang
kesekian kalinya.
Walaupun
Jackson adalah putra adopsi, namun John sudah menganggapnya sebagai anak
sendiri. Walaupun ia berkulit putih dan Jackson berkulit hitam, ia sangat
menyayanginya. Walaupun putra adopsinya itu sering kabur dari rumah, mencuri di
toko mainan, membuat masalah di sekolah, John tidak peduli. Walau bagaimanapun,
Jackson tetap putranya. Putra satu-satunya. Setelah istrinya meninggal ketika mencoba
melahirkan anak ketiga yang kemudian gugur tak lama setelah dilahirkan,
menyusul yang sebelumnya, Jackson menjelma jadi tumpuan kasih sayangnya.
Sekarang,
John menerjang bebatuan yang mendadak tercipta dari beton bertulang itu.
Separuh tubuhnya mulai samar-samar terlihat, terhalau debu yang makin menebal
dan makin meninggi. Seorang polisi berteriak menyuruhnya untuk kembali, tapi
John tidak peduli. Ia terus berlari, sampai sosoknya terlelan oleh gelombang
debu.
Tak lama kemudian, sebuah pesawat bergerak cepat dan
menabrak satu bagian lain dari bangunan kembar World Trade Center. Bangunan itu
menyusul kakaknya dan meluruh menuju tanah. Massa berteriak makin histeris.
Semua orang terpekik dan mengucap berbagai kata untuk memohon maaf pada Tuhan.
Tapi apakah Tuhan mendengarkan mereka? Mereka semua berlari. Keadaan hiruk
pikuk. Chaos. Tidak ada yang peduli
lagi dengan nasib John ataupun Jackson.
London, 16 April 1889
Kota
London di jaman Victoria hiruk pikuk. Kereta kuda, kereta pengangkut bir,
perempuan muda penjual bunga, lelaki tua pembuat peti mati, anjing
berkejar-kejaran, anak-anak main lompat tali, beberapa lelaki memainkan organ
dengan monyet kecil di atasnya, juga pemilik kedai yang marah-marah karena
seorang pelanggan baru berkelahi dengan pencuri uangnya. Jalan-jalan yang penuh
dengan kehidupan. Kehidupan yang berat dan menyesakkan, sehingga bisa membuat
orang berbuat apa saja.
Charles
menenggak teguk terakhir dari bir botolan yang murah. Ia baru saja
menyelesaikan tur bersama sebuah kelompok teater. Di masa itu, panggung musik
dan teater sangat populer di Inggris. Dari sekitar dua ratusan panggung di
Inggris, tiga puluh enam itu sendiri ada di London. Di zaman belum ada radio
atau televisi, tidak heran jika mereka yang mempunyai uang, datang ke pertunjukan.
Karena itulah tempat mereka dapat melupakan kehidupan keras jalanan di jaman
Victoria.
Charles
dipaksa meminum satu botol lagi. Seperti kebanyakan pekerja panggung lain, ia
menghabiskan uangnya seringkali dengan minum, baru sisanya untuk kebutuhan
rumah tangga. Charles rupanya belum menyadari kalau istrinya sedang berjuang
seorang diri.
Di
sebuah rumah kecil, Hannah menghela nafas lega setelah anak keduanya lahir
dengan selamat. Bayi itu menangis keras. Hannah tersenyum, lalu senyumnya
mendadak berhenti kala mengingat realita yang akan mereka alami. Anak itu
bernama Charles Spencer Chaplin. Mempunyai nama depan sama dengan sang ayah,
dengan harapan bisa merubah imej buruk yang disandang ayahnya. Anak itu kelak
akan dikenal orang seluruh dunia dan kiprahnya akan sangat berpengaruh di dunia
hiburan. Ya, di tahun 1900-an ia akan lebih dikenal dengan nama Charlie
Chaplin.
Charlie
kecil sering berjalan-jalan sendiri di jalanan kota London. Kadang menjumpai
ayahnya yang sedang mabuk atau sedang menggoda perempuan penjual bunga. Tapi
Charlie tidak peduli. Ia hanya merasa harus berbuat sesuatu. Sesuatu yang lebih
baik. Ia menatap nanar para pengemis tua buta atau yang kaki mereka dihinggapi
kusta, anak-anak yang bergelantungan di lampu-lampu kota kala bermain petak
umpet, juga kuli-kuli angkut barang yang memanggul beberapa kali lebih berat
dari tubuhnya sendiri. Maka di usia yang masih muda, Charlie memasuki dunia
hiburan. Charlie merekam semua yang ia dapat di Eight Lancashire Lads, sebuah
kelompok penari cilik yang kelak akan menjadi bekal awal kehidupan Charlie.
Hiroshima, 6 Agustus
1945
Nobuyuki
baru saja meninggalkan rumahnya ketika ibunya berteriak memanggil namanya
sekali lagi. Rupanya, sarapan pagi Nobuyuki belum juga dihabiskan. Ibu Nobuyuki
memang orang yang sangat disiplin, ia paling tidak suka dengan segala
ketidakteraturan atau yang bersifat ketidaksopanan. Sarapan pagi itu penting,
ucap ibu Nobuyuki suatu ketika. Seperti pagi-pagi sebelumnya, Nobuyuki menuruti
kata-kata ibunya. Walaupun ia sering dimarahi, namun Nobuyuki tidak pernah
merasa kesal. Walau bagaimanapun perempuan itu adalah ibunya. Ia tidak ingin
melukai hati ibunya. Nobuyuki sangat paham arti seorang ibu.
Tidak
seperti biasanya, pagi itu ibu menanyakan kapan Nobuyuki akan menikah. Nobuyuki
hanya tersenyum. ia lalu mencium pipi ibunya sambil berkata bahwa ia akan
menikah setelah ia bisa membelikan rumah baru untuk mereka. Rumah mereka sudah
terlalu tua untuk ditinggali. Kalau hujan, air hujan bisa membanjiri rumah
karena atap rumah banyak yang bolong. Dinding kayu itupun telah banyak yang
dimakan rayap. Ibunya masih tidur di atas selimut tua yang memang cukup tebal,
tapi sangat tidak nyaman. Hal-hal itulah yang menunda segala kebutuhan yang
bersifat pribadi bagi Nobuyuki. Ibunya hanya terdiam mendengar kata-kata
Nobuyuki. Entah apa yang dipikirkannya.
Nobuyuki
memang pekerja keras. Sebulan sekali ia pergi ke Tokyo. Sebagai seorang dokter,
ia memang harus rela waktunya menjadi sangat langka karena dokter yang sangat
sedikit di jaman itu. Ia masih beruntung karena tidak diikutsertakan dalam
perang atau ke negara lain seperti Indonesia misalnya, karena ia pasti akan
tidak dapat membendung rasa rindu pada ibunya.
Nobuyuki
pergi pagi itu, ia mengecup pipi ibunya sekali lagi. Kepergian Nobuyuki ke
Tokyo dilepas dengan tangis lirih sang ibu. Ditengah perjalanan, jantung
Nobuyuki serasa berhenti. Ia mendengar kabar di radio bahwa bom atom jatuh di
Hiroshima. Nobuyuki melompat dari kereta yang sedang berjalan pelan. Ia mencoba
mencari tumpangan mobil atau apapun yang dapat ia temui untuk bisa kembali ke
Hiroshima. Namun sayang, Nobuyuki tidak dapat menghentikan mereka, walaupun ia
saat itu berada di tengah sebuah keramaian. Yang Nobuyuki ingat, sebuah truk
militer melaju tepat ke arahnya.
Suatu ketika, di suatu
tempat.
Jackson
dan John saling berpelukan. John terluka parah, namun Jackson berhasil membantu
menyelamatkannya. John mengira Jackson masih berada di area gedung yang hancur
kala peristiwa itu terjadi. Yang ada justru sebaliknya, Jackson memanggil-manggil
John yang berlari ke arah reruntuhan. Maka, Jackson menyusul dan menarik lengan
ayahnya sesaat sebelum satu gedung itu menyusul saudaranya. Jackson tidak
sendiri, ia dibantu oleh seseorang ketika menyelamatkan John.
John
mengikuti pandangan Jackson yang sedang tersenyum pada seseorang. Charlie tua
dengan rambut yang hampir seluruhnya memutih tampak terengah-engah, ia membalas
senyum Jackson dan John. Pakaian Charlie penuh debu, lengannya tampak berdarah.
Charlie mengedipkan sebelah matanya pada Jackson yang kemudian segera
membalasnya.
Tak
lama kemudian, Charlie, John dan Jackson menoleh bersamaan ke arah datangnya
suara langkah kaki yang terburu-buru mendekati mereka. Tampak seorang lelaki
muda berpakaian rapi, namun tampak basah karena keringat.
“Maaf,
saya agak terlambat. Saya harus mengompres luka ibu saya dulu,” kata seorang
lelaki bernama Nobuyuki. Ia lantas mengeluarkan berbagai antiseptik dan obat
dari dalam tas kerjanya.
* * *
7
Juli 2007
TENTANG PENULIS
Heri
Purwoko, sudah menulis beberapa karya; Main
Hati Dengan Siti (kumpulan flash fiction, 2009), Makhluk Manis dalam Bis (FTV),
beberapa cerpen, puisi, dan naskah skenario film pendek dan teater. Mengenyam pendidikan film di Institut Kesenian Jakarta, pernah bekerja di
sebuah stasiun tv swasta, masih aktif menulis dengan beragam bentuk, dan senang
berbagi dengan siapa saja. Kini selain menekuni bidang branding dan media, juga menjadi dosen penulisan drama di ATKI dan
mentor ekstra kulikuler proses kreatif di SMK Jakarta Pusat 1.
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Posting Komentar untuk "CERPEN : "METROPOLIS" Oleh: Heri Purwoko"