Lelaki Pencemburu dan Bulan Biru
Oleh:
Fahry Alamsyah
“Aku
akan pergi ketika bulan biru itu tiba!” ucap lelaki itu, dengan suara keras
menghadap ke pintu sebuah rumah reot beratap daun serdang. Lalu dengan sekuat
tenaganya lelaki itu melemparkan sebuah batu ke rumah berdinding anyaman bambu
itu. Namun tak ada reaksi dari dalam
rumah di tepi hutan, mungkin tak ada penghuninya tapi mengapa lelaki itu begitu ngeyel berbicara di depan pintu rumah
itu.
Bulan
biru, kata-kata itu sepertinya masih asing di telinggaku. Sejak kapan bumi ini
dihadiahkan bulan biru, itu pasti hanya mitos semata. Pulang aku ingin pulang
sebenarnya tapi aku binggung mau pulang kemana, sudah dua minggu ini aku kan
pergi dari rumah, aku hijrah berkilo-kilo
meter meninggal rumah dan kampungku. Karena...Ah tak akan kuceritakan sekarang
apa penyebab aku hijrah.
Tentang
lelaki itu, berhari-hari merenung di ambang jendela rumah panggungnya, menunggu bulan biru
itu datang menyapa malam, menyapa tubuhnya padahal yang menyapanya hanyalah
angin malam, menusuk masuk ke dalam tubuhnya melalui pori-pori kulitnya,
tentang bulan biru! Dasar lelaki gila! Gila ...! hanya itu ucapan yang pantas
untuknya.
Cintalah
yang membuatnya begitu hina dihadapan bintang, di tengah malam, terperangkap
oleh angin. Cintanya pada seorang perawan desa, Sulastri namanya. Memang gadis
itu begitu mengoda di mata lelaki siap menikah seperti Pur –Lelaki yang
bersumpah akan pergi ketika bulan biru tiba- Ah apa pantasnya aku memikirkan kisah, tapi
aku juga tak ingin melewatkan kisah ini.
“Sampai
kapan kau akan meninggalkan rumah dan kampungmu, Nak? Apa kau tak kasihan sama
Ibumu yang mungkin saat ini sedang menunggu kepulangan kau di ambang pintu.”
Ucap seorang lelaki tua bernama Nuz itu. Membuat aku ingat pada sosok ibu,
wajah tirusnya, rambutnya yang sudah memutih, guratan di dahinya membuat aku
semakin rindu padanya . Tapi jika aku pulang justru malah akan membuat aku
semakin sakit hati.
“Entahlah
Pak Nuz, saya sendiri belum tahu harus sampai kapan saya pergi meninggallkan
rumah.” Dia diam, matanya tajam menatap langit malam dari jendela rumah
panggung ini, asap rokok yang ia hembuskan hampir menutupi seluruh kepalanya.
Membuat dadaku sesak, sejujurnya inilah yang membuat aku menderita selama aku
menumpang di rumah pak Nuz. Sungguh
suatu kebiasaan buruk.
“Apa
bapak tak meningginkan aku tinggal disini lagi?” ucapku membuat suasana membeku
dan tak nyaman. Lelaki sebatang kara itu berdiri dari tempat duduknya, mungkin
kata-kataku tadi membuat runyam semua gambaran yang ia pandang di langit,
membuat ia tak nyaman.
“Jika
saya tak mengingin kau tinggal disini!
sejak awal kau takkan saya izinkan berada disini.” Kali ini ia menuangkan air
putih dari kendi kedalam gelas, lalu duduk kembali ke kursinya dan memandangi
langit. Oh tidak! Apakah aku sudah menyakiti perasaannya?
“Hari
sudah malam, sebaiknya kau pergi kekamar.” Aku tak menjawab, segera aku pergi
ke kamar, meninggalkannya sendiri bertemankan senyap malam.
* * *
“Coba
lihat bulan itu, berjanjilah padanya kalau kau tak akan meninggalkanku,” ucapku
malam itu pada Imel. Wanita yang sangatku sayangi seumur hidupku.
“Iya,
aku sudah melihatnya. Di balik pancaran sinarnya, coba kau lihat lebih dalam
lagi, ada kita berdua disana. Hanya berdua,” jawabnya, membuat hati bergemuruh
keras.
“Apakah
itu bertanda bahwa kita tak akan terpisahkan?”
“Aku
tak akan terlalu percaya dengan hal-hal semacam itu, semua sudah di tentukan di
atas,” Aku diam, aku juga percaya bahwa semua sudah di tentukan oleh yang di
atas. Tak terkecuali itu jodoh, tapi apalah salahnya jika kita memilih jodoh
yang terbaik untuk mendampingi hidup kita kedepannya nanti.
Pertanda
apa itu!
Mama,
aku kembali teringat padanya. Rasanya aku ingin pulang, tapi lagi-lagi rasa
sakit itu akan menghujam ke hati ini. Tidak! Aku tidak kuat, bila harus
merasakan itu semua, sudah cukup...sudah cukup! Aku tak menginginkan lagi masa
lalu itu terulang kembali. Mama aku ingin pulang, aku ingin pulang.
* * *
“Semuanya
dewi bulan, dewa matahari. Bulan biru akan tiba, bulan biru tidak akan datang!
Aku pasti akan mendapatkan cintanya.” Suara lelaki itu melengking keras di tengah kampung, membuat orang-orang
kampung terbangun dari tidurnya. Banyak ocehan dan umpatan yang di tujukan
kepada lelaki itu, Pur lelaki itu
sepertinya sudah kehilangan jiwa warasnya! benar-benar mengerikan, kadang juga ia mengaung
mirip siluman rubah ekor sembilan seperti dalam drama Korea yang tak
melihat kehadiran kekasihnya, di bawah rembulan, apa lagi dia mengaung di
samping rumah pak Nuz tepat dekat kamarku. Aku keluar kamar bermaksud
menegurnya, namun dengan cepat pak Nuz melarangku untuk menemui Pur.
“Tak
usah kau hiraukan lelaki itu, Alvian!” Langkahku terhenti begitu saja.
“Lelaki
yang gila karena cinta! Seperti tak ada wanita lain saja di hamparan bumi ini!”
ucapan pak Nuz begitu menghujam hatiku, mampu merobek-robek hatiku yang sudah
terluka. Terluka sama seperti yang di rasakan Pur. Pur yang gila karena cinta.
* * *
“Praka...praka
keluar kau!” suara mas Pur membangunkan tidurku, aku pun langsung keluar kamar
dan menemui lelaki itu. Betapa terkejutnya aku saat melihat mas pur di depan
pintu dengan membawa sebuah golok yang ia pegang erat-erat, matanya tajam
menatapku, seperti ada dendam yang sudah lama tak terbalaskan di balik
pandangan itu.
“Kau
jangan mencoba merebut Sulastri dariku!” ucapnya dengan nada yang keras, golok
yang ia pegang, ia angkat tangannya seperti ingin menebasku! Aku tertunduk
ketakutan, tiba-tiba ada tangan tua yang menghentikan itu.
“Pur
kau sudah, gila! Jangan kau lakukan ini.” Nuz lelaki tua itu, menghalangi.
Perlahan Pur menurunkan tangannya, ini
jelas sebuah kesalahpahaman. Sejak kapan aku mendekati Sulastri dan ingin
merebutnya dari tangan Pur. Dan dari mana pur mendapatkan pikiran itu, ini
jelas-jelas sebuah kegilaan yang sulit untuk di ramu lagi oleh kejiwaannya. Praka
Alvian, aku mengeja nama sendiri. Mencoba mencari sesuatu dari nama itu,
seorang pengecutkah! Atau pecundang yang memiliki nama indah itu.
“Alvian
kau jangan tumbuh menjadi lelaki pecundang,” itu kata-kata ayah, ketika aku
masih berusia sembilan tahun, kata-kata yang masih membekas dari dulu sampai
sekarang. Kata-kata yang ayah pesankan kepadaku sebelum ia meninggal dalam
kecelakaan pesawat beberapa tahun yang lalu. Akan tetapi aku bukan tumbuh
menjadi lelaki pemberani, aku tumbuh menjadi lelaki pengecut serta pecemburu!
Pecemburu, gelar itu yang layak harus kusandang, rasa cemburuku mungkin terlalu
berlebihan, overdosis lebih tepatnya.
Aku
benar-benar tidak bisa mengendalikan rasa cemburuku ini. Rasa cemburu yang
membuatku, terdampar di kampung kecil ini, bertemu dengan lelaki tua bernama
Nuz, lelaki gila karena cinta Pur dan bidadari cantik bernama Sulastri. Rasa
cemburu juga sudah memisahkan aku dengan mama dan juga kampung halaman. Rasa
cemburuku pada wanita yang sangat aku cintai, Imel dengan teganya ia
meninggalkanku begitu saja.
* * *
Bulan
biru, ketika pur ingin pergi saat bulan biru itu tiba, maka aku akan memutuskan
untuk pulang kerumah saat bulan biru itu datang, menerangi bumi dan menjadi
perhiasan abadi nan langka mengisi ruang langit. Tapi, lebih itu aku akan
berusaha mengubur rasa kecemburuanku yang berlebihan ini. Kalau aku pergi dari
sini kemudian pur pergi dari sini ketika sinar bulan biru itu tiba, bagaimana
dengan Sulastri, apakah? Apakah Sulastri akan menjalani hidupnya sendiri tanpa
pendamping. Ah, ... jujur sebenarnya aku sangat menyukai dia, sebenarnya gadis desa itu juga yang sudah
membuat aku betah tinggal disini.
Seorang
gadis desa yang tak kalah kecantikannya dengan gadis kota, apalagi Imel, walau
dulu aku pernah mengatakan bahwa Imel itu gadis tercantik yang pernah mengisi
hatiku, Sulastri seorang gadis cantik berpenampilan sederhana, wajar saja pur
begitu menyukainya. Aku saja langsung jatuh cinta pada pandangan pertama,
pertama kali aku berjumpa dengannya ada desiran-desiran luar biasa dalam
hatiku. Aku sudah terperangkap dalam relungan cinta lagi.
Saat
rasa-rasa lain mampu kau kerdilkan kenapa cemburu begitu meraksasa dalam
jiwamu, dalam hatimu itu hanya ada besitan-besitan luka yang kau goreskan
sediri. Kau tak sadar rasa cemburu itu sudah membuat bidadari-bidadari surga
sedih melihatmu, dan membuat ratu iblis tertawa riang, rasa cemburu itu telah
membuat hentakkan luar biasa dalam perut bumi, kalau sudah di perbudak cinta!
di permainkan oleh rasa cemburu! (*)
Prabumulih,
Desember 2013
TENTANG PENULIS:
Fahry Alamsyah nama
pena dari Alamsyah. Lahir dan di besarkan, 9 September 1992 di kota Prabumulih
sebuah kota kecil di Sumatera Selatan. 2 Cerpennya dimuat dalam antalogi
kumcer, Bidadari Tomboy 2011 dan Cinta Tak Selebar Daun Kelor 2013.
Selain itu 2 cerpenya “Be A Spesial”
juara 2 lomba menulis cerpen pensil Univ.
PGRI Palembang, 2012 dan cerpen “Manusia
Tiga Wajah” juara 2 dalam ajang Anugerah Cerpen Silampari, LubukLinggau
2013 tingkat Provinsi kategori umum.12 besar lomba menulis surat untuk
pemimpin, Sriwijaya Fair Book, LubukLinggau 2012. Nominasi FLP Award Wil.
Sumsel kategori penulis produktif, Mei 2013. Saat ini penulis sedang menekuni
novel pertamanya dan terlibat aktif di keanggotaan FLP Cabang Prabumulih,
SumSel. Penulis tinggal di
Jalan Bangau Gg Belimbing no 18 Karang Raja 2 kel Karang Raja kec. Prabumulih
Timur Kota Prabumulih.
Dan bisa dihubungi
lewat: FB Fahry Alamsyah
atau Twitter @FahryAlamsyah1
CATATAN: Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Lelaki Pencemburu dan Bulan Biru" Oleh: Fahry Alamsyah"