Ilhidayatul Husna, Penulis dari Pelosok Desa Minang, Susah Sinyal Bukan Alasan


Menulis Karena Hobi, Menyulam dan Berladang untuk Makan 
Namanya Ilhidayatul Husna, lahirnya di Sumatra. Hidupnya sederhana, tapi ia dapat memandang puas seisi alam tanpa penghalang tembok tinggi menjulang. Panggil saja Husna. Perempuan berdarah Minang ini lahir di Payakumbuh, Sumatra Barat, 13 september 1999. Sejak kecil, Husna akrab dengan suara binatang-binatang sawah di sekitarnya. Suara jangkrik setiap malam menjadi pengiring tidurnya hingga terbangun di pagi hari. Saking asrinya, tak jarang binatang kecil sejenis kumbang suka mampir ke rumahnya. Binatang yang dinamai masyarakat sekitar sebagai uwia-uwia itu cukup berisik dan menjadi pemandangan biasa warga desa.

"Kampung halamanku masih begitu asri. Jauh dari polusi udara, tanaman hijau masih sangat subur, sawah-sawah sebagai penghasilan para petani," tulisnya melalui percakapan whatsapp. Remaja yang belum genap berusia 20 tahun ini menceritakan tentang kesehariannya di kaki gunung bukit Bunian. Setiap hari Husna membantu ibunya yang merupkan tulang punggung keluarga. Seperti wanita Sumatra Barat pada umumnya, menyulam menjadi mata pencaharian tambahan Husna selepas dirinya lulus SMK. Tak ada pekerjaan lain selain menyulam dan berladang. Untuk menyelesaikan satu sulaman kain atau mukena, Husna harus menghabiskan waktu satu minggu dengan upah kerja sebesar 30.000 rupiah dari pemesan sulaman. Pemesan sulaman itu tak lain adalah tetangganya sendiri yang juga mendapat pesanan dari pengusaha kain di pasar kain di Bukit Tinggi.

Berladang di atas Lahan Gadaian 68 Tahun Silam
Perempuan Minang dengan suku Caniago ini, dibesarkan di lingkungan yang sangat sederhana. Fasilitas di rumahnya jauh dari kata standar. Husna tinggal bersama nenek, kakek, ibu, dan dua orang adiknya. Sementara Ayahnya, sudah tiga tahun meninggalkannya karena alasan klise, karena hadirnya orang ketiga.

Waktu yang terus berjalan, membuat Husna dan keluarganya mengabaikan kelakuan ayahnya. Mereka bekerja keras untuk mencari makan sehari-hari. Beruntung ibunya ahli dalam menjahit dan menyulam, dan jika waktu memungkinkan sesekali menjadi buruh tani di ladang yang sudah tergadai selama 68 tahun lamanya.

Jika panen tiba, ibu Husna harus rela membagi hasil panen padinya kepada pihak yang meminjamkan uang kepada nenek Husna selagi muda. Jika boleh dihitung, maka sistem bagi hasil itu sudah berlangsung 68 tahun semenjak ladang persawahan  tergadai waktu neneknya masih usia 10 tahun. "Bagi hasilnya sama orang tempat kita menggadaikan sawah itu, mbak. Terus begitu setiap panen. Misanya dapat 10, ya sama-sama 5, yang 5 karung buat orang itu dijual, dan semua uang dia. Satu karung padi 165 ribu jadi begitu seterusnya. Udah banyak sebenernya uang ke sana. Tapi sawah belum bisa balik," curhat Husna kepada tim JPI.

Husna menghitung, bila dirupiahkan saat ini, maka biaya untuk menebus ladang sawah neneknya yang tergadai itu besarnya sekitar Rp.14.000.000,-. "Katanya 3 rapiah (hitungan uang orang dulu) kalau ditebus sekarang mungkin bisa 14 juta lebih. Harga 1 rapiah dibandingkan sekarang ada 5-7 jutaan. Luasnya kurang tau, mbak. Pokoknya hasilnya cuma 12-13 karung paling banyak."

Menyulam Karena Tuntutan
Selain menulis, menyulam pun merupakan hobi yang menjadi keharusan bagi Husna untuk menambah pundi-pundi rupiah guna bertahan hidup. Husna menyulam di atas kain yang sudah dipola untuk membuat baju, begitu juga dengan mukena untuk sholat. Kemampuannya menyulam berawal dari melihat sang ibu menyulam. Berulang kali Husna mencoba kain usang tak terpakai untuk disulam hingga pada akhirnya ia pun terampil mengurai benang di atas kain. "Ngeliatin ibu ngejahit aja, mbak. Habis itu nyoba-nyoba di kain yang nggak kepake 1 harian aku bisa. Terus dengan berani ambil satu kain, kelarnya 2 minggu lebih. Gerakannya masih lamban waktu itu, kan diputer-puter benangnya," jelasnya.
Hasil sulaman Husna ayng dikerjakan selama seminggu dengan upah Rp30.000
Bisa dibilang Husna juga tulang punggung keluarga selain ibunya. Kedua adiknya putus sekolah. adiknya yang nomor dua kini merantau di Bangkinang untuk mencari kerja sebagai buruh angkut, itupun hanya cukup untuk membiayai dirinya karena upahnya hanya Rp600.000 per-bulan. Sementara adik bungsunya, terkulai lemah di atas pembaringan karena penyakit yang dideritanya. Kelainan tulang yang diderita semenjak usia 8 tahun akibat seringnya terbentur dan terjatuh.

Menulis sambil Menjaga Adik yang Mengalami Kelainan Tulang
Di tengah keterbatasan waktu dan fasilitas, Husna tetap bisa berkarya. Hobinya menulis berbuah manis, ketika novelnya terbit melalui penerbit indie dengan judul Relung Rindu di tahun 2016. Husna nyaris putus sekolah karena keterbatasan biaya. Namun semangatnya untuk selesai sekolah bisa membuktikan bahwa yang mustahil menjadi mungkin. Sejak kelas 1 SMK hingga lulus, Husna selalu mendapat beasiswa kurang mampu, dan beasiswa Kartu Indonesia Pintar (KIP) dari pemerintah. Kesempatan mendapatkan beasiswa saat sekolah tingkat atas membuat pikirannya tenang tanpa bayang-bayang harus putus sekolah. Bantuan pemerintah membuatnya menjadi tenang dan memacu semangatnya untuk aktif di sekolah. Semasa sekolah Husna aktif mengikuti berbagai kompetisi. Salah satu kompetisi yang pernah ia ikuti adalah lomba membuat iklan layanan masyarakat antar kelas. Meski tidak meraih juara, tapi Husna merasa senang, sudah bisa berpartisipasi dalam kompetisi itu.
Novel Relung Rindu, karya Ilhidayatul Husna (2016)
Sampai sekarang, Husna tetap fokus menulis. Tak ada alasan baginya untuk tak menulis, meski terkadang ia harus mengutamakan pekerjaanya sebagai penyulam kain, menjaga adiknya yang sakit entah apa namanya yang menyebabkan tulang belakangnya bengkok, serta harus menunggu padi kering saat ibu, nenek, dan kakeknya keluar rumah untuk berladang. Bagi Husna, dengan menulis ia bisa membangun karakter apapun yang ia mau, terjun dalam dunia yang dibuat sebahagia mungkin, karena menulis sudah menjadi dunianya. "Dalam tulisan itu, saya mampu menuangkan segala hayalan yang tidak pernah saya dapatkan, tapi mampu saya hidupkan lewat tulisan ini. Selain itu, saya juga senang, bisa memberi manfaat bagi orang lain lewat tulisan, entah itu membuat mereka senang, tersenyum, bahkan tertawa saat menikmati tulisan saya."

Husna menyatakan, bergabung dengan komunitas menulis, Jaringan penulis Indonesia (JPI) membuatnya kian percaya diri. "Saya merasa sangat senang bisa bergabung di JPI, sebab di sana banyak para penulis senior yang bisa membimbing saya. Terlebih om Endik, selalu mengasih tips-tips dalam menulis," tambah Husna.
Menunggu Adik bungsu (13 tahun) menjadi keseharian Husna, selain menulis dan menyulam
Harapan Husna tak jauh berbeda dengan para penulis Jaringan Penulis Indonesia yang juga ingin menembus penerbit besar. "Target yang ingin saya capai saat ini, ingin karya saya tembus di penerbit mayor, bukan karena saya tidak ingin diterbitkan secara indie, tapi saya hanya ingin merasakan bahagia saat buku terpajang di seluruh Gramedia Indonesia. Menyusul buku-buku mereka yang bagus-bagus." 

Husna berbagi cerita tentang kegemarannya membaca buku non-fiksi. Menurutnya, buku non-fiksi memuat bayak pelajaran yang bisa dipetiknya. Dengan membaca buku non-fiksi, ia bisa bangkit dari keterpurkan yang pernah membuatnya tumbang. "Bahwa keterpurukan bukan untuk ditangisi, tapi untuk ditinggalkan demi mengejar kebahagiaan. Hidup dalam cobaan yang diberikan memang berat saat ditangisi, tapi akan ringan saat dihadapi."

Susah Sinyal, Husna kerap Cari Sinyal Hingga ke Kedai Tentenya
Tantangan demi tantangan berhasil ia lewati, meski usianya masih 18 tahun, namun berbagai cobaan hidup membuatnya kian matang dan bijak menjalani kehidupan. "Takdir membuat aku dewasa sebelum waktunya, impian banget pengan kuliah. Tapi, aku juga nggak bisa maksa, apalagi pas baca di grup JPI, pendidikan tinggi bukan satu-satunya yang menghantarkan orang sukses. Dulu, malahan aku yang terpuruk banget, jadi pendiam, dan temen sebangku aku support  (dukung) aku, dan diapun nasibnya sama kayak aku, tapi dia bawa dengan santai. Disitu akupun bisa belajar, nggak manja lagi, nggak nunggu minta uang ke ibu, karena aku bisa nambahin jajan sendiri dengan ngejait."

Tinggal di kaki gunung Bukit Bunian, di antara hutan rimba yang gagah perkasa, jauh dari kota dan pusat perbelanjaan, bahkan jauh dari jaringan internet berjaringan 4G. Inilah tantangan besar yang harus dilalui Husna. Halangan besar yang membuatnya terbatas untuk mengirim karya tulis adalah sinyal yang begitu susah. Jangkauan sinyal kurang baik, bahkan jaringan internet di lingkungan Husna  lebih dominan "edge" yang berarti di bawah 3G.

Kepada tim JPI Husna bercerita, "Saya harus keluar dulu untuk mencari sinyal yang baik, pergi ke kedai tante saya (kurang lebih 100 meter dari rumah), di dekat persawahan yang luas, tanpa ada pohon-pohon besar yang menghalangi jangkauan sinyal, itupun hanya menjangkau 3G, jarang untuk bisa 4G." Meski jaraknya cukup dekat, tapi Husna harus melewati tebing untuk sampai ke kedai tantenya. "Emang agak deket, tapi rumah tante aku di dataran bawah, deket sawah-sawah gitu. Sementara aku, agak naik ke atas," tegasnya singkat.

Susah sinyal tampaknya bukan menjadi alasan untuknya berhenti menulis. Husna belajar banyak lewat percakapan grup whatsapp Jaringan Penulis Indonesia. Meski terkadang sinyalnya lemot, tapi Husna terus berupaya mencari sinyal untuk menyampaikan tulisan-tulisannya pada dunia.

Dari Desa Koto Sarikat, Kecamatan Guguak, Kabupaten Lima Puluh Kota, Provinsi Sumatra Barat, kisah ini sampai di tangan penulis JPI. Dari kaki gunung Bunian cerita ini bisa terbaca ribuan bahkan jutaan mata yang haus akan cerita inspiratif dan positif. Ilhidayatul Husna memang masih belia, tapi semangat dan perjuangan hidupnya untuk bertahan hidup membuat kita terpana. (DF)

Profil Ilhidayatul Husna:
Nama Lengkap: Ilhidayatul Husna
Nama Panggilan: Husna
Tempat/tgl Lahir: Payakumbuh, Sumatra Barat, 13 september 1999
Jenis Kelamin: Perempuan
E-mail: husnailhidayatul@gmail.com

Pendidikan:
- SDN 07 Kubang, Desa Koto Sarikat, Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar (2005-2011)
- Mts. Muhammadiyah Kubang, Desa Koto Sarikat, Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar (2011-2014)
- SMKN 2 Kec. Guguak, Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar  (2014-2017)

Karya:
Menerbitkan sebuah novel Relung Rindu (2016)


***
Tentang penulis:
Dita Faisal mengawali karirnya sebagai seorang model, bintang iklan, dan pemain utama FTV. Usai menamatkan pendidikan sarjananya, Dita memilih untuk menjadi wartawan. Berawal dari TVRI Nasional tahun 2008, Dita kemudian memilih pindah ke stasiun tv nasional, tvOne pada 2009. Ia pun menjadi reporter dan presenter berita. Kini Dita Faisal memegang jabatan sebagai koordinator liputan (korlip) di tvOne. Pada November 2017, Dita Faisal tercatat sebagai wartawan televisi pertama yang menginjakkan kaki di atas kereta MRT yang tengah di buat di Nippon Sharyo di Jepang. Bersama 4 orang wartawan cetak, Dita berhasil meraih tiket studi banding industri perkeretaapian di beberapa perusahaan kereta di Jepang lewat program Fellowship MRT 2017Ingin kenal dengannya? Selembar kisah hidupnya bisa dilihat disini Dita Faisal dan Dina Faisal, Merantau Ke Jakarta Demi Memperjuangkan Cita-Cita

Facebook: DinaDita Twin 

Posting Komentar untuk "Ilhidayatul Husna, Penulis dari Pelosok Desa Minang, Susah Sinyal Bukan Alasan"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress