Roseo (2)





     Dua hari yang lalu, di meja makan, di rumah Cetha tinggal bersama mamanya.

     “Menikah?”

     Seorang ibu-ibu yang usianya sudah 35 tahun, bertubuh ramping, dan mengenakan polesan make up tipis. Wanita itu menggunakan kemeja tosca  dipadukan dengan celana kulot cokelat. Ia menatap Cheta yang mulutnya setengah terbuka. Terkejut mendengar permohonan izinnya.

     “Dia masih mempunya istri, jadi Mama... jadi... “ Cetha menyesali ucapannya yang berantakan. “Mama jadi istri kedua Om Tio?” tanya Cetha yang tampak tidak setuju.

     “Om Tio baik, Cetha. Mama yakin dia dapat menggantikan posisi papamu untuk kita.”

     “Dan Mama yakin kalau Cetha akan memberikan restu begitu saja?”

     Helena adalah orang Indonesia yang lahir dan dibesarkan di Malang. Kemudian ia bertemu dengan seorang pria keturanan Italia. Laurenzo... pria dengan jiwa traveller, romantis, dan memiliki tulang dagu yang terbelah tipis di tengah. Keduanya saling jatuh cinta, dan memutuskan untuk menikah. Laurenzo menggotong Helena ke Italia. Di Italia, Helena tidak bisa berbaur karena bahasa Italia tidak ia kuasai dengan sempurna. Ia selalu rindu dengan keluarganya.

     Kemudian Cetha lahir, pada saat itulah Helena meminta izin suaminya untuk pergi. Setelah berbulan-bulan Helena tidak kunjung kembali ke Italia, Laurenzo menyadari bahwa mereka memang tidak dapat bersama dalam visi dan misi yang berbeda. Keduanya sepakat untuk mengakhiri pernikahan. Tapi, Laurenzo tidak pernah lupa untuk menafkahi putrinya. Cetha tumbuh secara fisik mirip ayahnya, yang memiliki darah Italia. Hingga dewasa Cetha, menemani ayahnya di Italia. Makanan Italia cocok dengan lidahnya. Satu-satunya makanan yang ia sukai adalah pizza.

     Sendok dalam mangkuk sup berdenting, menimbulkan irama teratur. Ibu dan anak ini menghabiskan sup rumput laut yang hampir mendingin. Cetha berencana meninggalkan makanannya jika tidak dapat meredam egonya.

     “Mama akan menikah dengan Om Tio bulan Juni.”

     “Bulan Juni itu tinggal dua bulan lagi, Ma.”

     Cetha makin jengkel dengan keputusan Mamanya. Ia semakin berharap cepat selesai makan. Udara dingin kota Malang pagi ini, membuat Cetha menggesek-gesekkan kakinya pada benda berbulu yang berada di bawah kakinya. Seekor anggora warna abu-abu berbaring sebagai penghangat untuk majikannya.

     “Om Tio, bekerja di klinik sendiri.”

     “Ma, Mama tahu kan sekarang jagat raya sedang dihebohkan dengan apa? Pelakor, Ma. Pelakor.”

     Berbarengan dengan mangkuk yang telah kosong, Cetha berdiri meninggalkan mamanya yang memiliki sejuta keyakinan untuk menikah dengan Tio, seorang dokter yang telah memiliki istri dan dua orang anak. Seakan terkejut akan perubahan Cetha, seekor kucing dengan ekor panjang mengembang di kakinya itu terbangun. Ia mengibas-ibaskan ekornya.

     “Cetha tidak setuju dengan pilihan Mama.”

     “Cetha... “

     Teriakan Helena lenyap ditelan bunyi langkah kaki Cetha yang disengaja menimbulkan suara. Kemudian, hening.





     Cetha memasuki ruang kerjanya, ruang kerja yang merangkap sebagai kamar pribadi di Roseo Caffe. Ada puluhan buku fiksi tersusun rapi di rak. Sebuah kasur, laptop, dan lemari pakaian. Ketika ingin istirahat Cetha menggunakan kamar ini. Bahkan ia pernah menginap sendirian hanya ditemani Abu, kucing anggoranya.

     Pada acara di Roseo enam hari lalu, seorang pemuda dari Komunitas Fotografi Malang menyodorkan seikat bunga mawar. Sekali lagi seikat, bukan setangkai. Perlahan Cetha tersenyum lebar. Bunga mawar dengan kartu yang bertuliskan, “Congratulation” dan di bawahnya ada inisial huruf A. Ia baru saja berbunga-bunga, tetapi sadar akan satu hal, Cetha tidak kenal dengan pria itu. Cetha hanya mengenal Jojo, salah seorang dari anggota Komunitas Fotografi Malang. Cetha mengundang komunitas itu melalui Jojo.

     Sayup-sayup Cetha mendengar ribut-ribut dari lantai bawah. Bagaimana kalau itu tim dari Dinas Kesehatan yang ingin menguji kelayakan produk dari Roseo? Sebenarnya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena Roseo Caffe dijamin halal. Dengan malas Cetha, mengambil dan memakai blus warna cokelat yang di sampirkan di kursi.

     Dua orang wanita, yang diperkirakan masih berstatus pelajar berteriak saling memaki. Ini bukan kali pertama ada pengunjung berantem di Roseo. Sebelumnya, ada sepasang kekasih bertengkar, bahkan cowoknya menendang kaki ceweknya sampai jatuh.

     Roseo juga pernah kedatangan grup arisan kurang lebih sepuluh pasang keluarga beserta anak-anaknya. Beberapa anak seusia TK itu berlari-lari membuat kegaduhan hingga dua buah gelas pecah. Pada hari itu, lantai dua diisi grup arisan yang cukup ribut dan membuat pengunjung caffe tidak nyaman.

      “Sepertinya yang satu pelakor, dan satunya pacar sah.”

     Suara Haikal, yang rambutnya keriting sebahu dan dikuncir di tengah agar tak berantakan. Cetha memanggil Haikal, untuk membawa dua orang remaja ini menjauh. Cetha tidak mau nama Roseo menjadi viral di media sosial karena, keributan ini.

     “Jangan pernah ganggu pacar gue lagi!” ucap seorang wanita yang mengenakan kemeja biru itu dengan menatap lawannya sinis.

     Oh. Rebutan cowok. Hmm.

     “Permisi, Mbak. Boleh diselesaikan di luar?” kata sebuah suara. Dua orang wanita itu terkejut mendengar suara bariton pria itu. Jangankan mereka, Cetha sendiri terkejut mendengar kata-kata itu keluar dari pria yang sudah berdiri di sampingnya. Meskipun pria itu tidak membawa senjata, dua orang wanita yang membuat keributan di Roseo memilih pergi.

     “Are you alright?” tanya pria yang hari ini mengenakan kaos abu-abu dengan tulisan Universitas Brawijaya dan celana kargo hitam.

     “I’m fine.” Cetha mengangguk, dan meninggalkan pria itu tanpa mengucapkan terima kasih.

      Pria itu memilih duduk di meja dengan nomor 10. Di dekat jendela, menghadap jalan raya. Tanggannya merogoh tas slempang hitam, mengeluarkan sebuah kamera nikon D300S. Ia mengarahkan kamera ke berbagai sudut Roseo, dan membidik targetnya. Cetha yang sedang sibuk mengarahkan Haikal merasa risih. Ia mendatangi pria itu ke mejanya.

      “Saya tidak suka dipotret diam-diam.”

      “Jadi kamu bersedia secara terang-terangan?”

      Ia tertawa terbahak-bahak dengan memperlihatkan deretan giginya yang rapi. Cetha mengeram mendengar komentar pria itu. Pria itu dari Komunitas Fotografi yang memberikannya seikat bunga dengan inisial A. Sekarang, ia ingat semuanya. Tiba-tiba Risa, HRD Roseo Caffe tergesa-gesa menghampiri Cetha memberikan selebaran.

     “Lihat! Festival Kuliner Malang 2017!” Risa antusias menawarkan pada Cetha.

     “Roseo masih punya kesempatan untuk promosi. Kalian punya waktu satu minggu lagi,” ujar pria itu menyela.

     “Oke.”

      Risa dan pria itu saling berpandangan. Seakan menyadari, Cetha tidak berada di tempat bersama mereka. Pikirannya tertuju ke lain tempat. Selama beberapa menit Cetha melihat bayangan pernikahan mamanya dan Om Tio. Sehingga, yang ia lakukan hanyalah bengong. Risa memilih pergi melihat atasannya melamun.

      “Dari tadi melamun terus kayak ayam sakit.”

      “Hanya masalah keluarga,” kilah Cetha.

      Pria itu tersenyum lalu mengulurkan tangannya, “Aditya.” Cetha mengangkat alisnya. Ia lalu menyambut uluran tangan itu. Tangan dari seseorang yang penuh percaya diri. (Bersambung)

Posting Komentar untuk "Roseo (2)"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress