Mimpi Kecil Mentari (Bagian 6) by Asih Rehey


MIMPI KECIL MENTARI (Bagian 6)
Penulis : Asih Rehey 


Kepergian Mbah Tejo masih meninggalkan semburat kesedihan di wajah Mbah Sumi. Mentari menyusul neneknya yang masih duduk termenung di depan tungku yang terbuat dari tiga buah batako. Tangan Mentari membelai lembut tangan neneknya yang sudah keriput dimakan usia.
“Nggak apa-apa, Tari. Mbok Sumi sudah ikhlas,” ucap sang nenek sambil membelai anak rambut Mentari.
“Apa Mbah kakung bakalan ke surga Allah, Mbok?” Mentari menatap dalam-dalam wajah neneknya yang masih sayu. Sang nenek mengangguk sambil tersenyum. Mentari pun menyandarkan kepalanya di bahu sang nenek yang tampak tak sekokoh masa mudanya. Rumah Mentari menjadi sepi lagi ketika semua orang kembali ke rumah masing-masing. Mentari sengaja menghitung orang yang datang hanya sepuluh orang yang mengurusi jenazah Mbah Tejo, hal tersebut membuat Mentari benar-benar bingung, kenapa keluarganya selalu dikucilkan.
Setelah panas api tungku terasa panas di kulit Mentari, gadis berkulit legam itu berdiri dan meninggalkan Mbah Sumi sendirian. Ia berusaha mengambil sesuatu dari dalam tas ransel berwarna biru tua di sudut balai-balai. Sebuah majalah yang diberikan Bu Agatha tempo hari diambilnya. Dia masih mengamati judul majalah yang terpampang dengan tulisan agak besar dan memperhatikan gambarnya. Majalah berjudul “Liburan ke Desa” itu dibukanya dengan perlahan. Dia masih mengamati tiap halaman yang dibukanya. Suara ucapan salam membuat Mentari mendongakkan kepalanya ke arah pintu.
“Waalaikumsalah,” jawab Mentari sambil menutup majalah di tangannya. Senyuman hangat Bu Agatha membuat Mentari tampak berbunga-bunga. Dia bergegas melempar majalahnya dan berlari ke arah guru yang sudah masuk ke dalam rumahnya. Mbah Sumi pun berdiri dan menyambut kedatangan Bu Agatha, Laila dan juga Arjuna yang membuntutinya dari belakang. Setelah mencium tangan Bu Agatha, Bu Agatha mencium tangan Mbah Sumi dan mengucapkan belasungkawa. Laila berusaha memeluk Mentari, gadis berambut kumal itu menyambut pelukan Laila. Matanya tertuju pada seorang pemuda kecil yang tersenyum di belakang Laila.
“Kamu?” tanya Mentari kebingungan dengan kedatangan Arjuna.
“Sebagai teman, aku juga ikut berduka atas meninggalnya Mbah Kakung  kamu, Tari,” jelas Arjuna. Setelah menyerahkan seplastik kebutuhan pokok kepada Mbah Sumi, Laila ikut bergabung dengan dua orang temannya.
“Arjuna jadi teman kita kok, Ri. Dia sekarang sekelas sama kita,” sahut Laila sambil duduk di balai-balai.
Suara erangan Yarni meraung dari kamarnya. Mentari pamit kepada kedua temannya untuk melihat kondisi ibunya.
“Ibunya Tari kambuh?” tanya penasaran Arjuna.
“Nggak tahu. Kita tunggu Tari ke sini dan tanya langsung ke dia.” Laila agak gusar berharap mamaknya tidak mengetahui kalau dia datang ke rumah Mentari.
Mentari masuk ke dalam kamar sang ibu, dia melihat ibunya sedang demam. Mentari agak panik, dia segera berlari ke arah dapur dan mengambil rantang bermotif bunga, kemudian meraih termos berisi air hangat.
“Ada apa, Tari?” tanya Mbah Sumi ikut khawatir.
“Badan Ibu panas, Mbok!” Mentari segera berlari ke kamar tak menghiraukan keberadaan Bu Agatha dan kedua temannya. Bu Agatha pun menyusul Mentari yang sudah menyiapkan handuk dan mengompres kening sang ibu. Bu Agatha dan dua muridnya yang sedikit ketakutan berdiri di bibir pintu memperhatikan kecakapan Mentari merawat ibunya. Yarni menyadari keberadaan Bu Agatha, dia kemudian mulai histeris. Mbah Sumi pun menyuruh Bu Agatha agar segera pulang. Tak disangka Yarni mengamuk, dia mendorong tubuh Mentari yang mungil dan juga menerobos tubuh Mbah Sumi yang berusaha menghalanginya. Bu Agatha, Laila dan Arjuna berlari dari rumah Mentari.
“Naik!” perintah Bu Agatha kepada dua orang muridnya. Kedua muridnya hanya menuruti perintah gurunya dan sepeda motor Bu Agatha melesat meninggalan halaman rumah Mentari. Yarni histeris dan berteriak-teriak tidak karuan. Teriakannya membuat para tetangga terusik dan keluar untuk mencari tahu apa yang terjadi. Mbah Sumi tampak terengah-engah mengejar Yarni, begitu pula dengan Mentari yang masih menahan rasa sakit di lututnya.
“Yarni! Berhenti, Nduk!” teriak Mbah Sumi yang masih berlari mengejar anak semata wayangnya. Beberapa tetangga berusaha mencegah Yarni yang masih memberontak. Pak Fahri dan Pak Ustad yang baru saja pulang mengurus surat kematian Mbah Tejo kaget ketika warga sudah mengikat Yarni dengan dadung.
“Ya Allah! Ada apa ini!” teriak Pak Ustad saat turun dari sepeda motor.
“Mbah Ustad, Yarni mengamuk! Tadi saya lihat Bu Agatha keluar dari rumah Mbok Sumi dalam keadaan panik,” ucap seorang warga.
“Astagfirulloh,” ucap Pak Ustad dan juga Pak Fahri yang mencoba ikut membantu menahan Yarni yang masih memberontak. Wajah perempuan setengah baya itu tampak sangat dipenuhi amarah. Mulutnya disumpal dengan sebuah kain oleh warga agar tidak meracau. Mbah Sumi masih menangis sedih meratapi nasib putrinya yang terikat sebuah dadung besar untuk ke sekian kalinya. Sementara Mentari, hanya termenung tak berdaya melihat ibunya mengerang ingin memberontak. Tatapannya kosong, air matanya bahkan tak bisa keluar saat melihat ibunya dalam keadaan seperti itu. Hal ini memang sering terjadi dan terus membuat hati Mentari teriris ketika melihat kondisi ibunya seperti itu. Pak Fahri bergegas meninggalkan kerumunan untuk mengambil obat bius di dalam tasnya. Bu Aisyah tampak kebingungan ketika melihat suaminya tergesa-gesa.
“Ayah, kenapa seperti dikejar harimau?” tanya penasaran Bu Aisyah sambil menggendong Surya.
“Yarni kambuh!” jawab Pak Fahri sambil berlalu, membawa tas berisi obat-obatan dan juga obat bius. Di halaman samping, tampak Arjuna berjalan perlahan menuju rumah.
“Ayah kenapa, Bunda?” tanya Arjuna masih penasaran.
“Bu Yarni kambuh. Ayahmu mengambil tas obat tadi. Kamu kenapa tampak ketakutan seperti ini sayang?” tanya Bu Aisyah membelai pipi Arjuna.
“Sebenarnya tadi aku ke rumah Mentari sama Bu Agatha dan Laila. Aku melihat ibunya Mentari tiba-tiba berusaha menyerang Bu Agatha, kemudian kami lari.” Bu Aisyah tampak tersentuh dengan cerita putranya.
“Ya sudah, kamu makan dulu. Ayah pasti akan menenangkan Bu Yarni,” pinta Bu Aisyah kepada Arjuna. Arjuna masuk ke dalam kamarnya.
Sementara itu, Yarni masih mengerang dengan ikatan dalam posisi tertidur di atas jalan aspal. Kerumunan orang yang melihatnya semakin bertambah banyak. Mentari masih termenung dari kejauhan, sementara Mbah Sumi masih berusaha menenangkan Yarni sambil menangis.
Pak Fahri membelah kerumunan dan mengeluarkan sebuah suntikan berisi cairan bius dari dalam tasnya. Tanpa ragu Pak Fahri menyuntikkan obat bius ke lengan Bu Yarni. Perlahan kesadaran Yarni melemah.
“Pak Ustad, harusnya dipasung saja si Yarni!” usul seorang warga. Pak Fahri melototi pria berkumis tebal itu.
“Walaupun kondisi kejiwaan Bu Yarni sangat buruk, tidak berarti anda sekalian boleh memasung beliau! Sama saja anda melanggar hak asasi manusia!” gertak Pak Fahri.
“Lantas bagaimana Pak dokter?” tanya yang lain.
“Saya akan membawa Bu Yarni ke rumah sakit jiwa di kota sebelah! Penderita gangguan jiwa juga memiliki hak untuk sembuh tanpa harus dipasung!” jawab Pak Fahri dengan sedikit emosi. Pak Ustad mengangguk-angguk menyetujui niatan menantunya. Mbah Sumi tampak kaget dengan keputusan Pak Fahri.
“Pak Dokter… lantas nasib Yarni bagaimana kalau di rumah sakit jiwa?” tanya Mbah Sumi dengan perasaan gundah.
“Mbah Sumi jangan khawatir. Di sana, Yarni pasti mendapatkan perawatan yang terbaik,” jawab Pak Fahri sambil memegang pundak wanita tua itu.
Mentari hanya terdiam, dia masih menatap wajah ibunya yang sudah tertidur. Wajah cantik ibunya membuatnya tersenyum getir. Mentari melihat Pak Fahri menghidupkan sepeda motornya dan bergegas meninggalkan kerumunan. Pak Ustad menyadari kehadiran Mentari di kejauhan, dia mendekati gadis yang masih menatap ibunya yang masih ditunggui warga dengan tatapan sedih.
“Nduk…” sapa Pak Ustad membuat Mentari mengalihkan pandangannya.
“Ibu mau dibawa ke mana, Mbah Ustad?” tanya Mentari meneteskan air matanya.
Pak Ustad merendahkan badannya, sambil duduk setengah jongkok Pak Ustad meyakinkan Mentari bahwa ibunya akan baik-baik saja. Tiba-tiba Mentari memeluk Pak Ustad dan menumpahkan tangisnya. Pak Ustad membelai lembut rambut kumal gadis tersebut. Deru mobil Pak Fahri datang dari ujung. Pak Fahri turun dan membukakan pintu belakang mobilnya. Tubuh Yarni dibopong beberapa warga dan memasukkannya ke jok belakang mobil tersebut. Pak Fahri meminta Mbah Sumi ikut bersamanya di temani ketua RT setempat. Mentari hanya menatap dengan mata berkaca-kaca sambil mengusap ingusnya yang masih keluar, pikirannya masih terlalu kacau menerima cobaan bertubi-tubi di hari kematian Mbah Tejo.





Asih Rehey
Asih Rehey Nama saya adalah Sriasih atau sering memakai nama pena Asih Rehey. Saya adalah seorang staf tata usaha di sebuah madrasah yang tertarik di dunia literasi. Di tengah kesibukan saya dengan dunia perkantoran, saya sering mencurahkan ide-ide yang ada dalam pikiran saya untuk menjadi sebuah karya tulis. Saya berharap tulisan saya bisa dinikmati oleh penikmat dunia literasi pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya. Untuk mengenal lebih jauh follow akun media sosial saya : Instagram : @asihrehey Facebook : Asih Rehey Assama Art Email : ashychrehe@gmail.com

Posting Komentar untuk "Mimpi Kecil Mentari (Bagian 6) by Asih Rehey"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress