Di Sudut Pasar Simpang Haru


 
  Kisahmu kutemukan di antara biji mata jengkol yang tergolek di emper los sayur mayur di sudut pasar Simpang Haru. Kau begitu sabar meladeni meski sesekali tangan satunya mengipas-ngipasi tubuh bocah empat tahun yang terlelap beralaskan karung goni dan dilapisi kain samping lusuh.
Iko bara sakilo, Uni[1]?” sebutir jengkol kuacungkan ke udara.
Kau raih butir-butiran jengkol dari tempat yang sama “Iko dijual satuan, Uni! Saribu dapek duo[2] biji. Mau?”
Tanganmu tangkas memilih butiran jengkol setelah kusepakati harga. Sebagai pembeli aku tak kalah gesit. Pesan kakak terngiang selalu. Seorang pembeli adalah raja. Maka aku berhak memilah mana dirasa baik. Dalam dunia jual beli, tak sepenuhnya kuserahkan urusan pada pedagang. Aku orang yang selalu ingin terlibat di setiap transaksi sebab tak semua pedagang berlaku jujur.
“Yakin indak nambah, Uni?” godamu cukup berharap.
Kuggelengkan kepala. Jengkol yang kutenteng di kantong plastik cukup membangunkan selera makan dua-tiga kepala. Sejujurnya aku kasihan dan ingin membeli lebih banyak lagi. Tapi percuma karena di rumah tak ada yang suka kecuali aku sama kakak. Sepertinya orang Padang tak begitu suka makan jengkol. “Tidak seperti kami” selorohku.
 “Sepertinya...” kau ragu dan aku menunggu serangkaian kalimat terurai dari bibirmu.
“Maaf, sepertinya Uni bukan asli Padang, ya?”
Wajahku tersipu. Kupikir berbicara bahasa Minang itu semudah mengganti huruf a ke o (ada→ado, lama→lamo), i jadi ia (kambing→kambiang) atau u jadi ua (jatuh→jatuah). Ternyata keliru. Pada akhirnya dialek Minangku yang patah-patah terbongkar juga. Saya di sini hanya merantau, Uni. Jawabku malu.
Sejak awal kau menyadari itu. Tampak sungkan dan berhati-hati kau tanyakan jati diriku. Dari mana asal dan apa kepentingannya tinggal di kota ini. Kota yang mulanya asing namun berkarakter. Nyaris tiap sudut kutemui bentuk atap yang runcing serupa tanduk kerbau menaungi gedung-gedung pemerintahan, juga di sebagian pusat perbelanjaan.
“Tapi saya bukan orang Jawa. Saya Sunda, Uni” paparku.
“Benarkah? Saya juga perantau. Asli Bandung”
“Kebetulan sekali. Berarti saya panggil Teteh saja?”
“Boleh”
Hari demi hari kulihat senyummu lepas dan perlahan memuai jadi tawa renyah menyegarkan. Apakah senyum dan tawa itu ada kaitannya denganku? Ah, aku terlalu berlebihan.
Perkenalan ini bermula dari ambo-angku, berubah menjadi saya-kau dan berlabuh dalam kenyamanan aku-kau/ kamu, menandakan tingkat keakraban yang terjalin. Kita bagai sepasang kakak-beradik yang lama terpisah. Apalagi usiamu sepantaran dengan kakakku.
Mengenai kakak, kau perlu berkenalan dengannya. Akan kuceritakan sedikit tentangnya. Suatu hari ia mengeluh. Diam-diam ternyata memperhatikan hidangan di meja. Awalnya ia suka dan mengira itu kerjaan Bik Yati, pembantu di rumah yang sama-sama orang Sunda. Kau tahu sendirilah, saat orang-orang sedaerah dipertemukan dalam satu meja makan, hidangan sesederhana apa pun dirasa nikmat sekalipun lauknya ikan asin, sambal terasi, kerupuk dan lalapan-lalapan termasuk jengkol atau pete.
“Beberapa minggu belakangan, menu makan kita selalu ada jengkolnya. Kamu tidak sedang rindu kampung halaman bukan?”
“Tidak juga. Hanya saja, jengkol-jengkol ini mengingatkan akan kampung halaman”
“Itu sama saja artinya. Kamu tidak betah tinggal di sini?”
“Ah, tidak juga, Teh. Mungkin butuh penyesuaian. Aku kan masih baru jadi belum terlalu banyak kenalan selain rekan kerja di kantor”
“Karena itu kamu jadi sering pergi ke pasar sendiri padahal sebelumnya, tiap kuajak selalu punya alasan untuk menolak. Benar tidak, Lis?”
“Mungkin karena pedagang jengkol itu” cetusku tiba-tiba.
“Apa? Pedagang jengkol? Jangan bilang kamu tertarik pada tukang jengkol?!”
Kau pasti tertawa membayangkan bagaimana raut wajah kakakku ketika itu. Apalagi jika mendengar langsung. Aku saja nyaris terpingkal-pingkal melihat ekspresi kagetnya yang menurutku sangat jenaka. Mana mungkin aku menyukaimu. Memangnya aku tak normal?
Teh Ratih tertawa lepas “Oo... jadi ceritanya adikku tersayang ini sudah punya teman di perantauan. Baguslah itu” Teh Ratih menyendok nasi. Nafsu makannya bertambah jika lalapannya adalah jengkol.
“Bergaul tanpa memandang status, itu aku setuju. Tapi ingat baik-baik! Tetap saja kamu harus selektif. Tidak semua orang bisa dijadikan teman. Maksudku, kenali dulu karakter orangnya sebelum memutuskan berteman”
“Sudah pasti”
“Lain kali ajak aku bertemu dengannya!”
Kakakku penasaran denganmu. Tinggal di perantauan dan bertemu dengan orang yang sesuku itu seakan memperoleh kegembiraan bertemu kerabat jauh.
“Tunggu! Seingatku pedagang jengkol yang jualan di pasar itu sudah berumur. Apa pedagang jengkol yang dimaksud lain orang?”
“Itu saudaranya. Kebetulan sedang sakit dan dia menggantikan ibu yang biasa mangkal di sana. Sebelumnya Teh Rina suka jualan di Sawahlunto.”
“Oh begitu. Rupanya kamu banyak tahu tentang si pedagang jengkol”
“Lumayan. Kasihan, Teh, dia datang ke sini mencari suaminya. Dan dia sudah tinggal di Sumatera kira-kira seumuran anaknya”
“Terus sudah ketemu?”
“Belum”
“Sampai sekarang?”
“Sampai sekarang!” sahutku membenarkan.  “Malah waktu pertama kali sampai, kabar yang didengar si suami menikah lagi dengan perempuan lain yang lebih cantik dan mapan. Tapi dia tak percaya. Menurut Teh Rina, keluarga suaminya sedang berusaha menghalang-halangi karena tak pernah setuju pada pernikahan mereka. Beberapa kali Teh Rina diusir tapi tak membuatnya jera. Dia terus mendatangi rumah mertuanya itu hingga mereka jengah dan pergi dari Sawahlunto.”
Saking asyiknya makan sambil ngalor-ngidul, kami tak menyadari kehadiran iparku dan akhirnya Uda Buyung menyela perbincangan kami.
“Indak, Uda. Kami sedang mengobrol tentang si pendagang jengkol di pasar” Teh Ratih menjawab.
Uda Buyung menahan napas sejenak. Aroma jengkol terlanjur masuk ke lubang penciumannya. Percuma ditutupi. Ia ingatkan kakakku akan perjanjian mereka. Di meja makan hanya boleh terhidang jengkol tak kurang dari sebulan sekali. Kuakui, seminggu ini tak terhitung berapa kali kami makan jengkol. Kakkaku tak mau kalah. Ia menudingku biang yang selalu menyediakan jengkol terus, “Gimana Eneng nggak tertarik mencicipi?”
Aku merasa tak enak telah menyebabkan keduanya ribut-ribut kecil. Lalu meminta maaf karena semua adalah salahku.
“Tapi Eneng juga harus pegang janji dong. Jangan main salahkan orang lain! Berarti sudah melanggar aturan berapa kali, tuh?” Uda Buyung tak mau kalah.
“Ya sudah. Neng janji sekali ini saja!” pungkas Teh Ratih mengalah.
***
Uda Buyung. Kehadirannya menjadi warna di hidup Teh Ratih. Sekaligus menciptakan keruh di hatiku. Aku merasa kehadirannya telah menghapus momen-momen kebahagiaanku bersama Teh Ratih. Hubungan kami tak sedekat dulu apalagi setelah kehadiran putera semata wayang mereka yang sukses mencuri perhatian seisi rumah. Semua kasih sayang tertumpah pada bocah itu. Bocah dua tahu yang sedang lucu-lucunya. Kami hanya berbincang saat bertemu di meja makan dan tentu membahas masalah kerjaan di kantor. Di luar itu hatiku sunyi. Teh Ratih adalah kakak yang sekaligus bosku. Sejak lulus SMA aku memutuskan magang di perusahaan miliknya sekalian mencari referensi tempat kuliah yang bagus. Tak kupungkiri, di kota Padang yang asing ini, ia menjadi kompas hidupku. Pengganti ibu terutama dalam hal karir.
Kususuri jalanan Banjir Kanal lalu memotong ke jalan Pulai. Lurus terus hingga bertemu jalan Andalas yang ke arah Sawahan. Tak jauh dari sana, aku menyebrang ke kanan dan memarkir motorku di emperan pasar. Hari-harimu tidak banyak berubah. Setiap harinya tak sesibuk pedagang cabai dan sayur mayur di los sebelah. Satu-dua pengunjung terlihat memilah-milah. Sedang kau sendiri asyik memisahkan barang yang buruk ke tong sampah. Tapi kau tak ubahnya puterimu yang selalu ceria dan tahu cara bersyukur meski hasil penjualan jengkolmu hanya cukup menyambung hidup. Padahal kau bercita-cita sekali ingin pulang kampung. Sayangnya angka tabunganmu tak kunjung bertumbuh. Selain kultur, selera lidah berbeda pula. Di kampungku, walau harga sekilo jengkol setara dengan daging sapi tetap saja jadi primadona yang selalu diburu.
“Hai, Lis! Apa kabarmu? Ke mana saja tak pernah terlihat?” kau baru menyapaku ketika dua pengunjungmu telah usai bertransaksi.
“Belakangan aku mulai sibuk, Teh. Minggu kemarin saja harus bolak-balik ke kabupaten Solok Selatan” aku menaruh helm di atas tumpukkan karung goni dan duduk di sampingmu sambil selonjoran kaki. Kusembunyikan rasa kesal terhadap iparku. Lelaki yang hidupnya dipenuhi oleh aturan-aturan hingga membuat suasana rumah kaku. Tapi kau tak perlu tahu semua itu. Mungkin dalam pertemanan kita, akulah yang justeru tertutup.
“Dalam rangka apa?”
“Mengambil pajak sekaligus mendampingi orang dari data script yang mau memberikan penyuluhan penggunaan plotter. Maklum petugas di sana sudah pada berumur, Teh, jadi menjelaskannya harus sabar dan terperinci”
“Berarti kakakmu orang hebat ya? Tepatnya pengusaha hebat”
Aku mengulum senyum. Entah kau mengerti atau tidak. Dalam hati aku mengakui pujianmu itu. Kakakku memang hebat. Sejak dulu aku kagum dan ingin sepertinya. Kau pun tersanjung saat kuutarakan keinginan Teh Ratih untuk bertemu. Atur-atur saja! Begitu katamu. Kau merendah, menganggap dirimu bukan orang penting dibanding Teh Ratih yang setiap waktunya sangat berharga. Kau juga berkata bahwa dengan mudah dirimu bisa kujumpai di sini, di sudut pasar Simpang Haru.
Matahari tergelincir di barat. Kau sudah mau pulang dan tampak membereskan barang-barang. Sambil menunggumu berkemas, kuajak main puterimu berkeliling di seputaran pasar lalu kuparkir motor metikku di emperan toko-toko. Kita janjian di sini.
“Lis ... terima kasih ya, kau mau repot-repot menjaga anakku”
“Sama-sama, Teh. Sudah beres? Berarti pulang sekarang?”
Kau menjawabnya dengan anggukkan. Langit sore begitu cerah. Lampu merah pertigaan menyala. Kendaraan roda dua dan empat dari arah Sawahan tertahan dan membentuk antrian panjang.
“Teh Ratih?” pekikku.
“Itu kakakku dan suaminya” baik Teh Ratih maupun Uda Buyung tak mengetahui keberadaan kita. Pandangan keduanya lurus ke depan. Setahuku, hari ini mereka menghadiri pembahasan proyek di salah satu dinas pemerintahan yang ada di Khatib Sulaiman. Entah berbelok dari mana hingga bisa muncul dari arah Sawahan.
“Mana?”
“Itu di mobil Honda Jazz putih. Kelihatan kan?”
“I-iyaa” jawabmu dengan suara berat.
“Yuk kita samperin mereka!”
Namun kau menghentikan tarikkan tanganku seolah tak setuju.
“Cantik. Dia sangat cantik” ujarmu dengan mata mengerjap-ngerjap seperti kelilipan.
Mobilnya seketika melesat saat warna lampu berubah hijau. Yah, terlambat!
“Kalau begitu sekarang kita ke rumah saja mumpung mereka pada di rumah”
“E-em ... maaf, Lis, lain kali saja!” tiba-tiba saja kau gugup dan memandang ke segala arah seakan menghindar agar matamu tak bertubrukan dengan mataku. Aku mengernyitkan alis. Semakin tak paham.
“Hari ini tak bisa. Aku pulang dulu, ya!” tanpa menjelaskan alasan kau pergi terburu-buru, dalam sekejapan mata tubuhmu menghilang dari jangkauan penglihatanku. Sore itu aku dibuat terbengong-bengong oleh sikapmu yang mendadak berubah. Sejak sore itu juga aku tak pernah melihatmu di pasar. Di mana rumah tinggalmu? Aku tak sempat tahu. Desas-desus mengabarkan kau pulang kampung karena telah menemukan orang yang selama ini kau cari. Berkembang dari mulut ke mulut sesama tukang sayur hingga tukang jagal. Namun mereka tak pernah tahu apakah suamimu benar-benar menikah lagi atau tidak. Cerita itu pastinya tersimpan rapat bersamaan dengan menghilangnya dirimu.
***


[1] Ini berapa sekilo, Kak?
[2] Seribu dapat dua

Posting Komentar untuk "Di Sudut Pasar Simpang Haru"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress