Dunia Kedua
Oleh: Ela Sri H
Aku
menyesal berteriak. Seluruh mulutku penuh akan lendir berbau menyengat. Bahkan
untuk muntah pun, tak lagi sanggup. Isi perutku habis saat tenggelam dalam
kubangan kotoran babi beberapa jam yang lalu.
"Hewan
apa itu?"
"Serangga.
Anda pasti pernah melihatnya, coba ingat baik-baik," jawabnya masih dengan
nada datar.
Mataku
berkunang-kunang, tubuhku lemas. Bersamaan dengan menghilangnya cahaya dan
suara, sempat kuingat serangga apa dengan wujud seperti itu.
Dung
beetle.
***
Rasa
pusing lebih dulu kurasakan sebelum akhirnya mataku perlahan terbuka. Aku
kembali merasakan tubuhku, meski sangat lemah. Mungkin aku akan mati. Tapi, aku
ingin pulang.
"Anda
sudah sadar?" tanyanya. Aku
menjawab dengan kedipan mata dan anggukan lemah.
"Kita
harus bergegas, sebentar lagi matahari tenggelam. Saya pastikan Anda mati di
sini jika belum berhasil kembali sampai matahari terbit," wanita itu
berkata tanpa melihatku. Dia sibuk mengambil tongkat dan sebuah bingkisan yang
entah apa itu.
"Hewan
yang keluar saat malam tiga kali lebih berbahaya dari hewan yang berkeliaran
saat siang. Gelap merugikan kita. Bukan tidak mungkin mereka menelan kita
bulat-bulat," tambahnya tanpa memikirkan perasaanku.
"Aku
haus," aku berkata dengan air mata yang tidak bisa kutahan. Takut, haus,
lapar, dan lelah beradu menjadi satu. Aku bahkan tidak tahu aku ada di mana
sekarang.
"Makanlah,"
wanita itu memberikan makanan berwarna kuning keemasan yang dia keluarkan dari
bekalnya.
"Sari
madu dari bunga hutan, akan mengembalikan tenaga Anda," ujarnya. Aku
mengangguk dengan mulut sibuk mengunyah makanan yang dia berikan. Enak.
"Boleh
aku minta lagi?"
"Tidak.
Kita harus jalan sekarang," katanya dengan jutek. Aku bahkan tidak tahu
siapa nama wanita garang ini. Tapi, dia satu-satunya orang yang ada di dekatku saat
terjatuh ke dasar sumur tua di tengah hutan itu. Sebuah lubang menuju kehidupan
bawah tanah. Bara dan Kakeknya pasti mencariku, aku masuk ke Hutan Siranda tanpa pamit pada mereka.
Aku berjanji tidak lagi akan masuk ke tempat-tempat yang dilarang oleh
masyarakat jika berhasil keluar dari tempat ini. Kupastikan akan menepati
janjiku kali ini. Rasa penasaran akhirnya mengurungku di tempat semenyeramkan
ini.
"Bergegaslah!"
wanita itu berteriak. Kuseka air mataku dan berjalan di belakangnya, lagi.
***
"Matahari
hampir tenggelam, bagaimana ini?" tanyaku cemas. Aku benar-benar tidak
ingin terjebak di tempat ini. Aku ingin pulang!
"Itu,"
wanita itu menunjuk sebuah gua dan tersenyum menatapku.
"Kita
sampai," tambahnya.
"Apa
yang harus kita lakukan?" tanyaku pelan. Walau lega, aku benar-benar tidak
tahu apa yang harus kulakukan di sini. Dia hanya menyuruhku mengikutinya jika
ingin pulang.
"Bukan
kita, tapi Anda," jawabnya singkat. Aku benar-benar bingung apa maksudnya.
"Saya
akan mengetukkan tongkat saya selama tiga kali. Anda harus maju ke pintu gua
itu di ketukan ke dua dan masuk di ketukan ke tiga. Paham?"
"Kenapa
tidak kita masuk berdua? Aku tidak tahu apakah kau benar-benar ingin menolongku
atau sebaliknya?" jantungku berdetak cepat saat mengatakan itu. Tubuhku
memanas, cemas.
"Dengar,
Manusia. Jika
ingin berniat jahat, saya bisa membunuh Anda di pertemuan kita tadi,"
jawabnya singkat.
"Tapi
kenapa tidak kita masuk berdua? Aku tidak tahu apa isi gua itu? Bagaimana jika
aku celaka? Dan ya, aku memang manusia tapi aku punya nama. Namaku Gea,"
kataku geram.
Wanita
itu mendengus, "saya tidak peduli siapa pun nama Anda. Anda
bukan manusia pertama yang terjebak di Dunia ke-dua. Saya lelah harus
menjelaskan berulang kali, sebab manusia selalu saja bertanya hal yang sama.
Jika Anda percaya, silahkan turuti saya. Jika tidak, saya akan tinggalkan Anda
sekarang," sepertinya kali ini, dia benar-benar marah.
"Baiklah,
aku percaya," kataku masih dengan detak jantung yang sangat cepat.
Apakah
wanita itu bukan manusia?
***
Aku
sudah di pintu gua, menunggu ketukan ke tiga dari makhluk serupa manusia itu. Perlahan kutengok
ke belakang dan berucap terimakasih. Wanita itu mengangguk dan tersenyum, untuk
pertama kalinya.
Ketukan
ke tiga, aku masuk dengan seluruh tubuh terasa panas dan detak jantung sangat
cepat. Gua itu tiba-tiba bercahaya di langkah ke duaku, membuatku berteriak,
kaget. Dan pada langkah ke tiga, aku terjatuh ke sebuah lubang.
Jantungku
berdetak tak beraturan. Apakah aku akan mati?
***
Aku
terjatuh di depan seekor ular raksasa. Tubuhku membeku. Aku tidak bisa lari.
Aku takut, sangat takut. Lidahku, tidak bisa kugerakkan.
"Kita
pernah berjumpa, Gea. Kau ingat?"
Mataku
membelalak mendengar makhluk itu berbicara. Dia tahu siapa namaku. Dia
menyebutkan namaku. Aku mendengarnya dengan jelas.
Perlahan
dia bergerak ke arahku, membuat rasa takut mencekikku. Aku bahkan sulit
bernapas sekarang. Terlalu takut.
"Kau
dan Bara sering datang ke Kampung Gubuk untuk berlibur, kan?" tanyanya
dengan lidah menjulur sesekali. Aku mengedipkan mataku dan mencoba menelan
ludah meski susah. Kampung Gubuk terletak di sebelah Hutan Siranda, Kakek Bara
tinggal di sana. Beliau sudah melarangku masuk hutan ini, warga bilang ini
hutan terlarang. Tapi, rasa penasaran mendorongku masuk ke hutan. Aku selalu
berpikir bahwa kisah horor itu fiksi. Kupastikan tidak lagi akan berpikir
begitu mulai detik ini.
"Kalian
pernah iseng mengejar dan memukuli seekor ular di Kebun Teh milik Kakeknya Bara
sampai ular itu mati, ingat?"
Kepalanya
tepat di depan mukaku sekarang, hidungku nyaris bersentuhan dengannya. Bahkan
jika pun dia memakanku, aku yakin dia tidak akan merasa kenyang. Dia sangat
besar.
Mataku
perlahan melirik corak pada kulit ular itu. Aku lupa kulit ular yang dia
maksud, tapi sedikit ingat kejadian itu. Apakah dia adalah ular itu? Dia hantu?
Jadi, sekarang dia mau balas dendam padaku?
Aku
kembali mencoba menelan ludah.
"Jangan
ulangi lagi, Gea. Jangan membunuh makhluk yang tidak mengganggumu," ular
itu membuka mulutnya lebar. Membuatku memejam, pasrah.
Tidak
kusangka aku mati di umur semuda ini.
***
Jantungku
berdetak semakin kencang saat membuka mata, sosok pertama yang
kulihat adalah Mamah yang berdiri membawa sapu. Dari ekspresi muka beliau, aku
tahu beliau sedang marah.
"Segera
bangun, Bara sudah dua jam menunggumu. Betapa bersyukurnya kamu punya pacar
sesabar dia," Mamah berkata pelan tapi jutek. Beliau benar-benar marah.
Aku
menarik napas penjang. Cuma mimpi ya? Tapi, badanku benar-benar terasa lemas
sekali.
***
"Kenapa
kamu, Ge? Nglihatin gue gitu banget."
"Kau
ingat kita pernah membunuh ular saat berlibur ke tempat Kakekmu?"
"Ehmm,
agak lupa. Kenapa?"
"Gak
apa-apa, semalam aku mimpi aneh," jawabku sekenanya.
Bara
mengerem dengan cepat saat seekor burung terbang dan menabrak kaca mobil Bara.
Jantungku berdetak cepat, mataku membelalak melihat apa yang kulihat. Wanita
dalam mimpiku berada di punggung burung itu. Kami sempat bertukar tatap sebelum
burung itu kembali terbang. Dia, benar-benar sangat kecil. Atau, aku
berhalusinasi?
Apa
aku sudah gila?
Sumber gambar: google
Posting Komentar untuk "Dunia Kedua"