Rabu, 210218. True story

Rahmat ingat benar pada hari itu, Rabu tanggal 21 Pebruari 2018. Ketika dia beserta istri dan anaknya berkunjung ke rumah idola sekaligus guru barunya. Sebelum tiba di rumah tujuan, mereka menyempatkan diri makan siang dan singgah ke masjid Jami’ Assalafiyah, Jatinegara Kaum, atau dikenal juga sebagai Masjid Pangeran Jayakarta.

Mereka-pun tiba di lokasi terdekat dengan rumah tujuan, sebuah Sekolah Dasar Negri. Saat itu sekitar jam 12.40 wib. Di depan sebuah rumah bertingkat dua yang bercat krem kecoklatan tampak sebuah bayangan di balik pagar yang tertutup fiber coklat tua.

“ Om Endik,” ucap Rahmat agak keras sambil menempelkan handphonenya ke telinga, padahal dia tidak sedang melakukan panggilan telpon.

“ Ya,” jawab seseorang dari dalam pagar, di barengi bergesernya roda pagar bercat hitam.
Rahmat segera mengenali wajah idolanya itu. Tak tampak curiga di wajah Om Endik ketika melihat kami, orang yang baru di temuinya.

“Ayo, silahkan masuk” ucap Om Endik dengan senyum khasnya, sambil menyambut tangan Rahmat yang menyalaminya.

Rahmat memasuki rumah itu dengan segala rasa yang berbaur tidak beraturan. Di lihatnya mobil jenis city car yang terparkir, pandangannya disambut oleh seperangkat alat kerja menulis yang terletak di teras rumah dengan berbagai ornamen pendukungnya.

Pintu utama terlewat, pandangan Rahmat tertuju agak jauh ke depan, ke sebuah ruangan yang tidak asing baginya. Ruangan yang kerap ia saksikan di YouTube maupun di media sosial lainnya yang menampilkan kegiatan belajar "menulis skenario”.

Seorang wanita cantik menyambut mereka, Mba Dita, istri Om Endik mempersilahkan Rahmat dan keluarga untuk duduk.

“Mba Fajar, sini dulu deh,” panggil Om Endik kepada seorang gadis manis yang berada di ruang belajar.

“Kita kedatangan Mas Rahmat, salah satu sahabat kita di grup JPI, itu loh yang sinopsisnya sedang proses syuting,” ujar Om Endik kepada Mba Fajar, muridnya dari ISI Padang. Fajar datang dan langsung menjabat tangan Rahmat, istri dan anaknya.

“ Mas Rahmat selain menulis, kegiatan sehari-harinya apa?” Sebuah pertanyaaan yang sering di khawatirkan Rahmat selama ini akhirnya terlontar juga dari mba Dita.

“ Saya satpam mba,” jawab Rahmat singkat, ia bergumam “Sebuah profesi yang sering dilecehkan, terlebih saya juga bukan satpam yang baik”.

“Mas Rahmat tahu kan, Mas Endik itu asalnya dari sebuah dusun yang jauh dari kota, Penulis itu profesi yang tidak memandang latarbelakang” ucapan mba Dita ini membuat rahmat sedikit berbesar hati.

“Sebetulnya Penulis itu menulis sesuatu hal yang tidak mesti menggambarkan keadaan sesungguhnya yang penulis alami, misalkan menulis hal-hal yang mengembirakan, padahal penulisnya tidak sedang dalam keadaan gembira, banyak kok penulis yang terkenal tidak benar-benar mencerminkan hal yang sebenarnya”. Om Endik menambahkan. Ucapan kedua idolanya ini makin mengukuhkan bahwa Penulis adalah secondhand reality, gumam Rahmat kesekian kalinya.

Sejak awal tiba dan berhadapan dengan tiga orang itu, Rahmat tidak berani menatap mereka terlalu lama, ia sibuk dengan pikirannya sendiri, beruntung ia bawa istri dan si kecil hingga dengan mudah ia mengalihkan perhatian dan tidak terlalu tampak kikuk. Bagaimana tidak, tiga orang ini paling menjadi perhatian di grup WA Jaringan Penulis Indonesia.

“Khusus untuk saya, bagaimana saya harus memulai menjadi Penulis Om?" Tanya Rahmat kepada Om Endik.

Mba Fajar sudah kembali ke ruang belajar, ia tampak asyik bersama laptopnya. Dan mba Dita sedang sibuk di ruang dapur yang terletak di samping ruang tamu, tempat Rahmat dan keluarga duduk ditemani Om Endik.

“Mulai saja dengan kegiatan rutin yang mas Rahmat geluti, menulis sesuatu yang kita alami sendiri itu lebih mudah.” Jawab Om Endik.

Pikiran Rahmat melayang pada berbagai kejadian saat bekerja di Rumah Sakit, “ Iya, benar sekali. Banyak yang saya saksikan dari perilaku pekerja, pasien, keluarga pasien dengan segala kondisi,” gumamnya.

Sekitar pukul 13.15 wib. Mba Dita keluar dari ruang dapur, bolak-balik membawa hidangan makan siang. Mba Fajar datang bergabung kembali.

“Mari makan mas Rahmat, mba,” Ajak mba Dita dan Om Endik hampir bersamaan.

“Kami terbiasa selalu makan bersama, dan semuanya ini masakan saya sendiri lho,” Kata mba Dita sambil menyendok nasi untuk Om Koes.

Sebagai bentuk penghargaan, Rahmat dan keluarga tidak bisa menolak tawaran makan yang sudah terhidang itu, lebih dari itu Rahmat tergoda dengan menu nasi coklat dan sayur waluh yang seingat dia belum pernah dinikmatinya.

Sedari awal Rahmat memang tidak bisa terbebas dari musuh di kepalanya, di ingatannya dia terbayang betapa kontras antar idola dan fans yang sangat mudah di bedakan. Namun kali ini, Rahmat mengalami hal yang sangat berbeda dengan persepsinya selama ini. Dia duduk bersama di tempat yang sama dan makan bersama dengan menu yang sama pula.

Selepas sholat ashar. Mba Dita asyik dengan smartphonenya, mba Fajar tampak nyaman di ruang belajar, istri dan anak Rahmat jalan-jalan di depan sekitar rumah. Keadaan ini seolah memberikan ruang bagi Rahmat untuk lebih dekat dengan Om Endik. Banyak pertanyaan yang sudah dirancang Rahmat untuk ditanyakan, namun semua buyar oleh kekaguman pada semua yang baru saja ia alami.

Sore itu jalan di depan rumah Om Endik ramai oleh anak-
anak yang sedang main sepak bola, dengan gawang sendal jepit. Kami berbincang sambil berdiri, bersandar pada pagar rumah.

“Adakan kelas belajar skenario lagi dong, Om,” ucap Rahmat

“InsyaAllah,” jawab Om Koes terputus. Bola mendatangi kakinya, ia menendangnya pelan ke arah anak terdekat.

"Saya sedang sibuk sekali, bahkan banyak permintaan tulisan saya tolak, Penulis itu sedikit lho," lanjut Om Endik

"Setahu saya Penulis itu bejibun Om, bahkan sepertinya novel, artikel, dan buku yang beredar sama banyaknya dengan jumlah penulis." Kata Rahmat dengan penuh harap penjelasan

"Iya betul, tapi kita kekurangan penulis yang berkualitas. Penulis yang berkualitas itu malah di kejar oleh para pengusaha besar lho," kata Om Endik dengan mantap.

Ia melanjutkan, "Bagi saya penulis skenario yang bagus itu penulis yang menerima perubahan teks yang dia tulis asal tidak mengubah alur cerita, misal, kita menulis berdasarkan PUEBI, dulu EYD, namun ketika akan divisualkan bisa saja berubah dialognya dengan bahasa yang disesuaikan. Dan itu sah-sah saja."

Waktu menunjukkan pukul 16.30 wib. Rahmat dengan berat hati pamit pada kedua gurunya dan seorang murid yang beruntung itu. Rahmat berjanji pada dirinya sendiri untuk kembali menemui mereka di suatu saat nanti.



Posting Komentar untuk "Rabu, 210218. True story"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress