Cerpen - Ibu di Tanah Merah - Oleh : Adji Atmoko

Ibu di Tanah Merah

Cerpen – Adji Atmoko

Foto By : https://pixabay.com


Gadis kecil berambut ikal itu masih asyik berjongkok di tanah setengah basah saat bayangan seseorang memayungi dari belakang. Tangan kanannya yang memegang ranting kering bergerak gemulai, menggurat tanah dengan ujungnya. Ketika guratan-guratan tipis itu membentuk sebuah sketsa, lelaki dewasa di belakangnya menitikkan air mata.
“Bapak…,” gadis kecil itu berkata lirih, masih memunggungi bapaknya. Ia mengarahkan ujung ranting di wajah yang dilukisnya. “Ara rindu Ibu. Kapan Ibu pulang?”

Bagi Pardi, malam hari adalah saat yang paling dinantinya. Kerinduannya pada malam setara dengan kerinduannya pada Nanik, ibu si Ara. Dalam rebahnya di dipan bambu di teras rumah, pria paro baya itu mengenang saat-saat istrinya memohon restu bertahun lalu.
“Hanya tiga tahun, Mas. Tidak lama. Aku pasti pulang,” kata Nanik sambil menyandarkan kepala ke bahunya. “Aku janji, Mas.”
“Kenapa harus Arab, Dik? Kenapa harus Adik yang ke sana?”
Nanik mengelus punggung tangan suaminya. “Karena di sana Rumah Allah, Mas. Orang sana baik-baik. Aku akan nyaman dekat dengan Allah, Mas.”
“Tapi jauh dari anakmu.” Paidi mendesah, sedih. “Dia belumlah dua tahun, Dik. Pantaskah untuknya?”
Airmata menggenangi pelupuk mata Nanik. Dia tahu itu. Anak yang mereka tunggu setelah delapan tahun menikah akhirnya hadir juga atas ijin-Nya. Setelah sewindu penuh cibir dan olok-olok tetangga akhirnya ada juga tangis dan celoteh riang yang mereka nantikan. Ara, gadis kecil manis itu seolah tahu kehadirannya bak gerimis yang dinanti setelah kemarau yang menahun.
Nanik menyusui Ara selama 18 bulan dan selama itu pula tenaga Pardi tak laku dijual. Suaminya bukan pemalas tapi nasib terkadang bisa sangat kejam untuk orang miskin. Suaminya sukses menjadi pengangguran. Ekonomi mereka awut-awutan. Sampai kemudian, ada tetangga pulang dari manca membawa sejumlah Dinar, juga berita. Berita tentang makmurnya negeri Arab dan gaji yang besar jika mengais rejeki di sana.
“Karena hanya wanita, Mas, yang mereka butuhkan.” Nanik meremas tangan Pardi. “Aku ikhlas, Mas. Demi kita, demi anak kita. Ara harus sekolah, Mas. Ara harus seperti teman-temannya. Nanti Mas yang pilihkan baju-baju untuknya, Mas. Carikan sandal yang paling cocok untuknya. Belikan dia anting yang paling indah. Sekolahkan Ara di sekolah terhebat. Pilihkan hanya yang terbaik untuknya.  Aku percaya Mas bisa menggantikan aku, Mas.”
Pardi menghela napas. Berat. Ia memejamkan mata. Mendongak lalu menunduk. Tergugu dalam tangis tanpa suara.
Malam itu, gerimis menjadi saksi bisu kepedihan hati seorang suami yang memberi restu pada sang istri.
***
“Bapak,” suara lirih Ara yang pulang dari surau membuyarkan lamunannya. “Kenapa Bapak menangis? Bapak sakit?” Ara menjatuhkan rukuhnya dan menghambur ke arah Pardi. Ia menyentuh dahi bapaknya. Berlagak seperti seorang mantri yang pernah dilihatnya. “Hangat. Mungkin Bapak kecapekan. Harus banyak istirahat,” ujar Ara sambil nyengir. Tingkahnya sok serius.
Pardi tertawa. Ia mengusap matanya dan bangkit. Direngkuhnya malaikat mungilnya itu dan diciuminya bertubi-tubi. Ia terharu. Ia bahagia. “Bapak sayang Ara.” Ia mengecup kening putrinya, tulus.
Ara tersenyum. Pardi memandanginya. Tapi perlahan senyum Ara memudar. “Bapak bohong.”

Pardi tersentak. Ia melihat bola mata Ara berkaca-kaca.
“Bapak tidak sayang Ara.”
Pardi memeluk putrinya. Erat. Ia sesenggukan. “Bapak tidak bohong, Sayang.”
“Bapak tidak sayang Ara,” ulang Ara, menangis. “Kalau Bapak sayang Ara, Bapak jangan menangis terus. Kalau Bapak menangis, Ara ikut sedih. Ara jadi ingin menangis kalau melihat Bapak menangis. Ara jadi ingat Ibu kalau Ara menangis.”
Tubuh Pardi bergetar. Ia tersedu hebat. Rasa harunya menyatu dengan rasa rindunya pada istrinya. Tiga tahun telah berlalu dan istrinya tak juga memberi kabar. Buah hati mereka kini telah tumbuh menjadi anak yang riang dan di usianya yang lima tahun, Ara mungkin tidak ingat rupa ibunya. Terbersit niat dalam hatinya untuk mencari tahu kabar Nanik. “Ibu akan segera pulang, Sayang. Segera,” janjinya.
“Ara ingin digendong Ibu.”
Pardi mengangguk lalu membopong putrinya masuk karena gerimis kembali menyapa bumi.
***
Paginya Pardi mengantar Ara ke TK tempatnya belajar. Ia lalu ke kelurahan untuk mencari tahu info mengenai istrinya. Hal yang ia sesali tak ia lakukan dari dulu. Ia bergegas. Sampai di sana Pardi melihat kesibukan yang luar biasa. Pegawai kelurahan tampak sibuk semuanya. Dering telepon tak henti-henti dan raut cemas jelas terbaca dari gelagat mereka. Pardi mengetuk pintu takut-takut.
Reaksi mereka sungguh tak terduga. Sesaat setelah Pardi mengetuk, semua mata terarah kepadanya. Pardi tidak siap akan hal itu tapi dia tetap menyapa. “Selamat… pagi, Pak. Saya mau—” Mereka hanya tersenyum. Pardi tidak bisa mengartikan arti senyum mereka tapi ia merasa ada sesuatu yang aneh.
“Selamat pagi, Pak Pardi.” Pak Lurah menyapa dari pintunya. Raut wajahnya teduh menenangkan. “Silahkan masuk.”
Pardi bingung. Canggung. Seingatnya dia tidak pernah alpa membayar listrik atau absen dalam kegiatan kampung jadi ia merasa heran ada yang Pak Lurah ingin bicarakan.
“Pak Pardi, silakan duduk.” Pak Lurah melepas kacamatanya dan tersenyum. “Ada yang ingin saya sampaikan mengenai Mbak Nanik.”Dada Pardi berdegup kencang. Entah kenapa Pardi tidak merasa gembira. “Kami baru saja menerima kabar dari kepolisian. Telah terjadi tindak kejahatan dinihari tadi yang menimpa sebuah taksi…,”
Telinga Pardi berdengung-dengung hebat. Ia mencakar-cakar pahanya sendiri. Tidak mungkin! Tidak mungkin! Napasnya menderu.
“Taksi malang itu dirampok kawanan penjahat di tanjakan dekat hutan lindung. Mereka kawanan penjahat yang terkenal kejam dan buron polisi.”
Keringat dingin membasahi kerah baju Pardi. Kilatan-kilatan memori bersama istrinya berkelebatan. Saat-saat kelahiran Ara; saat istrinya minta ijin di suatu petang di teras rumah; saat ia melepas istrinya di bandara pada suatu sore. Saat Ara bertanya kenapa tidak ada ibu yang memasak untuk mereka. Saat anaknya selalu menggambar seorang perempuan di pekarangan rumah. Saat ia berjanji pada anaknya bahwa ibunya akan pulang. Dan seolah kenangan itu tidak cukup menyakitinya, kalimat terakhir Pak Lurah menghujam jantungnya, meruntuhkan pertahanannya.
“Mereka biasa menghilangkan segala barang bukti. Maafkan kami, Pak Pardi, jenazah Ibu Nanik saat ini sedang dalam proses evakuasi dari jurang tak jauh dari lokasi kejadian.”
***
Gundukan tanah merah itu masih basah. Ara memeluk nisan bertuliskan nama ibunya. Ibu yang tak ia hafal wajahnya tapi sangat dirindukannya. Ibu yang selalu ia nanti kepulangannya. Ibu yang sekarang telah pulang menemuinya. Ia tak ingat rasanya dipeluk ibu, jadi kini dialah yang memeluk ibunya. Sebenarnya dia ingin memeluk tubuh ibunya, tapi Bapak bilang tidak boleh karena Ibu kecapekan dan sedang tidur nyenyak. Ara mengerti. Dia cukup puas bisa memeluk nisan Ibunya. Bapaknya juga bilang, Ibunya tersenyum saat Ara memeluk nisannya.
“Bapak,” Ara mengambil tangkai bunga di atas tanah merah.
Pardi mendekat, wajahnya berlinang airmata. “Ya, Sayang? Ara mau pulang? Kita pulang ya, sebentar lagi hujan.”
Ara menggeleng pelan. Dipegangnya tangkai bunga itu hati-hati. Tangannya bergerak lincah menggambar wajah seseorang. Wajah ibunya. Ara melakukannya dengan hati-hati, seolah takut goresan yang terlalu dalam akan mengganggu tidur ibunya. Pardi merasakan nyeri menremas-remas dadanya. Pardi berjongkok di belakang putridnya. Memeluknya hangat.
Seiring derai airmata yang mengalir turun di pipi Ara, gerimis mulai jatuh satu-satu.
“Ara rindu Ibu.” Ia menulis kata IBU di atas wajah ibunya. “Ibu sudah pulang.  Ara ingin digendong Ibu tapi Ibu malah tidur.”
Pardi membelai rambut putrinya. Dadanya menyesak hebat.
“Bapak—” Ara mencium gambar wajah ibunya di tanah, air bening mengaliri pipinya. “Ara mau tidur sama Ibu. Ara ingin menemani Ibu tidur.”


***
Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan ISI FORMULIRNYA DISINI 
Endik Koeswoyo
Endik Koeswoyo Scriptwriter. Freelance Writer. Indonesian Author. Novel. Buku. Skenario. Film. Tv Program. Blogger. Vlogger. Farmer

Posting Komentar untuk "Cerpen - Ibu di Tanah Merah - Oleh : Adji Atmoko"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress