Lukisan Terakhir Peri Pasir
Namaku Juna. Lengkapnya I Ketut
Hafidzhul Rifajunnaid. Usiaku kini sudah genap 30 tahun. Hari ini adalah hari ulang
tahun pernikahanku dan almarhumah istriku tercinta yang ke-8. Istriku adalah
seorang pelukis pasir yang terkenal di seantero Bali. Kami menikah di usia 22
tahun dan saat itu istriku baru saja lulus kuliah S1 di Institut Seni
Indonesia, Denpasar, jurusan DKV. Aku tidak pernah menyangka bahwa aku telah
diizinkan oleh Sang Maha Cinta untuk menikahi wanita itu. Dialah Ni Made Humaira
Az-Zahra—aku memanggilnya “Peri” karena bola matanya begitu cantik bak
permaisuri.
Kami berkenalan pertama kali di SD 5
Benoa, di kelas 3B. Peri selalu tersenyum kepadaku dan selalu bersemangat
ketika kami diberikan tugas kesenian. Kemahirannya dalam melukis sudah
kelihatan sejak dulu. Tetapi hanya satu yang membuatku terkadang sedih ketika
bersamanya. Peri sering tidak masuk sekolah karena sakit—mulai dari batuk,
sinus, muntah-muntah hingga demam tinggi. Karena kekuatan tubuhnya yang tidak
seperti anak biasanya, aku berniat ingin menjadi dokter ketika dewasa nanti.
Ibunda Peri selalu mengizinkan aku
untuk berkunjung ke rumahnya. Katanya, kalau aku main bersama Peri, dia selalu
bisa tersenyum dan menghentikan tangisannya. Setelah lulus dari SMA, aku pun
mengambil kuliah jurusan Kedokteran di Universitas Udayana dan Peri lulus
terlebih dahulu karena kepintarannya.
Di usianya yang ke-10 tahun, ia
sudah berhasil melahap puluhan piala penghargaan atas karya lukisan pasirnya.
Bahkan, kalau kita sempatkan untuk jalan-jalan ke beberapa restoran dan tempat
wisata di Nusa Dua—kota kelahiran kami, lukisan pasir Peri dipajang di
mana-mana. Namun, Peri sempat mengalami berbagai masalah psikis dan penurunan
fungsi metabolisme tubuh yang membuatnya tidak bisa berjalan seperti remaja
biasanya. Aku tidak tahu penyakit apa yang sedang diderita Peri sampai
membuatnya lemah seperti itu.
Di hari ulang tahun Peri yang ke-14,
aku menghadiahinya mahkota dari pasir yang dikeraskan. Peri mengambil beberapa
daun yang berjatuhan di dekat pohon untuk ditempelkan di mahkota tersebut, lalu
memakainya. Cantik sekali, ucapku dalam hati. Peri lalu berkata,
“Juna, aku harus ke rumah sakit
sekarang. Kakiku lemas sekali.”
“Kalau begitu, aku akan menemanimu
ke sana ya.”
Peri rajin sekali ke rumah sakit
untuk check up kesehatannya. Tapi entah mengapa, aku melihatnya seperti
tidak sakit. Ia tidak pernah menunjukkan bahwa dirinya sedang mengidap suatu
penyakit apapun. Keterbatasannya membuat ia jarang sekali bermain dan berkumpul
bersama teman-teman sekolahnya. Namun aku selalu berusaha menemaninya belajar
dan juga menghabiskan waktu untuk pergi ke pantai bersama agar ia tidak bosan.
Peri tidak bisa berlari karena otot kakinya yang suka nyeri. Karena tubuhku
jauh lebih besar darinya, biasanya aku meminta Peri untuk naik ke atas
punggungku dan aku membawanya berlari mengelilingi pantai. Kemudian setelah
lelah, kami beristirahat sejenak dan Peri membuatkanku lukisan pasir yang
diberi lem perekat bergambarkan dua sejoli muda yang saling menggenggam tangan sebagai
ucapan terima kasih.
Di usia yang ke-17, Peri divonis oleh dokter hanya akan
bertahan beberapa tahun saja karena penyakitnya yang tidak bisa disembuhkan.
Namun ia tidak mempedulikan. Peri terus menjalani kehidupannya seperti biasa
dengan semangat yang tinggi. Aku benar-benar ingin cepat lulus sekolah dan
kuliah supaya aku bisa mengetahui penyakit apa sebenarnya yang sedang diderita
Peri.
Beberapa tahun setelahnya, aku
sering melihat Peri jatuh di tangga sekolah dan tidak ada yang menolongnya.
Wajahnya pucat pasi dan bibirnya kering. Aku menggenggam tangannya dengan erat
serta membawanya ke Ruang UKS. Seperti biasa, Peri selalu menitikkan air mata
ketika aku membawakannya obat yang biasa ia minum sehari sekali. Sebentar lagi
kami akan lulus SMA. Dan rasa-rasanya waktu berlalu begitu cepat sehingga kami
seperti mengalami 3 hari saja di sini.
Sehari sebelum ujian masuk universitas
dilaksanakan, aku menemani Peri di rumah sakit. Dokter Alvonso memberitahuku
untuk terus mendampinginya. Ibunda Peri juga tidak bisa setiap hari
memperhatikan kondisi kesehatan Peri karena sibuk mengurusi baju-baju buatannya
yang dijual di pasar. Kalau ibunda Peri tidak bisa memperoleh penghasilan dari
hasil dagangannya, mungkin Peri tidak akan sanggup keluar-masuk rumah sakit
karena tidak bisa membayar administrasi. Ayahanda Peri sudah meninggal ketika
usianya beranjak 1 tahun. Dan wajarlah, aku merasa sangat iba pada keadaan
ekonomi keluarga Peri. Belum lagi adik-adiknya yang masih sekolah dan harus
mengeluarkan biaya yang cukup banyak untuk kebutuhan sehari-hari.
Walaupun sakit, Peri selalu berusaha
memberikan yang terbaik. Begitu juga yang terlihat ketika Peri akhirnya lulus
menjadi mahasiswi jurusan DKV selama 3 tahun 6 bulan. Peri bukan wanita biasa.
Dia memiliki kelebihan yang mungkin tidak dimiliki oleh wanita manapun.
Kecerdasannya membawanya sukses untuk meraih banyak penghargaan. Meskipun
begitu masuk semester 3, Peri tidak bisa lagi berjalan dengan kedua kakinya.
Peri harus dibantu dengan kursi roda agar bisa tetap beraktivitas seperti
biasa.
Biasanya, Peri suka sekali memintaku
untuk membacakan ayat suci ketika ingin beristirahat malam. Aku membantunya
membaringkan tubuhnya di ranjang rumah sakit. Aku memulainya dengan ta’awudz
kemudian basmallah. Peri selalu tersenyum ketika melihatku sudah rapi
dengan pakaian koko, peci, dan Al-Qur’an di meja kecil yang ada di hadapannya.
Keindahan langit di Bali hari itu benar-benar tidak dapat kami lupakan. Betapa
banyak yang Dia berikan kepada kami atas nikmat dan karunia ini. Aku menangis
kecil melihat Peri sudah tertidur lelap. Aku hanya takut tak bisa melihatnya
bangun esok hari. Aku menyadari, apa yang dikatakan Dokter Alvonso adalah
benar. Peri memang tidak bisa bertahan lama. Penyakit itu sudah menjangkit di
tubuh Peri sejak usianya 14 tahun. Dan kini ia sudah berhasil berjuang melawan
rasa sakitnya selama 8 tahun.
Sore itu aku mendatangi seorang
dokter spesialis penyakit saraf di perpustakaan. Aku pun berkonsultasi
dengannya. Beliau memberikanku buku tentang Spinocerebellar Ataxia. Di sana
tertulis bahwa SCA tidak dapat disembuhkan. Namun hal terbaik yang dapat
dilakukan keluarga dan kerabat penderita adalah dengan terus memberinya
semangat untuk hidup. Dengan begitu, ia akan tersugesti secara tidak langsung
untuk tidak begitu merasakan sakit. Sejak saat itu, aku fokus mendalami ilmu
spesialis saraf otak dan otot manusia. Biarpun dokter senior mengatakan tidak
ada obat untuk penyakit tersebut, setidaknya aku bisa mencari tahu lebih luas apa
yang menjadi penyebabnya dan bagaimana cara mencegahnya. Aku ingin Peri
sembuh. Agar aku bisa benar-benar menikahinya dan hidup bersamanya.
“Kau tetap bisa menikahiku, Juna.”
ujar Peri tiba-tiba mengagetkan. Peri datang menemuiku dengan kursi rodanya.
“Bli, apa kau malu mempunyai
istri yang cacat?”
Aku tersenyum mendekatinya.
“Apa kau bersedia menerimaku?”
balasku cepat.
Kami menikah di hari Jum’at sesaat
setelah aku melaksanakan shalat Jum’at bersama di Masjid Agung Ibnu Batutah.
Keluarga Peri dan keluargaku berkumpul bersama di rumah sakit. Aku tidak
masalah jika harus melakukan ijab kabul di ruangan sederhana itu. Kami pun
tidak menggelar pesta yang megah atau mengundang banyak tamu. Setelah menikah,
aku mengajak Peri untuk membacakan Surah Al-Kahf sebagai bentuk rasa syukur
kami yang tiada tara kepada Dia. Istriku sangat cantik dengan balutan kebaya
Bali yang dimodifikasikan menjadi pakaian muslimah syar’i dan jilbab yang
panjang. Sejak kecil, Peri tidak pernah membuka kerudungnya. Barulah malam itu
ia membukanya untukku. Inilah yang membuatnya begitu istimewa di mataku. Peri
adalah seorang gadis muslimah yang begitu menjaga dirinya. Jika melihat ibunda
Peri, Ibu Mahfudzah—seperti melihat Peri dewasa. Selama tinggal di Bali, belum
pernah sekali pun aku bertemu dengan keluarga muslim yang benar-benar menjaga
syari’at. Ketiga adik perempuannya pun ikut menyalamiku sambil mengenakan
busana berwarna putih yang cantik dengan jilbabnya. Nuranisa, adik kedua Peri,
mendekatiku dan berkata, “Tolong jaga mbok Ira, ya, bli.”
Peri tersenyum melihat kedekatanku
dengan ketiga adiknya itu. Fathirah, Nuranisa dan Arafah yang sangat lincah dan
periang. Fathirah berusia 17 tahun, Nuranisa 13 tahun dan Arafah yang masih
sangat kecil, 8 tahun. Mereka semua adalah calon bidadari-bidadari surga. Aku
tidak pernah merasa sebahagia hari itu ketika Sang Maha Cinta telah
mengizinkanku untuk menyatukan hati yang saling mencintai. Sungguh, Dia telah
titipkan muslimah yang sangat terjaga, Humaira. Dan keempat wanita yang juga amat
kucintai. Ibunda Humaira dan ketiga adik kecil istriku.
2 tahun usia pernikahan kami, Peri
mengejutkanku dengan tidak bisanya ia bangkit dari tempat tidur sesaat sebelum
kami ingin melaksanakan shalat Subuh bersama. Aku berusaha mendengarkan
suara Peri yang saat itu memintaku untuk membantunya duduk. Baru kali ini aku
melihat wajah Peri takut sekali dan tidak biasanya ia merenung sambil menangis.
Peri yang tadinya tidak pernah takut pada penyakitnya kini menjadi sangat berbeda.
Sebenarnya ia sangat ingin menjadi seorang ibu, tapi aku tidak mengizinkannya.
Dalam keadaan seperti itu, mana mungkin ada seorang suami yang sanggup melihat
istrinya hamil dan melahirkan bayi dengan penyakit SCA yang mulai menggerogoti
tubuhnya. Peri menjadi sangat cengeng dan semakin manja setelah 2 tahun aku
menolaknya untuk memberikan nafkah batin. Aku tahu betul bahwa ini akan sangat
membahayakan dirinya dan juga calon bayi kami.
“Ju..na...” rintih Peri.
“Ada apa sayang? Mana yang sakit?”
jawabku ketakutan.
Peri menangis dipelukanku. Ia menggenggam
erat tanganku dan tidak dilepaskan sedikit pun. Bajuku basah oleh air matanya.
Aku juga ikut menangis dan membasahi rambutnya yang panjang dan hitam. Belum
pernah aku melihatnya begitu takut seperti ini. Ada rasa perih seperti ditusuk
duri yang panjangnya melebihi 30 tusuk gigi. Aku turut merasakan apa yang
istriku rasakan.
Peri menyeka air matanya perlahan.
Lalu ia mencoba berbicara dengan fasih, tapi tidak bisa. Sejak sebulan yang
lalu, Peri sudah jarang berbicara. Aku pun tahu persis perkembangan kesehatan
istriku itu yang semakin lama akan semakin memprihatinkan. Pada awalnya, Peri
tidak bisa berjalan seperti layaknya orang biasa. Ia sering sekali mengeluh
otot kakinya melemas dan kadang merasa seperti tidak punya kaki. Namun ia masih
mampu untuk berbicara, teriak, tertawa dan menangis. Setelah memasuki usia
ke-24 tahun, barulah Peri mulai menunjukkan rasa sakitnya lewat tangisannya
yang tidak lagi bersuara. Kalau dipaksakan untuk berbicara, Peri suka memegang
tenggorokannya yang perih. Telapak tangan Peri sering sekali kaku. Oleh karena
itu, setiap hari aku selalu berusaha menyempatkan waktu untuk membantunya
melemaskan otot-otot tangan dan kaki. Ini berguna untuk tetap bisa menggerakkan
anggota tubuh walaupun tidak sebaik dulu.
Aku menempatkan istriku di rumah
sakit tempatku bekerja. Peri tidak perlu lagi memikirkan biaya rumah sakit yang
mahal. Aku yang menanggungnya. Di tahun berikutnya, ketika usia Peri sudah
menginjak 25 tahun, kondisinya semakin kritis. Ibunda Peri juga sempat
membuatkan papan alfabet dari A sampai Z sebagai media komunikasi kami.
Meskipun sudah tidak bisa mendengarnya bicara, aku tetap ingin membacakannya
ayat suci agar sampai ke dalam hatinya. Aku tahu Peri mendengarkannya dengan
baik.
Hari itu, sudah saatnya makan siang.
Aku menyuapi istriku perlahan. Ia tersenyum. Lalu ia menunjuk ke arah papan
alfabet. Ia menunjuk ke kotak A, K, U, I, N, G, I, N, M, A, T, I. Aku tak kuasa
melihat wajah istriku yang sangat pucat dan lemas tak berdaya. Kupeluk tubuhnya
yang mengurus sambil terus menciumi kepalanya.
“Jangan menyerah. Aku berusaha untuk
tidak meninggalkanmu. Oke, mulai besok, aku tidak periksa pasien lagi ya. Aku
mau menghabiskan 24 jam bersamamu di sini, oke?” jawabku sambil mengelus-elus
rambutnya.
Peri menunjuk lagi, I, Y, A.
“Ohya, sayang, aku ada hadiah
untukmu.”
Aku mengeluarkan mahkota pasir kecil
milik Peri yang pernah menjadi hadiah ulang tahunnya yang ke-14. Aku
memakaikannya dan Peri menangis terisak sampai agak tersedak.
“Kamu tidak boleh menangisi penyakit
yang Allah berikan kepadamu. Ingat, bahwa tidak ada cobaan yang melebihi batas
kemampuan seorang hamba. Allah memberikanmu penyakit ini karena kau mampu
bersabar dan melaluinya. Bersyukurlah karena Dia telah memberikanmu kehidupan
yang luar biasa dan mempertemukannya denganku.”
Aku menggenggam tangan Peri erat
sekali sambil terus menatap bola matanya yang cantik. Ia mendengarkan ucapanku
barusan. Peri hanya tersenyum sambil terus melihatku. Air mataku jatuh di
telapak tangannya. Kami saling menatap sangat dalam. Aku pun turut merasakan
kepedihan yang begitu mencekam. Aku tahu, Peri sudah sangat menderita dengan
penyakitnya. Setiap hari, ia hanya bisa berbaring di tempat tidur dan tidak
bisa melakukan aktivitas apapun kecuali tidur. Mandi pun harus dimandikan.
Ketika ingin pipis atau buang air kecil, aku yang membantunya. Usianya masih
muda. Tetapi karena penyakitnya itu membuat ia terlihat tua, kurus, dan tidak
bersemangat. Ketika ingin berkomunikasi dengan papan alfabet pun, tangan Peri sudah
tidak selentur dulu. Kini ia semakin lamban dan kaku. Saraf dan otot-otot
tubuhnya semakin membuatnya tidak bisa bergerak. Bahkan Peri sudah tidak mau
menerima makanan jika suapanku sudah lebih dari 10 sendok. Ia selalu menggelengkan
kepalanya pertanda kenyang.
2 bulan terakhir ini, aku sudah
tidak menerima pasien lagi. Izin pun sudah kudapatkan dari pihak rumah sakit.
Aku fokus untuk menjaga istriku. 2 kali seminggu, ibunda Peri datang menjenguk
bersama ketiga adiknya. Fathirah yang sudah berusia 20 tahun itu bercerita
kepada kakaknya bahwa ia baru saja mendapatkan penghargaan sebagai penulis muda
terbaik dan bekerja menjadi jurnalis di stasiun TV. Nuranisa yang sudah
beranjak remaja berhasil menghafalkan 30 juz dan akan melanjutkan sekolah di
Al-Azhar, Kairo. Arafah yang sedang fokus belajar di sekolah akhirnya bercerita
kalau ia ingin sekali menjadi dokter seperti aku agar bisa menyembuhkan banyak
orang. Peri mendengarkan semua cerita adik-adiknya itu satu per satu. Wajahnya
kini berseri-seri dan tersenyum lebar. Arafah memakai jas putih milikku supaya
seolah-olah sudah siap menjadi dokter. Aku tersenyum sesaat melihat kebahagiaan
kecil ini. Hidupku benar-benar bermakna dan aku tidak pernah sekalipun merasa
kurang. Ibu mertuaku duduk di sampingku sambil memegang pundakku dan berkata,
“Tidak pernah Ibu merasa sebahagia
ini melihat mereka dan juga kamu dalam keadaan seperti ini, menantuku. Kau tahu,
gus? Walaupun Ibu sakit melihat kenyataan yang diberikan keluarga kita,
tapi Ibu selalu berusaha bersyukur sebagaimana kau mengajarkan itu kepada
anakku...”
Aku diam mendengarkan dan Ibu
melanjutkan.
“Humaira adalah anak yang periang.
Dia tidak pernah menyerah pada keadaan yang pelik sekali pun. Dan pertemuanmu
dengannya mengubah cara pandangnya. Ibu sering sekali melihatnya tertawa dan...
Ibu sungguh bahagia, gus.”
Air mata Ibu Mahfudzah mengalir
deras dan aku tak sanggup melihatnya. Ibu mengakui bahwa ia tidak sedang
bersedih meratapi nasib. Tetapi rasa syukurlah yang beliau rasakan, sangat
dalam.
Aku
mendekati istriku yang saat itu sedang asyik mendengarkan cerita adik-adiknya.
Mereka memberikan cerita jenaka agar kakaknya tersenyum. Arafah yang suka
bernyanyi pun menyumbangkan suara emasnya untuk kakak tercinta.
“Tersenyumlah dan terus tertawa, walau
dunia tak seindah surga. Bersyukurlah pada yang Kuasa. Cinta kita di dunia...
Oh...”
“Bukan tersenyumlah, luh.
Tapi... menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga.
Bersyukurlah pada yang Kuasa. Cinta kita di dunia... dan di akhirat.” balas
Fathirah, cepat.
“Wah! Itu baru keren mbok
lirik lagu yang terakhirnya, hehehe.” adik kedua Peri tidak mau kalah—Nuranisa,
ia ikut berkomentar.
“Iya dong, luh! Soalnya kita
kan bisa ketemu di akhirat juga tidak hanya di dunia. Makanya, berdoalah ke
Allah supaya kita termasuk dari orang-orang yang beriman.”
Peri mendengarkan sambil terus
tersenyum. Angin semilir mulai memasuki rongga-rongga hidungku dan kurasakan
getaran cinta Sang Khalik kepada kami. Aku menciumi kening istriku yang masih
terbaring lemas di ranjangnya. Adik-adiknya pun ikut menciumi pipi dan tangan
kakaknya. Ibu masih terus memandang kami dengan tatapan hangatnya. Kebahagiaan
seperti ini takkan pernah tergantikan.
Malam itu hujan turun sangat deras.
Petir juga terus menyambar hingga kaca-kaca di rumah sakit seperti akan retak
karena sambaran kilat tersebut. Aku mulai merasakan bahwa rumah sakit ini sudah
menjadi rumah utama kami. Pemandangan langit malam pun ditemani oleh guntur dan
angin yang berhembus dingin memasuki lorong-lorong. Kakiku tiba-tiba gemetar.
Aku baru saja menyelesaikan Surah Al-Mu’minun, surah ke-23. Seperti biasa, aku
membacakannya di samping istriku yang sedang tertidur lelap. Suara napasnya
terdengar jelas seperti orang yang sedang mengigau.
Aku kembali mengenang masa-masa
ketika istriku masih bisa berjalan, memakai seragam sekolah, belajar melukis
bersamanya, dan memakaikannya mahkota pasir buatanku. Kehidupan remaja istriku
itu benar-benar berbeda dari gadis seusianya. Peri tidak suka jalan-jalan ke
mal, menghabiskan waktu bercanda dengan teman, menonton bioskop, apalagi
membeli kue pelangi atau makan di restoran mahal. Peri lebih suka main di
pantai, melukis, belajar di perpustakaan dan memasak di rumah. Ngomong-ngomong,
Peri sering sekali bilang kepadaku bahwa dia tidak ingin pindah dari Nusa Dua,
ia sangat suka pantainya dan bersyukur ditempatkan di kota yang begitu banyak membuatnya
terinspirasi.
Aku melihat wajah istriku yang
terlihat sangat kelelahan. Tak pernah kusangka bahwa aku pernah diberikan
kesempatan untuk merawat, menyayangi, mencintai seseorang yang telah membawa
diriku untuk lebih mengenal siapa Rabb-ku. Ya, Humaira adalah satu-satunya
gadis yang paling menyita perhatianku ketika pertama kali bertemu dan
mengenalnya. Bagaimana tidak, Humaira kecil selalu mengenakan kerudung putihnya
dan balutan kemeja panjang sementara teman-teman sekelasnya tidak. Kupikir akan
sulit sekali menemukan teman sesama muslim di Bali. Tetapi hanya dengan
melihatnya saja, membuatku bersemangat.
Aku adalah pria yang amat beruntung
bisa merasakan kehangatan kasih sayang Humaira, yang banyak disukai
orang-orang. Humaira yang mengajarkanku untuk bersabar dalam menghadapi
kegusaran hati. Ia yang memintaku untuk kembali melukis di kertas kosong agar aku
bisa mendapatkan nilai yang baik di
pelajaran Kesenian—walaupun aku tak bisa melukis. Dia juga yang selalu mengatakan
bahwa Allah suka kalau kita tersenyum. Maka, aku tersenyum untuknya sampai di
detik-detik terakhir hidupnya. Humaira akan selalu menjadi wanita pujaanku,
yang kucintai atas cintanya kepada Rabb-nya, dan yang sungguh mampu
meyakinkanku bahwa aku bisa menjadi seorang dokter.
Melihatnya tergeletak tak berdaya
seperti itu seakan seperti mengiris-iris kalbuku dan menyobekkannya hingga ke
tulang sum-sum. Aku tahu istriku sudah tak kuat lagi. Seluruh tubuhnya sudah
semakin sulit digerakkan. Kursi rodanya sudah tak lagi dipakai. Papan
alfabetnya pun sudah tak pernah disentuh. Aku mendekatinya dan merasakan
feromonnya yang begitu khas.
“Istriku sayang... apakah kau
mendengarkanku?” lirihku kecil.
Humaira tidak bergerak. Wajahnya
yang putih menjadi semakin pucat karena terlalu banyak mengkonsumsi obat
penetral rasa nyeri. Aku membacakan Surah Al-Kahf seperti ketika kami menikah
dulu. Sudut bibirku bergetar lembut merasakan detak jantungnya yang semakin
melemah. Sebaris garis panjang muncul di monitor EKG penunjuk detak jantung
Humaira seiring dengan lantunan ayat suci yang kubacakan untuknya. Ia nampak
begitu tenang meninggalkan dunia ini. Tangisan air mataku pun pecah ketika
melihatnya meneteskan air mata untuk terakhir kalinya. Dan aku masih ingat
betul lukisan terakhir yang ia berikan kepadaku.
“Juna, terima kasih atas semua
kebaikan dan perhatianmu kepadaku. Aku tidak tahu sampai kapan aku akan hidup.
Aku hanya takut, kaki dan tanganku tak kuat lagi untuk melukis. Maka dari itu,
aku membuatkan lukisan ini untukmu. Ini sudah kurekatkan dengan lem supaya
pasirnya tidak jatuh ke mana-mana. Semoga kau suka, ya, Juna.”
Tulisan tangan Humaira yang hampir
sulit dibaca itu membuatku menundukkan kepala dan kembali menangis. Istriku
tidak pernah pergi jauh dariku. Dia kekal di dalam hati seseorang yang amat
mencintainya. Angin sepoi-sepoi di pantai Kuta menyadarkanku bahwa hari sudah
petang. Aku masih menyisakan senyumanku untuk Peri Cintaku, Humaira.
Istriku terkasih, kau tahu apa
kebahagiaan terbesar dalam hidupku?
Aku bahagia karena Rabb-ku telah
mengizinkan kita untuk bersama di dunia dan menggenggam erat tanganmu seperti
lukisan yang kau buatkan untukku.
Sayang, selamat hari pernikahan ke-8
kita. Aku tidak akan lupa untuk mendoakanmu. Tersenyumlah sayang. Sang Maha
Cinta tidak pernah meninggalkan kita.
TENTANG PENULIS:
Lidya Oktariani, tinggal di Jakarta. Penyuka film Litle Mahattan ini sudah suka menulis di blog sejak 2008. Silahkan mampir ke blog pribadinya untuk membaca tulisan-tulisannya yang lain, www.lidyaoktariani.blogspot. com
Muslim, 21 y/o, I followed Phophet Muhammad SAW, loves middle-east countries such as Misr, Palestine, Syria, Jordan, Saudi Arabia etc, been studying japanese for 4 years. Please reach me on Twitter: @okutariani
MANFAATKAN BLOG ANDA DENGAN MENGIKUTI KUMPUL BLOGER
Posting Komentar untuk "CERPEN : "Lukisan Terakhir Peri Pasir" BY Lidya Oktariani "