Maaf, Bang


Aku baru bertemu dengannya setelah enam bulan. Dia hanya bisa pulang sekali dalam satu semester dan saat itu kami gunakan untuk menghabiskan waktu bersama. Abangku adalah anggota keluarga yang sangat dibanggakan. Sejak SD sampai SMA selalu berada di sekolah unggulan dengan menduduki peringkat pertama, sekarang sedang berkuliah di universitas ternama di Indonesia. Fisiknya rupawan dengan alis tebal dan tubuh yang selalu dilatih tiap akhir pekan. Sangat gila jika ada perempuan yang menolak tawaran menjadi pacarnya. Dia orang yang ramah dan sepertinya aku terlalu banyak mendeskripsikan tentang dia.
Dia abangku yang sedang menghabiskan waktu bersama. Sedari tadi percakapan kami tentang gadis yang disukainya di rantau sana. Gadis berdarah Minang yang ditemuinya di Tanah Jawa. Katanya gadis itu baik, berkerudung panjang dan taat beribadah.
“Dia calon istri yang cocok untukku, Dik,” katanya dengan mata berbinar. Aku ikut bahagia. Lalu dia bercerita bagaimana si gadis ceria itu menyeretnya masuk ke dalam pesonanya, hampir setiap hari mereka lewatkan bersama. Gadis itu namanya Airin, kedua orang tuanya orang Minang asli, sama seperti kami.
“Aku mau nikah dengannya,” tuturnya mengutarakan niat baik. Aku mengangguk. Semester ini abang akan diwisuda dan sudah saatnya berumah tangga. Masalah pekerjaan tentu tidak perlu dirisaukan karena dia dan dua temannya sudah membangun usaha startup sejak mereka semester empat. Aku sendiri sudah beberapa kali dibelikan novel baru dengan hasil kerja kerasnya itu. Ibu dan ayah juga sudah dibelikan barang bagus dengan gajinya. Abangku memang selalu bisa diandalkan.
“Tapi apa ini tidak terlalu cepat?” dia meragu. “aku baru mengenalnya beberapa bulan. Meski kita sering bersama, tapi dia sangat jarang bercerita tentang latar belakangnya.”
“Mending buru-buru, Bang. Sebelum diambil orang,” kataku menguatkan. Dia mengangguk.
Malamnya, abang menyampaikan niat sucinya untuk meminang anak gadis orang. Ayah dan ibu jelas langsung setuju mendengarnya, hanya saja mereka harus bertemu dengan si gadis sebelum abang melamarnya. Abang setuju, dia akan menghubungi Mbak Airin untuk menanyakan apakah bisa datang, meski dengan sedikit keraguan karena Mbak Airin pasti akan sangat terkejut, pun dengan libur akhir semester yang baru saja dimulai. Mbak Airin pasti ingin menghabiskannya bersama orang terdekatnya tanpa perlu memikirkan ajakan abangku.
“Kirim pesan saja kalau gugup, Bang,” saran ayah yang sudah tidak sabar ingin bertemu calon menantu. Diangguki ibu sebagai bentuk dukungan. Dengan menghela napas panjang abang mengirim pesan pada Mbak Airin.
Airin, bisa datang ke rumahku? Begitu isi pesannya. Aku dengan jelas melihat jari jempol abang yang bergetar saat menekan di papan ketik ponselnya.
Untuk apa? Balas Mbak Airin tidak lama kemudian.
Abang tidak langsung membalasnya. Dia semakin grogi dan aku hampir ingin meledeknya jika tidak ingat bahwa di ruang tengah ini juga ada kedua orang tuaku.
“Balas saja untuk memperkenalkan dirinya ke orang tua abang,” usulku. Sudah mulai tidak sabar karena abang yang tidak kunjung membalas pesannya. Dia malah sibuk menarik napas panjang sembari mengacak-acak rambutnya. Orang jatuh cinta memang terlihat seperti orang gila.
Orang tuaku ingin bertemu dengan teman-temanku di rantau. Kamu bisa ke sini? Atau aku jemput saja? Abang menghela napas panjang lagi. Sangat kentara sedang grogi.
“Abang beneran suka dia, Dik,” katanya menoleh padaku. Aku mengangguk. Tidak perlu diucapkan aku juga sudah tahu dari gestur tubuhnya yang berlebihan, padahal hanya mengirim pesan.
Ponsel di tangannya bergetar, pesan masuk. Kali ini abang tidak langsung membukanya. Berkali-kali dia menghela napas sambil mengusap pelan dadanya, seolah dengan begitu detak jantungnya bisa bergerak normal. Dari matanya sangat jelas memancarkan bahwa dia benar-benar berharap Mbak Airin bisa datang yang artinya itu selangkah menuju halal.
Rumahmu dimana? Begitu bunyi pesan balasan Mbak Airin yang membuat abang langsung berlonjak kegirangan. Dia sampai memeluk ayah dan ibu yang ikut tertawa.
Sungai Tarap. Balas abang menyebut nama daerah tempat kami tinggal. Dia sudah lega. Tidak lagi segrogi tadi. Harapannya benar-benar sudah melambung tinggi. Lepas sudah semua bebannya.
Cukup lama sampai ada balasan lagi. Ayah dan ibu bahkan sudah kembali ke kamarnya. Hanya ada aku yang menemani orang jatuh cinta ini bercerita tentang keseharian mereka yang indah. Abang benar-benar menyukai Mbak Airin. Gadis cantik yang ceria dan selalu menyemangatinya saat dalam masalah. Suntikan semangat itu membuat abang jatuh pada cintanya Mbak Airin. Aku hanya tersenyum geli melihat betapa anehnya orang yang sedang jatuh cinta.
Maaf, rumahmu terlalu jauh dari rumahku. Perjalanan jauh tidak baik untuk ibu hamil muda. Lain kali aku akan datang untuk silaturrahmi dengan anak dan suamiku, ya.
Tubuh abang menegang. Aku membaca pesan itu dengan napas tercekat. Kulihat mata abang berkaca-kaca. Dia menatapku.
“Maaf, Bang,” kataku. Seandainya aku tidak menyemangatinya, hatinya tidak akan patah.
“Bukan salahmu. Abang dibutakan perasaan sesaat.”

***
Rahazlen Avelia Seorang content writer yang memiliki hobi jalan-jalan dan makan

Posting Komentar untuk "Maaf, Bang"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress