Koto Sarikat, Kampung Menyulam di Sumatra Barat


Oleh: Ilhidayatul Husna
Editor: Dita Faisal

Sumatra Barat, tepatnya Desa Koto Sarikat, sudah hampir puluhan tahun ibu-ibu rumah tangga mencari uang tambahan dengan menyulam. Dulunya, sebelum sulam-memyulam ini masuk ke perkampungan, para wanita lebih memilih menenun di luar rumah, mencari upah dengan hasil kain hitungan per meter. Namun, setelah sulam-menyulam masuk sekitar sepuluh tahun yang lalu, masyarakat setempat lebih memilih mengambil pekerjaan menyulam karena bisa dilakukan di rumah sambil menjaga anak dan mengurus rumah.

Pasang Surut Bisnis Menyulam
Sumatra Barat tak hanya dikenal dengan masakan tradisional seperti rendang yang sejak dulu selalu dipercaya sebagai sajian yang memanjakan lidah pelanggannya. Salah satu provinsi di Indonesia ini juga kaya akan kerajinan tangan yang memesona kaum hawa.

Sulam-menyulam dianggap sebagai suatu pekerjaan yang mudah dan murah untuk ditekuni. Berbeda dengan menenun, penyulam tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi untuk bekerja. Itulah sebabnya mengapa menyulam menjadi favorit perempuan-perempuan di Desa Koto Sarikat. Mereka sadar jika menenun membutuhkan waktu lebih panjang di luar rumah karena harus berangkat lebih pagi dan pulang larut sore. Sulaman seolah menjadi alternatif pekerjaan untuk mencari rezeki meski hasilnya tak sebanyak menenun.

Sebagai seorang penyulam, upah yang diperoleh rata-rata berkisar antara 30-50 ribu rupiah per kain. Setiap minggunya penyulam harus menyelesaikan minimal dua lembar kain. Jika permintaan sedang banyak, maka para penyulam terpaksa harus merelakan waktunya untuk lembur, menyelesaikan pesanan pelanggan.



Tren kain sulaman tak selamanya berada di puncaknya. Ada kalanya bisnis seperti ini juga mengalami pasang surut. Pemesanan bisa saja melonjak tajam bahkan merosot signifikan, apalagi saat bulan Ramadhan tiba, kain-kain yang akan dijahit sulit didapatkan dan menyebabkan penyulam menganggur di bulan puasa.

"Nde, tuan. Lah abih pulo kain. Indak pulo lah ka manjaik lakik rayo geh. (Ya Allah, kain udah habis, nggak bakal ngejait ini mah sampai lebaran)," begitulah keluhan salah satu ibu-ibu yang karap kali terdengar jika sudah tidak ada lagi bahan yang akan dijahit.

Kerajinan tangan khas Sumatra Barat tidak hanya dijual di dalam negari, tapi juga sudah menembus pasar mancanegara, seperti Malaysia dan Singapura. Tingginya peminat mukena dan baju kurung saat momen Ramadhan dan lebaran diyakini membuat pasokan kain ke desa-desa kian menipis.

"Satiok bulan puaso ajo mode iko toruih, sajak dulu ndak barubah do.(Setiap bulan puasa selalu kayak gini, nggak pernah berubah)."


Ramadhan Tiba, Orderan Sulam Pasti Sepi
Bulan Ramadhan adalah bulan penuh ujian bagi para penyulam. Mereka harus bersabar di tengah kelangkaan bahan kain. Terlebih jika musim kemarau menghadang, maka padi yang ditanam siap-siap gagal panen. Di tengah kesulitan, masyarakat tetap bersabar meski harus kehilangan pemasukan.

Jika kain langka didapat, maka para ibu-ibu di Desa Koto Sarikat hanya bisa mengharapkan hasil bumi yang ada di sawah dan ladang. Rutinitas yang hampir setiap hari di lakukan, berkuras tenaga sambil "membalikkan bumi" istilah bagi mereka, menghadapkan punggung ke langit hingga peluh bertetasan di dalam sawah. Seringkali mereka menahan sakit akibat telapak kaki yang terluka karena menginjak karang siput yang mati. Sakit memang, tapi tak ada pilihan lain untuk tetap menyambung hidup dan mencari makan untuk keluarga.

"Sawah indak pulo mandapek, kain jaik sorik pulo, sabonta lai ka rayo. (sawah juga gagal panen musim panas kayak gini, kain jahit juga susah. Apalagi, mau lebaran.)," ucap salah satu penyulam.

Kesusahan makin terasa manakala padi yang dipanen dibeli dengan harga sangat murah. Keuntungan nyaris tak seberapa. Tidak ada pekerjaan lain yang bisa diandalkan selain hanya bertani, menjahit dan menenun yang menerima upah usai kerja selesai. Keadaan yang berbeda dari para pegawai kantoran dengan gaji bulanan. Terkadang muncul keinginan untk berdagang, namun mengingat jumlah penjual lebih banyak dari pembeli, maka masyarakat Desa Koto Sarikat lebih memilih untuk kembali menyulam atau berladang.

Sulam Timbul dan Sulam Bayang
Di Sumatra Barat dikenal dua jenis sulaman, yaitu sulam timbul dan sulam bayang. Sulam bayang adalah jahitan yang menimbulkan variasi bunga di atas kain, hingga menonjol dan bisa disentuh. Sementara sulam bayang adalah sulam yang timbul di balik bagian dalam kain. Keduanya sama banyak peminatnya.

Pada dasarnya, menyulam bukanlah pekerjaan yang membosankan dan menguras tenaga. Pemandangan sawah yang terhampar luas, serta gunung-gunung menjulang menjadi teman saat mata lelah menatap lembaran kain yang disulam. Menyulam makin tak terasa ketika para perajin mengerjakannya di rumah tetangga sambil berbagi cerita sambil bercanda.

Dari Desa Koto Sarikat kabar ini disampaikan agar dikenal dan dikenang para pembacanya. Otulah sekilas kisah tentang sulam-menyulam sebagai pekerjaan sampingan selain berladang dan bertani. Sebuah persembahan perempuan-peremuan yang bangga melahirkan seni dengan gerakan tangan yang sama, membuat keindahan di atas kain yang terukir. (HUS)

Posting Komentar untuk "Koto Sarikat, Kampung Menyulam di Sumatra Barat"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress