CERPEN: "SENJA MIKA" By: Rahazlen Avelia



Senja Mika
By: Rahazlen Avelia

 
Senja ini senja yang berbeda dengan senja tiga tahun yang lalu. Setiap senja—pada tiga tahun yang lalu—kau menengadah, seperti menunggu sesuatu yang akan turun.
Aku masih ingat, selalu sekitar pukul setengah enam sore, kau kerap mengajakku memanjat rumah pohon yang tak beratap—yang tidak tahu siapa yang membuatnya—di belakang sekolah, lalu menengadah bersama ke arah langit sore. Gurat-gurat senja yang selalu menciptakan seulas senyum lama di bibirmu itu kadang pemandangan yang membosankan bagiku. Tak habis pikir kenapa kau selalu menyukainya.
Sekarang, senja ini aku hanya sendiri, menengadah seperti yang kita lakukan tiga tahun yang lalu. Dan sekarang tepat pukul setengah enam sore. Kau tahu, gurat senja mulai terlihat, kau seharusnya melihat pemandangan yang sekarang hanya membuat mataku terasa pedas dan berair. Aku menangis, karena hanya melihat senja yang tidak menjahatiku.
“Sekarang kau sedang apa?” batinku selalu bertanya begitu. Setiap senja—bukan hanya senja di rumah pohon yang tidak beratap ini—aku selalu bertanya begitu tanpa tahu apa jawabannya.
Terakhir aku kembali ke tempat ini, aku mendapat kabar bahwa dirimu sedang terlelap pada salah satu kamar di rumah sakit. Berikut dengan selang—yang katanya—melingkar di lengan dan badanmu. Ingin sekali rasanya aku pergi ke sana, namun sebelumnya, aku ingin menikmati senja berbeda di tempat yang sama. Walau hanya sendirian.
“Kau datang,” seulas senyum—yang kutahu kau paksakan tercipta—menyambut ke datanganku. Aku tersenyum kecut sembari menatap ke arahmu.
Mataku mengamatimu lekat-lekat, benar dengan kabar yang beredar, selang itu menutupi pergelangan kirimu dan beberapa bagian di badanmu. “Aku kembali.”
“Bagaimana Berlin? Menyenangkan?” tanyamu dengan mengangkat alis. Lagi, aku tersenyum, lantas mengangguk kecil.
“Bagaimana kabarmu?” tanyaku mengalihkan pembicaraan. Kulihat sinar matamu berubah redup. “Sakit apa?”
“Lumpuh. Tapi tenang saja, aku masih bisa menggerakkan mulutku,” katamu dengan nada bergurau, seakan itu adalah masalah ringan. Perkataanmu menyayat hatiku.
“Separah apa?”
“Tanganku sudah tidak bisa digerakkan lagi,” Aku melirik ke arah tanganmu. Jari-jarimu kurus dan memucat. Sayatan lagi di hatiku.
“Kau tahu, aku sudah siap untuk pergi ke surga,” mataku terbelalak.
Semudah itu...
“Kau rela?” Kau tambah merusak hatiku. Sekarang bukan hanya dua sayatan lagi, tapi sudah beribu dan sekarang hatiku sudah hancur.
“Secepat itu? Umurmu baru dua puluh dua tahun, hidupmu masih panjang,” ujarku menyiratkan ketidak relaanku jika kau pergi.
“Hidup tidak ada hubungannya dengan Umur, Miko. Dan mungkin hidupku hanya sampai di umur dua puluh dua tahun,” Kau tersenyum kecut setelah mengatakan hal itu.
Kurasa tidak ada saat yang tepat untuk mengatakan tujuan utama aku ke sini kalau tidak sekarang. Semoga waktu yang kuciptakan ini benar-benar tepat.
“Aku punya sesuatu untukmu,” Aku merogoh kantong belakang jaketku. Benda panjang dibungkus plastik transparan itu akhirnya kusodorkan tepat ke depanmu. Undangan pernikahanku dengan Miku—sahabat kita waktu SMA.
“Kau dan Miku memang serasi. Kapan acaranya? Maaf karena aku tidak bisa datang,” suaramu terdengar serak. Seperti menahan tangis—menurutku.
“Lusa. Semoga kau bisa datang, Mika.”
***
Dulu—awal kita bertemu—aku mengira bahwa kita adalah jodoh. Miko dan Mika. Kau adalah adik kelas yang menarik waktu itu, dengan senyum yang selalu mengembang dan keceriaan saat di ruang OSIS. Tidak ada tanda-tanda kau akan lumpuh pada saat itu.
Lama kita berteman, sampai saatnya kau membawa sahabatmu bermain bersama kita, Miku. Saat itu aku yang sedang jatuh cinta padamu, rasa itu langsung beralih pada Miku. Dia memiliki senyum yang lebih mengembang darimu, dia pun tak kalah ceria dengan tertawanya yang khas. Untuk pertama kalinya aku jatuh cinta pada pandangan pertama padanya. Dan sejak itu, aku tahu, bahwa kita tidak berjodoh.
“Aku pergi, dan akan kembali,” Aku ingat sepenggal kalimat yang kuucapkan tiga tahun yang lalu di rumah pohon di bawah senja yang membuatmu tersenyum. Dan setelah itu aku tidak mendengar kabar dari dirimu, hanya Miku yang selalu menghubungiku. Bercerita tentang hari-harinya dengan dirimu setiap senja tanpa ada aku di sana.
Di Bandara Soekarno-hatta, aku memeluk Miku setelah tiga tahun tidak bertemu dengannya. Oh tunggu! Aku lupa mengatakan bahwa dua tahun sebelum itu kami sudah menjalin hubungan khusus. Long distance relationship. Dan sepulangnya aku dari Berlin kami sepakat untuk menikah.
Aku menepati janjiku. Aku kembali dan menemukanmu terbaring dengan selang. Sesuatu yang tidak pernah kusangka sebelumnya. Kau membuatku hampir menangis, untung saja aku masih bisa menahannya.
“Kuharap lusa kau akan sembuh dan menghadiri undanganku,” Akhirnya kukatakan hal yang sangat tidak mungkin itu. Dan kau hanya tersenyum dengan sinar mata yang berbinar. Kumelihat harapan besar di sana.
***
Setelah resepsi ini selesai, aku akan memakimu. Kau tidak menghadiri undanganku. Padahal kudengar kau sudah keluar dari rumah sakit sore ini. Apa kau sengaja tidak datang ke hari bahagiaku dan sahabatmu?
Dan pagi-pagi sekali, aku sudah berada di depanmu. Oh, bukan. Aku tidak berada di depan wajahmu, tapi berada di depan makammu. Mungkin kabar semalam yang kudapat tidak sempurna, kau keluar dari rumah sakit, hanya itu yang kutahu. Dan sekarang, aku baru mengerti kenaa kau tak datang, karena kau keluar dari rumah sakit karena kalah dengan penyakitmu.
“Selamat jalan, Kawan,” bisik Miku yang tentu masih mengingatmu. Isakannya terdengar jelas pagi ini.
Selamat jalan, semoga cahaya senja menembus tanah ini dan menerangi dirimu di tempat yang gelap itu, batinku.
--The End—



PROFIL PENULIS:
Rahazlen Avelia, lahir pada tanggal 10 Oktober 1998 di Padang Panjang, Sumatera Barat. Sekarang berdomisili di Prumnas Padang Reno nomor 74, kelurahan Koto Panjang, Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. perempuan yang masih menduduki bangku kelas satu SMA itu bisa diajak ngobrol di @veeza_10  dan akun Facebook Rahazlen Avelia juga pada email aveliarahazlen@yahoo.com jika ingin melihat karyanya yang lain, bisa mengunjungi blong rahazlenavelia.wordpress.com



Setiap karya yang kami publikasikan hak cipta dan isi tulisan sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis Untuk Anggota Jaringan Penulis Indonesia yang mau mengirimkan karya harap mencatumkan subyek KARYA ANGGOTA + Tema Tulisan + Judul Tulisan pada email yang di kirim ke jaringanpenulis@gmail.com Bagi yang ingin bergabung menjadi Anggota Jaringan Penulis Indonesia silahkan ISI FORMULIRNYA http://jaringanpenulisindonesia.blogspot.com/search/label/Formulir%20Keanggotaan

Posting Komentar untuk "CERPEN: "SENJA MIKA" By: Rahazlen Avelia"

www.jaringanpenulis.com




Affiliate Banner Unlimited Hosting Indonesia
SimpleWordPress